"I
"Ish" suara Umi yang terdengar tak sabar benar-benar membuatku kesal.
"Ishma!" Umi semakin keras memanggilku sambil menggedor pintu berkali-kali.
"Ada yang menunggumu, cepat turun!" Aku masih tak memedulikannya. Tubuhku masih terasa bergetar karena sentuhan Kang Amar.
"Itu mbak-mbak santri sudah sejak tadi menunggu."
"Mbak-mbak santri?" kukerjapkan mata beberapa kali menyadari sesuatu.
Yang terpampang di hadapanku sekarang adalah
pemandangan langit-langit kamar bercat putih. Aneh, Kang Amar juga sudah menghilang. Ke mana dia? Ada yang terasa lengket di kedua ujung mata. Kuregangkan kedua tangan menghilangkan pegal dan nyeri. Kemudian beringsut duduk dan bersandar pada bantal.
Berbagai analisa berjejalan di kepala ketika sadar Kang Amar memang lenyap tak berbekas. Bukankah sesaat tadi ia baru saja masuk kamar mandi? Kenapa pula aku malah berbaring di atas kasur sambil meringkuk dan mushaf Al-Qur'an tergeletak di sebelah kanan bantal? Segera mushaf kuletakkan di atas nakas seraya mengedar pandang ke seluruh sudut kamar.
"Astagfirullah, apakah tadi itu hanya mimpi? Kenapa semuanya begitu terasa nyata? Jantungku pun masih berdebar.” Kutatap heran diriku sendiri yang masih menggunakan atasan mukena. Padahal tadi aku melepas jilbabku, membiarkan rambut panjang itu terurai saat Kang Amar memeluk mesra.
"Ish, buka pintunya, kamu sedang apa? Mbak-mbak sudah nunggu dari tadi mau setoran hafalan!" Umi berteriak, gemas denganku yang masih belum beranjak membukakan pintu.
"Iya, Um," jawabku malas sambil beringsut dari ranjang.
Kutatap jam dinding yang menunjukkan pukul 5 lebih seperempat. Ini artinya aku kesiangan dan belum menunaikan salat Subuh, bahkan tidak ngimami santriwati di musala.
"Astagfirullah!” pekikku.
Aku masih shock. Antara percaya dan tidak. Apakah kejadian tadi hanyalah mimpi?
"Ya ... Allah."