Arfa menyusuri koridor rumah sakit sembari menatap sekeliling karena takut tersesat. Setelah bertanya kepada resepsioner ruangan Aksa, gadis itu berjalan menuju ruang yang ditunjuk sambil memperhatikan jalan yang ia lewati. Arfa tidak begitu nyaman berada di rumah sakit. Ada perasaan tidak mengenakkan setiap mengunjungi gedung beraroma obat-obatan tersebut. Namun, hari ini Arfa datang dengan memberanikan diri dengan membawa paper bag berisi makan siang dan brownies kukus yang baru di buatnya tadi pagi.
Setela bertanya kepada resepsionis atas keberadaan Aksa, gadis itu diminta menunggu dan langsung dianggukki olehnya. Arfa duduk di kursi tunggu sembari memainkan ponselnya. Kepalanya mendongak begitu mendengar pintu ruang Aksa terbuka dan segera menampilkan wajah Aksa dengan jas berwarna putih menempel di tubuhnya, membuat pria itu terlihat semakin tampan dengan senyum terpatri di wajah. Sayangnya Arfa tidak turut tersenyum saat retinanya menangkap seorang gadis yang ikut keluar bersama Aksa dengan wajah berbinar dan tangan menenteng tempat makan. Arfa meneratkan pegangan pada tali paper bag miliknya, lantas bangkit dan berjalan menuju resepsionis. Memilih menitipkan makanannya kepada perawat tersebut sebelum melangkah dengan cepat meninggalkan rumah sakit besar itu.
Gadis itu menghembuskan napas panjang. Ia memang biasa mendengar bahwa Aksa memiliki banyak penggemar – termasuk mereka yang terobsesi dengannya, bahkan mantan pria itu sendiri. Ia juga tahu bahwa mantan pria itu sering datang ke rumah sakit untuk mengantar makanan. Namun, Arfa tidak menyangka bahwa dirinya akan melihat pemandangan tersebut hari ini.
Arfa kembali menghembuskan napas panjang. Ia sangat tidak suka perasaan tidak percaya diri seperti ini. Ia mulai menyadari bahwa dirinya dan Aksa memang memiliki keyakinan yang sama, tapi dengan status yang berbeda. Padahal baru beberapa waktu lalu Arfa sudah meyakinkan diri sendiri bahwa ia mampu menghadapi segalanya. Namun, belum apa-apa gadis itu sudah ingin menyerah mengetahui kenyataan bahwa Aksa begitu berkilau untuk dia yang bukan siapa-siapa.
Gadis itu menutup wajah dengan kedua telapak tangan, kemudian menghembuskan napas kasar.
“Ayo, Arfa fokus dengan apa yang ingin kamu raih dan jangan hanya terpaku pada satu hal.” Ujar Arfa menyemangati diri sendiri.
Gadis itu lantas melangkah meninggalkan gedung berlantai delapan tersebut untuk bergegas pulang. Daripada ia harus khawatir dengan perasaannya, Arfa memilih untuk mengerjakan manuskrip sebagai persiapan tugas akhir semester ini. Ia meyakinkan diri sendiri untuk fokus dengan kuliah dan pekerjaannya, sedang urusan cinta adalah bonus.
Gadis itu menyusuri trotoar menuju halte. Ia akan mengingat setiap momen yang sudah dirinya lewati di masa lalu dan masa sekarang. Berharap semoga kedepannya menjadi semakin baik. Semoga tidak akan ada lagi yang ia sesali dari masa lalunya. Meskipun Arfa tidak merasa menyesal menghabiskan waktu bersama Arvin, atau mengenal Aksa. Arfa ingin menikmati apa apa saja yang diberikan Tuhan kepada hidupnya. Sebab, jika tidak begitu, ia akan merasa begitu jatuh dan tidak berguna. Meski berdamai dengan diri sendiri dan bersyukur atas apa yang dimiliki, bukanlah perkara mudah.
Arfa memainkan ponsel sembari menunggu bis yang akan mengantarnya pulang. Kepalanya mendongak sekilas saat merasa seseorang duduk di sampingnya. Arfa cukup terkejut begitu mengetahui bahwa seseorang yang duduk di sampingnya adalah gadis yang sama dengan yang ia lihat di rumah sakit tadi. Seseorang yang entah memiliki hubungan apa dengan Aksa.