“Haaahh?!”
Devia sontak terbangun dari tidur. Duduk termenung di atas kasur sambil mengingat mimpi yang seketika itu juga langsung tervisual di dalam kepalanya. Dalam mimpi itu Devia sedang berjalan menuju ke sekolah. Di depannya terdapat jalan yang bersimpang dua. Ia lalu mengambil jalan ke arah kiri.
Saat kakinya melangkah di jalan yang ia pilih, vista yang tampak pun berubah. Sekeliling tempat ia berpijak perlahan-lahan berganti latar menjadi gurun pasir yang tandus. Pemandangan rumah, bangunan dan persawahan jadi hilang, menjelma gurun pasir sejauh mata memandang. Saat Devia menengok ke belakang, ia melihat, jika dirinya berada di tengah-tengah gurun pasir yang luas tak bertepi.
Kabut gurun tiba-tiba datang dan berembus kencang.
Di tengah kepekatan kabut, tampaklah tubuh seorang laki-laki yang sedang berdiri membelakangi dirinya. Berkemeja putih dengan celana panjang hitam. Badannya cukup tinggi, kulit kuning langsat, dan rambut pendek yang rapi.
“Ayah…”
Kata yang sama ia ucapkan saat berada di dalam mimpi ataupun saat ia duduk merenung.
“Yaa Allah,” gumam Devia menyebut namaNya, seiring satu tetes air mata yang jatuh membasahi pipi. Hatinya bergemuruh segala rasa. Tidak lagi melihat ponsel, jendela, atau jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 05.25.
“Viaa…” Fitri memanggil sembari mengetuk pelan pintu kamar. Rutinitasnya setiap waktu pagi, dari hari Senin sampai dengan Jumat.
“Iya, Mah,” Devia menjawab.
Sesampainya di sekolah, Devia masih juga terbayang akan mimpinya semalam. Pada jam istirahat, saat sedang makan di kantin pun ia masih merasa cemas atas mimpi yang coba ia tafsirkan sendiri.
Padahal, belakangan ini penampilan Devia sungguh jauh berbeda. Ia kini sering berdandan dan menjaga penampilan. Rambut lurus kemilau, mata lengkap dengan lensa kontak dan eye shadow tipis, wajah tirus berhidung mungil terias bedak, juga bibir tipis yang kini bergincu merah muda.
Semua itu berkat meja rias di kamar ibunya.
“Neng Via…, ngan cicing wae? Kunaon teh? Ngobrol atuh, biar bisa dengar suara kamu. Hehehe,” ibu pemilik kantin menggoda Devia yang sedang terbengong di saat makanannya masih setengah piring. Tiga orang siswa lain yang duduk di sampingnya — juga sedang makan — namun belum dikenalnya itu ikut tersenyum.
“Iya, Bu Endah,” Devia langsung tersenyum.
“Devia,” dua orang siswi yang sedang berjalan, menyapa hangat sambil melambaikan tangan.
“Haiii,” Devia juga melambaikan tangan pada mereka.
“Enak ya, Neng Devia, sekarang sudah jadi bintang di sekolah. Ibu teh gak nyangka eui.” Wanita usia setengah baya itu kembali menggoda sekaligus menyanjung.
“Dari dulu Devia emang udah cantik kok, Bu.” Salah satu siswi yang sedang makan itu menyahut.
“Mmmm,” Devia menengok dan tersenyum padanya. Terdengar suara berbisik dari temannya lagi yang duduk di sebelah siswi itu, “Ya Allah, cakep banget.”
“Gue Asih, Via,” ujarnya memperkenalkan diri, seraya memberikan tangan.
Devia meraih tangannya. “Iya, Asih, salam kenal yaa. Kamu kelas berapa? Kita belum pernah satu kelas yah?”
“Iya, Via, gue kelas 8E. Padahal dari dulu gue pengen deh satu kelas sama lo. Hehehe,” Wajah bundar itu tertawa sambil melirik dengan mata penuh kepentingan.
“Hmmm, di kelas 8E juga banyak temen gue waktu SD loh, Sih. Ada Ferdy, Hanum.” Tangan Devia meletakkan sendok dan garpu.
