Sang Biduan Kota Kembang

Rudie Chakil
Chapter #4

Percayakan Pada Perjuangan

Terkadang, seseorang meminta Tuhan untuk mengubah kondisi kehidupannya.

Padahal, jika manusia yang meminta itu mengubah dirinya sendiri ke arah yang lebih baik, niscaya kasih sayang Tuhan pasti kan datang untuk mengubah kehidupannya seperti yang ia harapkan.

Kata orang, malam Minggu adalah malam khusus bagi khayalak muda mudi, baik itu remaja atau pun sudah dewasa. Di samping tanggal merah pada hari esok, mungkin sudah menjadi icon jika ‘Malming’ adalah malam yang pas untuk keluar rumah.

Malam Minggu itu Devia dan Rensa juga keluar rumah, namun bukan urusan jalan dan bersenang-senang, tetapi untuk urusan latihan vokal. Yah, dua orang remaja ini memang klop. Devia akan selalu malas dan tidak akan jadi apa-apa, jika tidak ada Rensa yang mendorongnya. Sementara, Rensa tidak mempunyai bakat yang dimiliki Devia, hanya mempunyai semangat di belakang layar saja.

“Dev…, hari Senin besok Ayah gue mau ke Jakarta, mau beli laptop sama kamera untuk projek kita. Sebenernya sih gue minta udah lama,” kata Rensa di depan pintu rumah. Selepas maghrib ia menjemput Devia untuk datang ke rumahnya.

“Serius?”

“Iya... Ayah gue mau ketemu sama temennya di Jakarta,” balasnya. “Ayo, masuk,” lanjutnya mempersilakan.

“Ohh...” Devia melangkah masuk ke ruang tamu. Dalam pikirannya merasa heran sekaligus tidak enak. Gadis itu paham, jika kadar ekonomi keluarga Rensa sama seperti keluarganya yang terbilang pas-pasan.

Beberapa hari lalu, Rensa memang selalu bercerita pada keluarga mengenai bakat besar yang dimiliki Devia. Namun tanpa ia duga, ayahnya justru antusias dan berkenan untuk membantu semua proses. Rensa pun langsung menceritakan kabar gembira itu, sekaligus mengajak Devia latihan vokal selama dua jam.

“Ini aja dia yang bayarin. Hahaha,” ucap Rensa.

“Ih, Si Mamang baik banget dehh,” bisik Devia sambil tersenyum.

Syamsuddin — Ayah Rensa, 44 tahun ­— datang ke ruang tamu dan bersapa dengan Devia. Meski tidak ada ikatan kekeluargaan, namun hubungan keluarga Rensa dengan Devia memang sudah seperti saudara.

Tak lama kemudian mereka berangkat ke Bandung Kota untuk latihan vokal di tempat karaoke keluarga. Devia berboncengan dengan Syamsuddin, sementara Rensa naik ojek. Laki-laki berambut ikal panjang itu sengaja ikut untuk melepas penat, sekaligus melihat Devia bernyanyi seperti yang digembar-gemborkan oleh anaknya.

Setengah jam kemudian, saat mereka bertiga sudah sampai di lokasi, di salah satu tempat karaoke yang ada di sekitar alun-alun kota, mereka langsung masuk ke dalam room yang tersedia.

“Test, test,” suara Devia menggema dalam satu ruangan karaoke.

“Oke,” ujar Rensa, ketika selesai membuat list dari lagu yang akan Devia nyanyikan.

Rensa bersama ayahnya duduk berdampingan dengan tiga gelas minuman di meja. Sementara Devia sudah berdiri dan bersiap untuk bernyanyi.

Detik itu juga, ketika hendak bernyanyi, Devia terbawa sugesti akan visualisasinya empat tahun yang lalu. Dahulu, ketika dirinya hampir tertidur, di depan matanya tergambar jelas seorang wanita bergaun putih yang sedang bernyanyi dan menari di tengah hujan lebat. Sampai detik itu Devia tidak pernah tahu siapa wanita tersebut, karena ia tidak pernah bercerita pada orang lain.

Gadis itu hanya meng-sugesti-kan dirinya bernyanyi, serupa dengan perempuan dalam visualnya.

Rensa melihat Devia memejamkan mata selama beberapa saat, sampai terdengar keras alunan musik berupa intro lagu, dan pada layar karaoke terlihat seorang artis wanita berbusana abu-abu cerah yang sedang berjalan di tepi pantai. Yaitu video klip penyanyi asli dari lagu yang akan Devia nyanyikan.

Devia pun mulai bernyanyi :

“Tak pernah kubayangkan, begini jadinya. Suratku, engkau balas, dengan undangan.

Kalau memang tak mau, baiknya kau katakan. Agar ku tak berharap, cinta darimu.

Kurela sudah, begini jadinya, cintaku padamuu.

Surat undanganmu pernikahan itu kugenggam erat di tanganku. Hanya doa restu yang kupersembahkan semoga engkau bahagiaaa…

Sendiri lagi…”

Syamsuddin menyolek dan berkata pada anaknya. “Pertama kali Ayah mendengar orang nyanyi, sampai merinding seperti ini,” ujarnya sambil mengusap kedua lengan, sesekali juga ia menyentuh tengkuk kepalanya. Rensa hanya tersenyum.

