"Bagaimana, Mar?" Abah memandang Kang Amar yang tertunduk.
"Kamu pilih menjalani hukuman dari pesantren atau menikahi Ishma sece-patnya?" suara berat Abah terdengar bersahaja dan menggema. Menciptakan seribu ketegangan dalam dada.
Kang Amar sekejap memandang Abah sambil tersenyum. Tak tersirat sedikitpun keberatan pada wajah bersihnya. Jarinya-jarinya sesekali mengusap pelipis yang sedikit basah karena keringat. Ekspresi wajahnya seakan siap melontarkan sebuah keputusan besar.
Aku dan Umi berada di balik gorden pembatas ru-
ang tamu dan ruang tengah yang dikaitkan di sisi kanan dan kiri. Kain transparan yang menjuntai di tengah-tengah dibiarkan tertutup, sehingga aku dan Umi bisa melihat suasana ruang tamu tanpa ikut terlibat langsung di sana.
Kang Heri tersenyum kecut, ekor matanya sempat melirik tempatku duduk. Mungkin dia merasa mengibarkan bendera kemenangan karena kini aku menjadi tersangka. Anak tertua Paman Njamil ini memang selalu berbeda pendapat dalam hal mengurus peraturan pesantren.
Peraturan pondok putra dibawah kekuasaan Kang Heri sangat berbeda dengan pesantren putri di bawah kekuasaanku. Dia juga sosok super jahil dan menye-balkan. Walaupun begitu, Kang Heri sering membantu saat kubutuhkan. Dia sudah seperti kakak kandungku. Perpaduan sifat menjatuhkan dan ingin melindungiku itulah yang membuat kami akrab.
"Saya memilih menikahi Ning Ishma, Yai. Tapi apakah Ning Ishma mau menerima saya?" ucap Kang Amar hati-hati.
Hatiku berdegup tak karuan mendengar per-kataannya. Gawat!
"Itu gampang. Ishma kudu manut. Risikonya karena dia sudah melanggar peraturan pesantren," tutur Abah dengan nada lembut sekaligus tegas.
Jika Abah sudah membuat keputusan, maka tidak ada satu orang pun yang mampu membantahnya.
Jemariku bergetar meremas renda penghias khimar. Umi berkali-kali menahan napas lalu mengembuskannya kasar. Sepertinya angan memiliki menantu putra kiai pupus sudah. Beliau menitikkan air mata pasrah seraya memandang Abah.
"Baiklah, nanti malam akad nikahnya. Kamu siapkan mas kawin semampumu."
"Maaf, Kiai. Saya hanya mempunyai ini." Kang Amar mengeluarkan benda dari dalam sakunya.
Kulempar pandang padanya dari balik tirai dengan mata nanar penuh air mata.
Apakah lelaki idaman para santriwati yang penuh karisma itu sebentar lagi menjadi imamku? Menerima-nya mungkin sebuah anugerah, tapi dengan cara terpaksa seperti ini tak pernah terbayangkan sebelumnya. Hanya karena tak sengaja melakukan pertemuan. Sesuai dengan pasal tujuh peraturan pesantren yang berbunyi, "Santri yang mengadakan pertemuan dengan selain mahram di tempat sepi, menerima hukuman atau dinikahkan"
Nasibku tak ubahnya seperti Hamidah, mantan santri Ar-Roudloh berparas lembut. Peristiwa yang me-nimpa gadis berlesung pipit itu satu tahun lalu seolah menamparku. Dia dinikahkan karena mengadakan pertemuan dengan Kang Muchsin di warung Mbak Narti.