“Oh, iya, gue juga akrab kok sama mereka,” ujarnya.
“Iya, Ferdy, Hanum, itu seru banget,” Devia meminum es teh manis. “Jadi kangen deh sama mereka.”
“Dev…, Devi, “ Rensa memanggil dari bawah pohon, di dekat lapangan basket.
Kantin milik Ibu Endah adalah kantin yang berada di urutan paling depan. Jadi mereka yang sedang makan di sana akan terlihat dari arah lapangan sekolah. Terlebih Devia yang sedang makan saat itu, duduknya di kursi yang paling luar.
Gadis itu mencari siapa yang memanggilnya, lalu melambaikan tangan begitu melihat Rensa.
“Bu Endah, Via berapa?” tanyanya seraya berdiri.
“Tiga belas ribu, Neng. Nasi sama lauk sepuluh, sama, es tiga ribu,” balas Bu Endah, dengan pandangan suka.
Devia mengeluarkan uang dan membayar. “Makasi yaa, Bu,” ucapnya, kemudian menengok pada teman sekolah yang baru berkenalan dengannya itu.
“Asih, gue duluan yaa,” ia tersenyum, “Hmmm, makasi yaa udah mau kenal sama gue,” lanjutnya.
“Ih, gelis…, justru gue yang makasih,” kata gadis remaja bertubuh gemuk dan segar itu di sela-sela makan, sambil menepuk bahu Devia. Temannya yang ada di belakangnya merasa agak menyesal sebab tidak ikut berkenalan. Detik itu ia baru melihat sendiri, jika Devia adalah orang yang rendah hati.
Devia pun bergegas mendekati Rensa. Mereka berdiri berhadap-hadapan di pinggir taman hias, sebelah kiri lapangan. Area beralas konblok yang mengelilingi lapangan utama sekolah.
“Gue mau tanya. Semenjak kejadian kemarin, respon dari temen-temen sekelas lo gimana? Mereka pasti pada nyinyir ya?” Rensa menanyakan perihal Devia ribut sama Aulia. Tanpa ia sadari, dirinya sudah bertindak serupa seorang Manager Profesional, yang wajib menjaga mood artisnya.
“Hmmm, enggak sih, cuma, yah gitu dehh,” Devia merasa, kalau kejadian itu tidak banyak berpengaruh pada reputasinya. Beberapa peristiwa seperti di kantin barusan membuatnya yakin atas hal itu. Namun ia tetap menduga ada beberapa pihak yang kian membencinya.
“Oh, ya udah deh,” jawab Rensa.
“Tapi gue juga udah gak peduli, Sa. Yang penting gue gak berniat menyakiti siapapun. Biarin orang mau ngomong apa tentang gue. Gue akan tetap berjuang untuk cita-cita gue, bisa ketemu sama ayah gue.” Pandang Devia seperti orang yang berharap, lalu berubah menjadi tajam dan penuh semangat di akhir kalimat.
“Yeaayy, gitu, dong. Ini baru temen gue.” Rensa tersenyum. “Gue seneng kalo lo semangat, Dev.” Tangan kanannya bersandar pada batang pohon palm yang condong ke arah lapangan.
“Yang penting lo terus bantu gue yaa, Sa. Gue gak bisa sendiri. Gue butuh lo, Sa.” Mata Devia tiba-tiba berlinang.
Rensa yang melihat Devia bicara seperti itu ingin sekali memeluknya. Namun apa kata orang yang melihatnya nanti? Jam istirahat begini pasti banyak orang yang berlalu-lalang. Dan kalaupun di rumah atau semisal tidak ada siapa-siapa, Rensa juga belum tentu berani memeluk Devia ibarat cowok yang sedang memeluk ceweknya. Semenjak kecil Rensa tahu bagaimana Devia. Paham jika gadis itu tidak suka padanya, ah, bukan tidak suka. Devia mungkin suka kepada Rensa, tapi hanya sebatas teman, sahabat, atau sebagai seorang Kakak. Tidak lebih dari itu.
