Sang Biduan Kota Kembang

Rudie Chakil
Chapter #3

Persahabatan Yang Unik

Pertemanan adalah orang lain yang terhubung karena satu ruang lingkup pikiran dan badan. Sedangkan persahabatan adalah orang lain yang terhubung karena satu ruang lingkup hati dan jiwa.

Maka itu, ketika seseorang benar-benar baik, maka tidak ada jawaban darinya meski hanya satu alasan, saat ia ditanya, mengapa ia begitu peduli pada sahabatnya?

Selepas waktu maghrib Devia termenung sendirian di teras, rumah bercat putih dengan pohon belimbing di sudut kanan halaman. Ruang lingkup remaja ini sungguh terbatas ketika ibunya sedang bekerja. Sebagai seorang Biduan, jam kerja Fitri tidak menentu. Ah, jangan lagi jam kerja, bahkan hari kerjanya juga tidak menentu. Ada job, ada uang, tidak ada job, hanya berdoa yang bisa dilakukan.

‘Pletaakkk’…

Sebuah batu kerikil terpental mengenai kakinya. Berasal dari pintu pagar besi setinggi satu setengah meter.

“Rensaa… gue tahu itu pasti lo,” ujar Devia dengan suara agak keras.

“Hehehe.” Kepala seorang remaja laki-laki muncul dari balik tembok pagar. Dia adalah Rensa Anggara, — 14 Tahun — teman kecil sekaligus teman sekolah Devia.

“Gue tau, apa yang lagi lo pikirin,” ucapnya dengan dagu yang bertopang pada kedua tangan di atas pagar. Kakinya berdiri di atas tempat sampah semen berbentuk persegi yang ada di sisi jalan.

“Sini, lo,” seru Devia. Rensa pun turun dan membuka pagar masuk rumah.

“Emang lo tahu, apa yang lagi gue pikirin? Sok tau lo.” Alis tipis di atas mata tirus itu berkerut.

“Oke deh, sebelum gue jawab itu, gue mau kasih ini buat lo.” Tangannya mengambil sesuatu dari kantung celana, kemudian mengocok-kocok tiga bungkus permen coklat.

“Hehehe, tau aja lo.” Devia langsung merampas dan membuka bungkusnya.

“Kok lo tau sih, kalo gue suka banget sama permen ini?” Perempuan berkaos biru muda celana pendek itu bertanya sambil mengunyah permen yang diberikan Rensa.

“Iya, waktu kecil kan lo sering beli permen ini di warung sebelah rumah,” jawab Rensa, sembari mendekatkan kepalanya ke muka Devia.

“Ih, jangan-jangan lo ngasih ini ada maunya yah?” Devia menengok. “Lo suka sama gue yah?” sambungnya nada menggoda.

“Ya elah, Dev, masih kebayang nih di pikiran gue, gimana lo ingusan, sampe ingus lo tuh masuk ke mulut,” ujar Rensa yang memang benar mengetahui hal tersebut.

“Hahaha.” Devia tertawa kecil. Keduanya pun sama-sama menikmati permen cokelat kacang.

“Mamah lo nggak ada, Dev, sepi banget kayaknya?” tanya remaja laki-laki berkaos hitam celana Levis selutut itu.

“Iya, gak ada. Lagi ada job di Bandung Kota.”

“Oh…, iya makanya gue ke sini untuk nemenin lo. Tahu kan gue?” serunya.

“Hahaha, bisa aja lo,” balas Devia. Namun tak bisa dipungkiri, Rensa memang seringkali datang ketika Devia sedang sendirian dan butuh teman.

“Dev…, jujur, gue kangen denger suara lo. Gue ambil gitar yah?” gumam Rensa.

Sekitar setahun yang lalu ia pernah mengiringi Devia bernyanyi dengan gitar. Ketika itulah pertama kali ia mendengar Devia bernyanyi, dan tahu bahwa itu adalah bakat luar biasa yang dimiliki teman kecilnya.

“Ah, apaan sih lo, gak usah aneh-aneh deh. Ngobrol aja kita.”

“Gak, ah, orang gue pengen denger lo nyanyi. Lo punya bakat jadi penyanyi, tau.”

“Pokoknya enggak. Gue males. Lagian lo tahu gak, alesan gue males nyanyi?” ucap Devia dengan irama bertanya. Rensa hanya menoleh saja, menandakan bahwa ia tidak tahu.

“Gue benci sama profesi Mamah.” Tangannya meletakan sebungkus permen coklat ke meja.

“Dari gue kecil, kenapa sih orang-orang selalu menghina profesi Mamah?” Devia bicara dengan wajah murung. Matanya yang sudah sendu kian bertambah sendu. Rensa hanya terdiam dan mendengarkan saja.

“Kalo kayak gini, gue jadi kangen sama ayah gue, Sa,” sambungnya.

“Iya…, gue tahu apa yang lo rasain. Gue tau. Impian lo buat ketemu sama Ayah lo pasti terwujud kok, Dev. Sabar aja yaa, gue pasti bantu lo,” balas remaja laki-laki dengan postur tubuh yang cukup tinggi itu

“Bagaimana caranya, Sa? Gue bingung,” Devia kemudian menunduk, air matanya keluar beberapa tetes. Rensa yang tahu akan hal itu segera menghibur.

“Woy, lo jangan nangis dong. Sebenernya ada satu cara, supaya lo bisa ketemu sama Ayah lo,” ia berbicara pelan dan hati-hati, sambil menggaruk-garuk kepalanya.

“Apa?” Devia bertanya dengan nada tinggi dan suara serak. Namun meski suaranya sedang serak karena sedih, tetap saja masih enak didengar. Suaranya seperti suara seorang perempuan dewasa muda, yang omong saja sudah enak didengar.

Rensa pun menjawab, “Lo harus jadi orang terkenal, Dev. Siapa tau kalo udah terkenal, lo bisa ketemu sama ayah lo.”

Devia agak terkejut. “Gimana caranya, Sa?”

“Lo punya bakat suara yang bagus, Dev. Lo bisa jadi penyanyi, dan lo harus jadi penyanyi terkenal. Oke?” tegas Rensa bicara.

“Eh, sebentar ya, gue ada telpon masuk.” Remaja laki-laki kuning langsat itu menerima telepon masuk dari ibunya, yang memintanya pulang untuk membantu pekerjaan rumah. Devia mendengar sekaligus merenung.

Setelah menutup sambungan telepon, Rensa melihat Devia sedang berpikir. “Lo udah makan belum?” tanyanya.

“Belum, nanti malam Mamah bawa kok,” balas Devia.

“Makan di rumah gue aja yukk.”

“Nggak ah, nggak enak.”

Lihat selengkapnya