Sang Biduan Kota Kembang

Rudie Chakil
Chapter #2

Bakat Yang Bersemayam

Devia duduk termenung di atas tempat tidur, dengan lutut yang terlipat di depan badan. Sesekali ia melirik sekeliling kamar, sesekali melirik pada jam dinding yang berdetak pukul 15.30, dan sesekali menggigit bantal sambil memeluk erat kedua kakinya sendiri. Sore hari itu ia merasakan rasa kesal yang sudah memuncak.

Devia kesal bukan karena perjalanan sepulang sekolah yang barusan terjadi, tetapi kesal karena satu kejadian di sekolah. Dalam benaknya masih terngiang suara riuh tawa teman-teman yang sering mengejek. Meninggalkan luka dalam di hatinya.

Siang tadi, ketika Devia masuk ke dalam ruang kelas saat jam istirahat, tiba-tiba ia mendengar empat orang teman sedang membicarakan dirinya. Tahu akan hal itu, Devia mendekat, berdiri di sisi meja mereka.

“Via, denger-denger lo anak biduan kampung ya? Hahahaha.”

Devia kaget dan diam seribu bahasa. Ia berpikir, kenapa teman-temannya itu bisa tahu tentang hal yang selama ini ia tutupi.

“Tau dari mana lo?” ia bertanya dengan nada tinggi karena marah, pada seorang gadis berwajah paling cantik di antara mereka.

“Gak usah sok tahu deh lo. Mau gue anak siapapun, itu bukan urusan kalian!” ujar Devia sambil menunjuk wajah mereka satu per satu. Namun bukannya diam, empat orang teman sekelas itu malah semakin kencang menertawakan.

Aulia Rahma Ningtyas — 14 tahun —  nama gadis cantik itu. Dia adalah remaja belia yang sangat arogan, seringkali membuat onar di kelas, dan berani terhadap siapa saja termasuk pada guru.

“Hahaha.” Ia tertawa paling keras, melihat pada Devia dengan pandang sinis.

Tanpa menghiraukan tawa mereka, Devia segera pergi meninggalkan kelas untuk menenangkan diri.

Yah, itulah mereka, anak-anak remaja atau yang biasa disebut ABG. Selalu ingin tahu urusan orang lain hanya untuk menjadikan bahan bully-an.

Bagaimana hari itu Devia tidak bersedih hati?

Siapapun yang menjadi dirinya juga pasti akan bersedih, tatkala hal yang sangat sensitif malah dijadikan sebagai bahan ejekan. Devia juga bingung, mengapa orang-orang tidak suka pada profesi sang ibunda sebagai penyanyi?

Kejadian di sekolah pada hari itu membuat Devia kesal terhadap ibunya. Rasa malu dan sedih karena ejekan itu mengubah arah pikirannya.

Devia berpikir, jika saja ayahnya ada, maka ibunya tidak akan pernah menjadi seorang biduan, dan ia tidak akan pernah menerima bully-an dari siapapun.

Pikirannya jadi mengarah pada sosok ayah.

Namun bagaimana hal itu terjadi, bilamana sedari kecil Devia belum pernah bertemu dengan ayah kandungnya?

Semenjak dahulu Devia sering bertanya kepada ibunya, siapa dan di mana ayahnya?

Ibunya selalu mengelak untuk berbicara tentang hal itu. Menutup pertanyaan dengan raut sedih karena rasa penyesalan yang dalam. Seperti sudah mengubur semua masa lalu dan merasa jika sosok yang ditanyakan itu sudah hilang di telan bumi. Padahal Devia amat yakin, jika ayahnya masih ada. Ibunya hanya meminta supaya Devia tidak selalu menanyakan hal itu.

Kini Devia sudah remaja, sudah mampu berpikir dan berbuat. Ia hanya tidak terima dunia remajanya dirusak oleh dua hal besar. Hal di dalam hidup yang membuat dirinya merasa sangat muak.

Pertama, jika orang-orang mengejek profesi ibunya.

Kedua, siapa dan di mana ayah kandungnya?

Devia menggigit bantal dan berdoa. “Yaa Allah, ijinkan Devia mencari ayah. Ijinkan Devia mencari ayah...”

Ayah… Hati Devia seakan paham, jika suatu saat nanti kita pasti akan bertemu.