Sedangkan, ia…
“Semalam gue mimpi, Sa. Ketemu sama Ayah gue. Tapi gue takut kalo itu cuma sekedar mimpi, dan gak jadi kenyataan, Sa. Gue takuuut,” gumam Devia dengan ekspresi seperti orang yang memohon dengan sangat.
Untuk kedua kalinya, dalam benak Rensa ingin sekali memeluknya, lalu mengelus rambut lurusnya guna membuatnya tenang. Tapi itu bagai pungguk yang merindukan bulan. Karena Rensa tahu, sampai sekarang Devia tidak pernah terpikir soal rasa itu, atau memang belum pernah merasakan rasa itu.
“Lo gak perlu takut, Dev. Gue yakin, mimpi lo pasti akan jadi kenyataan, kok. Lo pasti akan ketemu sama Ayah lo suatu saat nanti,” ujar Rensa meyakinkan.
“Makasi, yaa, Sa.” Karena terlarut dalam kesedihan, tanpa sadar Devia memeluk tubuh Rensa, tapi dengan cepat langsung melepasnya dengan berpura-pura mengikat tali sepatu.
“Sorry ya, Sa, gue gak bermaksud…” belum selesai Devia bicara, Rensa menyela ucapannya.
“Iya, gak papa, Dev, gue ngerti kok,” ujarnya dengan raut wajah amat canggung.
“Gue masuk dulu ya, Sa.” Devia melintas di depannya. “Oh, iya, nanti ajak Anna ke rumah lo yaa. Ada yang mau gue tanyain sama dia,” katanya dan berlalu.
Rensa masih berdiri. Hampir saja lututnya gemetaran karena sesuatu yang sama sekali tidak ia sangka akan dilakukan oleh Devia, yang mana sesungguhnya ia harapkan lebih dahulu.
Tatap matanya lalu memperhatikan sekelilingnya.
“Alhamdulillah,” ia berujar sendiri karena merasa tidak ada siapa pun yang melihat. Padahal, tanpa sepengetahuan mereka, dua pasang mata mengamatinya dari jarak yang cukup kelihatan.
“Na, pulang sekolah nanti ada waktu gak?”
Saat masuk kelas, Rensa bertanya pada Anna yang sedang menyalin tulisan di buku. Berdiri di samping meja. Anna duduk di meja paling depan, berhadapan langsung dengan meja guru.
Pada pelajaran sebelumnya ia diminta oleh guru yang sedang malas mengajar, untuk menulis di papan tulis, maka itu ia belum menyalin di bukunya sendiri.
“Kenapa, Sa?” pulpen di tangan ia letakkan di meja, seraya menengok.
“Hmmm, tadi Devia minta sama gue, ajak lo ke rumah. Kebetulan kita mau bikin konten nih,” gumam Rensa dengan kedua tangan yang bertengger di sisi meja. “Bisa gak?”
“Iya, bisa kok, Sa. Tapi nanti gue mau ketemu Bu Erni dulu ya, sebentar. Lo tunggu aja di tempat kemarin, atau, kalo mau duluan juga gak papa,” balas Anna bersamaan dengan jatuhnya pulpen karena permukaan meja yang tidak rata. Oh ya, Anna adalah seorang kidal, karena itu ia meletakkan pulpen di sebelah kiri meja.
Rensa melihat pulpen Anna jatuh ke kakinya. Ia pun hendak mengambil. Tapi belum lepas tangan Rensa dari pinggir meja, jemari tangan Anna menyentuhnya.
Ke-empat mata mereka pun saling memandang.
Perasaan cinta memang terkadang begitu. Pesonanya bisa menarik hati seseorang yang awalnya biasa saja, berubah karena diperhatikan oleh orang yang ia tahu tengah mencintai dirinya.
Rensa pun demikian.
Remaja laki-laki berhidung mancung itu tahu, bahwa Anna adalah gadis yang menyukainya. Sebab itulah hatinya menjadi ikut tertarik pada Anna.
Rensa tersenyum dan tetap menjaga mata untuk terkait tatap pada Anna. “Ya udah ya, gue tunggu di rumah.”
