Sang Biduan Kota Kembang

Rudie Chakil
Chapter #7

Wajib Mencoba

‘Masa Remaja’ itu sama halnya dengan ‘Waktu Sandekala’, yaitu sama-sama sesuatu yang ‘sakral’. Hal tersebut karena keduanya merupakan fase peralihan, di mana seseorang merasakan langsung akan sebuah proses perubahan dalam kehidupan.

Maka itulah, untuk dua hal tersebut, orang tua jaman dahulu seringkali berkata ;

“Masuk rumah, saat sandekala. Jaga diri, saat remaja.”

Yah… jangan pernah sia-siakan masa remaja. Karena bagi banyak orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan. Entah kesan indah, biasa, atau kesan mendalam.

Siang hari pada hari Minggu, Rensa sedang nangkring di salah satu pohon yang ada di halaman. Lebih tepatnya pohon jambu air yang berada di sisi tembok sebelah kanan rumah. Pohon itu adalah pohon yang paling mudah untuk dipanjat, karena cukup naik ke atas pagar, lalu ada batang besar yang menempel pada tembok pagar. Buahnya berwarna putih dengan ukuran yang tidak terlalu besar, namun bila sudah masak rasanya sangat manis. Devia saat masih kecil juga sering memanjat pohon dan mengambil buah di pohon itu.

Rensa meletakan satu kakinya di atas dahan, di depan batang horizontal yang ia duduki. Satu kantong plastik berisi buah jambu air tergantung di ujung cabang. Tangan kanannya memegang jambu sebanyak dua buah, sementara mulutnya terus menggerus buah yang sudah masak.

Remaja laki-laki itu kemudian teringat pada satu kejadian lima tahun yang lalu, ketika ia berusia sembilan tahun. Kejadian tersebut berhubungan dengan kondisi duduk di atas pohon.

“Sa…, Via males ngaji. Kita bolos yukk,” Devia mengajak Rensa saat akan berangkat mengaji. Rumah Devia dahulu berada di seberang rumah Rensa, tiga rumah ke arah kiri dari rumahnya.

“Males kenapa?” tanyanya.

“Via kepingin beli jajan, Sa, tapi gak punya uang.”

“Hmmm, gimana kalo kita ambil jambu aja. Mau gak? soalnya Rensa juga gak punya uang,” jawab Rensa sambil membenarkan peci hitamnya, lalu melihat ke atas pohon.

Devia yang sudah memakai mukena dan menenteng Kitab Suci Alquran itu mengangguk.

Rensa lalu memanjat pohon jambu air untuk mengambil buah sebagai pengganti jajan. Devia yang hanya melihat dari bawah, terbesit juga rasa ingin berada di atas pohon. Ia pun segera melepas mukena dan ikut memanjat.

Akhirnya mereka nangkring bersama di dahan panjang sambil menikmati buah jambu air yang sudah masak. Sampai detik-detik menjelang azan maghrib, Syamsuddin berteriak memanggil. Pria itu adalah salah satu guru ngaji yang ada di musholla, persis di sebelah rumahnya.

Rensa menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum kala mengingat kejadian itu, karena pada malam hari ayahnya langsung menghajar kakinya dengan rotan. Pandangnya yang sejak tadi memandang hijau dedaunan, beralih ke bangunan musholla yang kini sudah berubah menjadi masjid.

Ia juga teringat, ketika kelas empat Sekolah Dasar, Devia menjadi juara pertama lomba MTQ tingkat anak-anak kecamatan Sukasari. Sementara dirinya juga ikut lomba azan, mewakili sekolah yang sama dengan Devia, namun belum berhasil menjadi juara.

“A Eca, A Eca,” suara adiknya memotong laju pikiran Rensa. Padahal ia sedang terbayang pada Devia dengan rambut yang masih dikuncir ekor kuda. Laki-laki berkaos oblong putih itu pun melihat ke bawah, melihat adiknya yang sedang melambai-lambaikan kedua tangan ke arahnya.

Tak lama ia pun turun.

Di waktu yang sama, di tempat lain.

Devia sedang uring-uringan menghadapi dirinya sendiri. Setelah keluar dari kamar karena tidak betah, ia lalu tiduran di kursi panjang ruang tamu, tetapi masih juga gelisah. Pikirannya bingung menghadapi soal yang jawabannya belum ketemu. Yaitu soal tampil di panggung bersama ibunya, dua minggu yang akan datang.