Devia terus men-sugesti-kan pikiran pada ‘perempuan visual’, dalam setiap lagu yang ia nyanyikan. Sampai-sampai pada satu lagu yang juga dinyanyikan oleh ‘perempuan visual’ itu dahulu, Devia seperti orang yang tak sadarkan diri. Bernyanyi dengan sangat lantang dan penuh penghayatan. Seperti seorang perempuan yang sedang kerasukan satu spirit besar dari seni dan keterampilan bernyanyi.

Rensa dan Syamsuddin menyaksikan Devia latihan dengan perasaan suka, bangga dan tanpa rasa bosan. Serasa waktu dua jam adalah waktu yang kurang.

Begitu pula dengan Devia. Selepas latihan yang membuat suaranya habis itu, ia merasakan satu rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Perasaan lepas. Semacam beban yang dipaksa keluar dari dalam pikiran.

Syamsuddin lantas berkata pada Devia, setelah mereka keluar dari ruang karaoke.

“Neng… nanti sebelum kamu bikin konten YouTube, Mamang mau kenalkan kamu sama teman Mamang yang berkecimpung di dunia musik. Nanti kamu belajar saja sama dia yah,” ujarnya.

“Ohh, iya, Mang, Via mau banget,” jawab gadis berkaos hijau muda celana Levis itu dengan mengangguk-angguk.

“Iya… mudah-mudahan minggu depan dia datang ke sini.”

Devia melihat pada Rensa, lalu sejenak kemudian ia kembali menatap pada Syamsuddin. “Hmmm, Mamang. Via mau ucapin terima kasih banyak yaa,” ucapnya.

Pria berjaket hitam dengan rambut ikal sebatas bahu itu berkata, “Tenang saja, Mamang pasti bantu kamu,” sambil tersenyum dan mengelus kepalanya. Devia pun ikut tersenyum.

Dalam perjalanan pulang — dengan diantar oleh Rensa — Devia teringat, bagaimana dahulu ketika melihat ‘perempuan visual’ itu bernyanyi. Saat itu Devia masih berusia sepuluh tahun. Ibunya mendapatkan rejeki yang cukup untuk membeli sebidang tanah dan membangun rumah di salah satu wilayah di Cimahi, Bandung.

Saat itu mereka baru saja menempati rumah baru mereka, karena Fitri memutuskan untuk hengkang dari rumah kontrakan yang lama, di kecamatan Sukasari, dekat kediaman Rensa.

Fitri menyediakan satu kamar untuk Devia.

Semenjak itu Devia tidur sendiri, tidak lagi tidur bersama ibunya. Malam hari saat hendak tidur, Devia merasakan sesuatu yang berbeda.

Dalam titik antara sadar dan tidak sadar, Devia merasa dirinya sedang berada di tanah lapang yang sangat luas. Dikelilingi deretan pegunungan sejauh mata memandang.

Ia terus berjalan di atas rumput yang terhampar, berwarna hijau muda, halus, alami, juga menawan hati.

Devia terus saja berjalan tanpa tahu akan melangkah ke mana.

Tiba-tiba hujan turun dengan sangat lebat, disertai angin pegunungan yang berembus kencang. Tubuh Devia basah terguyur tetes-tetes air hujan, namun justru merasakan kebahagiaan.

Pada saat itu juga Devia mendengar suara seseorang sedang bernyanyi. Suaranya sangat merdu, bersih dan tinggi. Devia terus mendekat pada suara yang semakin jelas terdengar itu.

Di tengah-tengah lebatnya hujan angin yang mengguyur, ia melihat seorang wanita tengah bermandikan air hujan. Wanita itu memakai baju putih yang tertutup kain panjang seperti terbuat dari sutra. Bernyanyi lantang dengan kedua tangan terbentang dan gerak tubuh yang seirama dengan nada yang ia nyanyikan.

“Aaaa… Cintaku padaNya, bagai batu karang di sana. Tak pernah goyah, walau diterjang badai bencana.

Cintaku padaNya, bagai dunia milik berdua. Jurang yang ada, seakan mewarnai cintaku

Cintaku padaNya…”

Devia tersenyum mengingat kejadian itu.

Di atas motor, di belakang Rensa, ia bertanya-tanya sendiri, siapakah perempuan itu?

Pukul 22.25, Fitri Lestari menunggu Devia di kursi teras rumah dengan raut wajah agak sinis. Biar bagaimanapun, sebagai seorang ibu, Fitri paling anti kalau anaknya akan lepas kontrol darinya. Walau berprofesi sebagai Biduan, Fitri tidak mau kenakalan remaja yang banyak terjadi di kota-kota besar termasuk Paris Van Java itu menghinggap pada dara manisnya.

Ia sangat takut akan hal itu.

Tetapi sebentar kemudian, gurat wajahnya berubah tersenyum. Teringat potongan kisah tentang anak gadis yang sedang tak mau berbicara dengannya itu.

Fitri teringat satu kejadian saat ia dan anaknya baru saja pindah, dan bertempat tinggal di rumah yang sekarang mereka tempati. Kejadian empat tahun yang lalu, saat Devia masih berusia 10 tahun.

Lihat selengkapnya