Ayah… Hati Devia sering berkata, jika Ayah masih ada, namun entah di mana.

Ayah… Hati Devia selalu berharap, Ayah akan baik-baik saja.

Tapi, Ayah… Devia juga rindu, pada pelukan hangat yang belum pernah Via rasakan.

Sore hari pukul 17.30, ketika cakrawala bagian barat sudah berwarna perak dan matahari bagaikan kuning telur yang menggantung di langit sebelah timur. Devia sedang menikmati snack yang diberikan oleh ibunya. Ibunya baru saja datang.

“Krauuk… krauuuk…”

Gadis remaja berkaos kuning celana pendek itu duduk di lantai dengan satu kaki yang ditekuk ke atas. Ia sedang menonton acara Konser Musik Dangdut sambil mengemil. Bagaimanapun juga, dalam diri Devia mengalir deras darah seni, maka itu ia suka mendengarkan musik.

“Via, Mamah boleh tanya gak?” ibunya menyapa setelah keluar dari kamar mandi. Devia menengok dan mengangguk.

“Kamu benar, gak mau jadi penyanyi?” tanyanya, seraya mendekat dengan raut wajah yang mirip Devia ketika sedang meminta uang jajan tambahan.

“Devia nggak mau, Mah. Mamah kenapa sih, tanya soal itu terus sama Via?” jawabnya.

Ibunya menatap serius. “Karena Mamah melihat kamu sebenarnya punya talenta yang bagus untuk jadi penyanyi, Via. Bahkan, suara kamu juga lebih bagus dari suara Mamah. Mamah ingin kamu jadi penyanyi terkenal, bukan seperti Mamah yang cuma seorang penyanyi kampung.”

“Iya…, tapi Via gak mau. Titik!” ujar Devia dengan raut wajah yang mulai kesal, lalu menengok. “Gara-gara Mamah jadi Biduan, Via sering di-bully sama teman-teman di sekolah,” ujarnya.

Mendengar itu, sang ibunda menunduk sedih, lalu meninggalkannya tanpa bahasa.

Fitri Lestari adalah seorang biduan yang seringkali mengisi acara hiburan dan pernikahan. Wanita berusia 34 tahun itu mempunyai wajah cantik dengan badan sintal yang tidak kalah dengan penyanyi dangdut ibukota. Mungkin jika orang yang belum mengenal mereka, melihat mereka berdua seperti seorang kakak beradik. Bahkan jika dibandingan dengan Devia, ibunya itu jauh lebih baik dalam menjaga penampilan.

Merupakan hal yang lumrah jika Fitri terus meminta Devia untuk menjadi seorang penyanyi profesional. Hal tersebut berdasar bukan karena dirinya seorang biduan, lalu meminta anaknya untuk menjalani profesi yang sama dengannya. Bukan. Tapi karena Devia memang mempunyai bakat berupa kemerduan pita suara, dengan kadar tiga ratus persen lebih baik darinya.

Yah… Devia dianugrahi suara emas oleh Sang Maha Pencipta.

“Krauuk… krauuuk…” Gadis itu sudah menghabiskan dua bungkus snack.

Devia juga sebenarnya tahu akan hal itu. Dahulu, ketika ia sedang berbelanja di Alfamart bersama ibunya, kebetulan musik yang terputar adalah salah satu lagu yang familiar. Saat itu ia dan ibunya sedang berdiri menunggu petugas kasir menghitung barang belanjaan. Tanpa sadar Devia pun ikut menyanyikan lagu yang sedang mengalun.

“Yaa Allah…, Neng, suara kamu bagus banget.”

Gadis pegawai Alfamart yang senantiasa ramah karena tuntutan pekerjaan itu menoleh, tersenyum dan menatap padanya dengan pandang heran. Devia langsung menghentikan nyanyiannya.

“Eh, serius, kenapa kamu nggak jadi penyanyi aja?” sambung sang petugas kasir. Devia hanya tersenyum tanpa menjawab.

Bukan hanya kejadian seperti itu saja yang sering terjadi. Bahkan guru sekolahnya pun, ada saja yang meminta Devia untuk mengembangkan bakatnya. Berbincang panjang dengan Fitri mengenai bakat yang dimiliki oleh Devia. Namun remaja berbadan kurus itu tetap tidak mau menanggapi.