“Oke,” balas Anna yang juga tersenyum.
“Pulpen lo nih,” Rensa mengambil pulpen yang tadi terjatuh, meletakannya di atas meja Anna.
“Tutupnya mana? Lo umpetin yah?” tanya Anna. Rensa mencari di bawah kakinya.
“Nih,” tangannya mengambil dan meletakkan tutup pulpen. “Ngapain gue ngumpetin tutup pulpen. Rasa hati gue aja gak bisa gue umpetin,” sambil tersenyum, Rensa pun langsung balik ke mejanya.
Anna yang mendengar ucapan Rensa tak bisa berkata apa-apa. Hanya menatap sampai remaja laki-laki itu kembali ke tempat duduknya.
Pukul 15.10
Di rumah Rensa, — sembari menunggu kedatangan Anna — Devia melakukan pemanasan vokal dengan diiringi gitar oleh Rensa. Kebetulan ayah, ibu, dan adiknya sedang tidak ada di rumah.
Rensa adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya yang pertama, perempuan, sudah bekerja di Jakarta dan tidak tinggal di rumah. Sementara adiknya, laki-laki baru berusia empat tahun.
Rumah milik keluarga Rensa berukuran cukup besar. Batas area tanahnya lebih luas lagi, sebab masih banyak lahan kosong di samping dan di belakang rumah. Bentuk bangunannya seperti bangunan Belanda yang atapnya tinggi-tinggi. Berhalaman luas dan banyak pepohonan. Sepertinya, kakek buyut Rensa di masa lalu merupakan orang seperti Si-Pitung, yang mampu mengambil alih kediaman milik cukong penjajah gelo yang dulu berkedudukan di Bumi Paris Van Java.
Suara gitar pun terdengar dari ruang tamu di rumah itu.
“Andai dunia, tanpa cinta. Gelaplah hidupmu dan hilang rasa. Jangan pernah, engkau menyerah. Kuatkan dirimu untuk terus melangkah.
Carry on, carry on, buka mata hatimu. Jangan kau, padamkan harapan dan cintamu.
Carry on, carry on, waktu terus berlalu. Berani melangkah, ikuti nuranimu. Carry on.”
Suara Devia terasa sangat enak didengar. Nada alto dari lagu apa saja terdengar bersih. Itu merupakan satu hal penting yang membuat orang suka pada suaranya. Tinggi dan bersih, dengan rasa yang khas dari seorang Devia. Namun ada lagi hal yang lebih hebat daripada sekedar hal itu. Yakni penjiwaannya.
Setiap bernyanyi, Devia pasti menghayati lirik dari lagu yang sedang ia nyanyikan. Seolah-olah sedang merasakan curahan hati yang terkandung di dalam lirik lagu.
“Dengan cinta, di hatimu. Hangatkan jiwa dan terang hidupmu. Mengapa kau takut dan sembunyi? Kini saatnya, tunjukanlah dirimu.”
“Kok agak fals sih, Dev?” Rensa menengok pada Devia. Suara gitar pun berhenti seketika.
“Lo kenapa? Masih ada yang dipikirin? Ayo semangat dong.” Rensa coba menghibur Devia yang sudah meneteskan air mata di pipi. Gadis itu pun langsung mengusapnya.
“Gak papa, Sa. Sorry gue cuma terlarut aja sama lagunya.”
“Oh, kirain kenapa. Hahaha, oke dehh, nanti kita cover lagu ini, request dari Anna.”
Tak lama kemudian terdengar suara Anna dari depan pintu. “Assalammualaikum,” seraya melangkah masuk, berhubung pintu terbuka lebar dan juga ada sepatu milik Devia.
“Waalaikum salam.” Mereka menjawab salam. “Annaaa…” Devia langsung menyapa dengan ceriwis.
Anna tersenyum dan meletakan bungkusan plastik ke atas meja.
“Bawa apa itu, Na?” Devia bertanya.
“Pisang nugget,” jawab Anna.
“Ohh.”
“Udah yuk kita langsung aja,” kata Rensa seraya beranjak. “Nanti kalo udah selesai, baru kita ngobrol. Gimana?”