Arfa berlari menaiki tangga menuju kelasnya. Karena begadang mengerjakan naskah, pagi ini ia harus berlarian sepanjang koridor dan tangga menuju lantai tiga untuk bisa mengikuti kelas tanpa terlambat. Gadis itu bahkan lupa kalau hari ini ada presentasi terkait manuskrip yang akan di unggah menjadi artikel dalam jurna angkatan mereka. Beruntungnlah Arfa sudah mengerjakan penelitian tersebut sebelum ia fokus dengan naskahnya yang baru. Begitu sampai di dalam kelas, gadis itu menghembuskan napas lega saat melihat belum ada dosen yang mengajar. Ia segera duduk di bangku paling belakang dekat dinding.
Arfa segera mengeluarkan air minum dari dalam ranselnya dan meneguknya hingga habis separuh. Gadis itu lantas menelungkupkan kepala sembari memejamkan mata, memanfaatkan waktu sebelum kelas dimulai untuk tidur. Karena sungguh, tidur tiga jam selama dua hari berturut-turut membuat kepalanya pusing dan badannya serasa melayang. Belum lagi tuntutan kuliah yang mengharuskan Arfa menggunakan otaknya untuk berpikir keras membuat pening di kepala gadis itu semakin menjadi.
Belum sampai sepuluh menit, dosen memasuki kelas yang mana mengharuskan Arfa harus memaksa matanya untuk tetap terjaga, sekaligus mengumpulkan fokusnya untuk presentasi.
Akhirnya, setelah seratus menit yang penuh ketegangan, gadis itu selesai dengan kelasnya dan memilih bergegas pergi dari kampus menuju kantornya. Arfa harus membahas tentang perilisan novelnya yang baru. Dengan kepala yang masih berdenyut, Arfa memasuki kantornya dan menyapa beberapa orang disana. Gadis itu segera masuk ke dalam ruangan Azri setelah mengetuk pintu.
“Fa, jadi kapan kamu berencana merilis novel kamu ini?” tanya Azri
“Rencananya lima bulan lagi, Kak. Enggak kecepetan, kan? Terhitung udah satu tahun setelah perilisan novel keduaku, kan?” ucap Arfa
“Oke, boleh. Enggak kecepetan kok.” jawab Azri
“Untuk editornya, aku yang akan pegang naskah kamu kali ini. Jadi, kalau ada apa-apa segera hubungin aku. Lagipula naskah yang kamu kasih ke aku terhitung udah hampir 80% jadi tinggal penyelesaian aja, kan?” lanjut pria itu
“Iya, Kak. Hanya aku bingung mau nentuin akhirnya seperti apa biar enggak mudah ditebak pembaca. Aku udah menyiapkan beberapa konsep buat ending, hanya masih bingung aja. Nanti aku kirim konsepnya ke Kakak dan aku minta masukkan ya, Kak.” ucap Arfa
“Iya, nanti aku lihat konsep kamu terus kita bahas buat ending-nya. Masih ada waktu kok, jadi gak usah terlalu merasa terbebani.” ujar Azri sembari menampilkan senyum di wajahnya.
“Iya, Kak. Makasih banyak.” tutur Arfa sembari tersenyum.
“Boleh aku tahu apa kisah ini kisah nyata? Maksud aku, di adaptasi dari kisah seseorang dan bukan murni ide baru.” tanya Azri yang dibalas anggukkan oleh Arfa.
“Pantas, rasa dari yang kamu tulis seolah benar-benar tersampaikan. Walaupun kamu memang selalu baik dalam menyampaikan sebuah cerita, tapi kali ini rasa sakit dari pemeran utamanya benar-benar terasa. Aku bahkan ikut merasa sakit saat pemeran utama perempuan memilih melepas kekasihnya.” Jelas Azri
“Tapi, terlalu mustahil gak sih, Kak? Di dunia ini kita semua tahu hanya ada satu dari seratus perempuan yang mungkin bisa begitu lapang dada melepas kekasihnya, apalagi sampai datang ke pernikahan mantan yang jelas masih sangat dia sayangi. Bukankah terlalu fiksi? Oke, maksudku, itu memang fiksi tapi apa tidak berlebihan?” tanya Arfa
“Menurutku tidak. Setiap orang punya kisah hidup dan keberanian masing-masing dalam mengambil keputusan. Termasuk si pemeran utama dalam cerita kamu ini. Walaupun hanya satu dari seratus, tapi itu menunjukkan kalau masih ada perempuan yang begitu ikhlas melepaskan, bukan?” jawab Azri yang hanya dibalas anggukkan kecil oleh Arfa.
“Jangan khawatir Arfa. Setiap tulisan memiliki alur dan isi ceritanya masing-masing. Setiap tulisan memiliki kekuatannya masing-masing. Dan setiap cerita adalah indah meski tanpa diksi dan tanda baca yang baik sekalipun.” tutur Azri yang berhasil membuat kedua sudut bibir Arfa melengkung ke atas.
Keduanya melanjutkan obrolan dengan pembahasan yang lebih ringan, hingga Arfa berpamitan untuk segera pulang karena ingin segera istirahat. Kepalanya semakin berdenyut nyeri, ditambah matanya terasa panas.
Setelah keluar dari kantor miliknya, Arfa menyempatkan diri untuk mampir ke salah satu gerobak yang menjual es cendol favoritnya. Gadis itu tersenyum mengingat bahwa Arvin juga menyukai minuman ini. Kepalanya menggeleng kecil, mencoba menepis bayangan Arvin yang sempat mampir. Arfa tidak ingin, ia harus melupakan pria beristri itu.