Devia tetap tidak mau bernyanyi.

Meski seseorang mempunyai potensi bakat yang sangat besar, jika tidak dikembangkan oleh niat dan tekat dari dirinya sendiri, maka bakat hanyalah sekedar menjadi bakat. Tidak menjadi sebuah talenta yang bisa dinikmati oleh semua orang. Seperti tumbuhan mawar yang tumbuh di tengah padang pasir.

Namun, ketika seseorang itu berusaha untuk mengembangkan bakatnya dengan rasa sungguh-sungguh, maka, keberuntungan pasti kan datang.

Sungguh, keberuntungan pasti akan datang.

***

Lantunan azan zuhur merambah masuk ke dalam ruang kelas, terdengar lembut mengalun di telinga para siswa. Ibu guru matematika yang terkenal galak sedang mengajar mata pelajaran yang kurang disukai oleh hampir semua murid di sana. Entah karena hitungan angka yang terlalu sulit, malas berpikir, atau pengajar galak itu yang tidak mampu mengambil hati para siswa untuk mengikuti pelajaran tanpa terpaksa.

Suasana kelas yang biasa gaduh melebihi pasar tradisional, langsung berubah total menjadi area pemakaman selama jam pelajaran matematika berlangsung.

Terlebih, Devia, ketika mengikuti pelajaran yang kurang ia suka itu.

Remaja manis berdagu mungil lesung kecil itu sama sekali tidak fokus untuk mengikuti pelajaran matematika. Kedua matanya memang mengarah pada guru yang tengah menjelaskan pelajaran sambil mengetuk-ketuk papan tulis, tetapi pikirannya pergi jauh melayang-layang.

“Devia…!” Hardik Ibu Erni, — 42 Tahun — salah satu guru yang paling suka menghukum siswa dan siswi tanpa pandang bulu. “Ke sini kamu.”

Devia beranjak dari meja, maju ke depan kelas. Tempat duduknya berada di baris ke-tiga dari barisan depan.

Di papan tulis, Bu Erni menulis soal yang agak sulit.

“Jawab soal ini. Kalau kamu nggak bisa, lebih baik kamu keluar!” tangannya memberikan kapur tulis pada Devia. Gadis itu menerima dan berusaha menjawab dengan wajah canggung.

Devia terpana di depan papan tulis, karena pada dasarnya ia memang tidak mampu menjawab. Teman-teman sekelasnya ada yang tertawa kecil, ada yang tanpa ekspresi, ada yang menutup mulutnya, dan ada juga yang sedikit iba.

“Ayo…, coba kamu selesaikan soal ini. Dari tadi saya lihat kamu itu ngelamun aja.” Bu Erni memperhatikan wajahnya yang sedang kesulitan menjawab.

“Ayo, selesaikan!” ketus suara Ibu Erni, bertolak pinggang di samping Devia yang terus membaca soal matematika yang tidak dimengerti olehnya. “Mikirin cowok kamu yaa.”

“Hahahaha…” Deru suara tawa terdengar paling keras dari barisan meja belakang. Devia tertunduk malu, menghadap Bu Erni, lalu meletakkan kapur tulis.

“Sekarang, keluar kamu!” tangan Bu Erni mengusirnya.

Devia melangkah keluar dari dalam kelas seiring tatap mata teman sekelas. Dalam benaknya bertanya, mengapa guru matematika yang satu itu tidak pernah suka padanya. Mengapa setiap kali Bu Erni mengajar, ia selalu saja berurusan dengannya, cemberut, marah, bahkan sampai menghardiknya.

Sepeninggal Devia keluar, suasana di dalam kelas seketika berubah menjadi hening kembali.

“Duh, Via, lo kenapa sih? Lagi ada masalah? Bu Erni udah ngelihatin lo dari tadi tauu,” ujar Anggi, teman Devia yang duduk di sebelah kiri mejanya. Mereka sedang berjalan pulang sama-sama, meninggalkan gedung sekolah.

“Iya…, gue juga kaget pas Bu Erni manggil nama gue,” kata Devia.

“Lagian lo, udah tau lagi pelajaran guru killer, malah ngelamun.”

Lihat selengkapnya