“Vii…, lo jangan jadiin beban yaa. Gue cuma kasih saran doang, kok, bukannya maksud gimana.” Anna bicara saat kemarin mereka melangkah keluar dari rumah Rensa.

“Iya, Na, lo bener kok. Tenang aja, gue emang harus bisa.”

Devia teringat akan ucapan setuju darinya itu. Pada saat menjawab saran dari Anna dengan penuh semangat, pikirannya hanya terlintas pada isi saran saja, dan belum melihat kenyataannya. Pada kenyataannya ia membohongi dirinya sendiri. Sebab belum sepenuhnya menyukai genre musik dangdut.

Bagi orang dengan bakat seperti Devia, menyanyi apapun dengan mudah dapat dilakukan, termasuk bernyanyi dangdut. Hanya dengan mendengar dan mempelajari bagaimana cara orang lain bernyanyi, maka ia mampu melakukannya. Tetapi, bakat spesial seperti itu lebih banyak berasal dari orang-orang yang idealis seperti Devia, yang merasa bahwa menyanyi bukanlah sekedar bernyanyi, melukis bukanlah sekedar menggambar, atau, ‘berkarya’ bukanlah sekedar ‘menjadi’.

Nah, masalah yang dipikirkan, bukanlah ia tidak mampu menyanyi dangdut, melainkan belum bisa menyukai sepenuhnya genre musik dangdut . Dan ia tahu, jika demikian, bagaimana dirinya akan mampu tampil sempurna? Bagaimana ia akan menjiwai sebuah lagu, bila belum cinta akan genre musiknya?

Mojang kota kembang itu beranjak dan melangkah ke dapur.

“Mah, sini deh…, ada yang mau Via omongin,” ujarnya, berdiri di depan pintu kamar, melihat pada ibunya yang berdiri sambil menggoreng ikan.

“Kenapa?” Fitri menengok.

“Hmmm…” Devia berpikir bahwa sangat tidak enak ngobrol satu hal penting, diiringi oleh suara minyak goreng dan suara osengan wajan.

“Nanti aja deh, kalau Mamah udah selesai,” serunya.

Fitri yang mengetahui bahwa apa yang hendak dibicarakan oleh anaknya merupakan sesuatu yang penting segera berkata. “Sebentar yaa, Mamah mau kelarin ini dulu.”

“Apa, Mah?” gadis berwajah oval dengan kaos putih itu mendekat.

“Hmmm, kamu lihat video di handphone Mamah, sana. Di WhatsApp grup Mamah yaa,” kata Fitri.

“Emang kenapa, Mah?”

“Gak papa, liat aja gih.”

“Oh…, iya, Mah.” Devia terketuk oleh pinta sang ibunda, yang mungkin selaras atau bisa menjawab pertanyaannya. Ia pun mengambil ponsel yang diletakkan di atas televisi, lalu kembali ke kursi panjang.

Hati Devia seakan-akan tergelitik. Tersenyum sendiri melihat foto-foto dan video ibunya kala berada di atas panggung. Hingga beberapa saat ia menyaksikan beberapa video, pikirannya berkecamuk berbagai rasa. Gadis itu baru sadar jika kenyataan jauh berbeda dengan apa yang dipikirkan. Mungkin pencapaiannya dalam cover lagu di Youtube memang sungguh luar biasa. Tapi ia merasa kecut hati setelah memvisualisasikan dirinya sedang tampil di atas panggung seperti sang ibunda. Benarlah kata Anna, jika jam terbang bukanlah perkara sembarangan, juga harus merasakan bagaimana euforia kala berada di atas panggung.

“Kenapa, Vii? Kurang bagus yaa suara Mamah?” Fitri datang dan melihatnya sedang senyum-senyum sambil menatap layar ponsel. Devia pun menengok.

“Nggak, Mah, bukan masalah itu. Via baru tahu, kalo jam terbang Mamah tuhh jauh lebih tinggi dari dugaan Via,” ujarnya, membuat Fitri tersenyum.

“Sekarang Mamah gak ada apa-apanya sama kamu, tauk. Suara kamu tuh udah didengar sama banyak orang. Kamu sekarang jauh lebih terkenal daripada Mamah.” Tangannya mengusap pipi sang anak.

“Hmmm, gimana yah?” raut wajah Devia berpikir.

“Via cuma kebetulan aja kok. Via sih senang, Mah. Tapi, Via gak tahu gimana jadinya kalo ada di panggung kayak Mamah. Selama ini, kan, Via nyanyi sendirian. Paling cuma Rensa sama keluarganya yang pada lihat.”

“Enggak gitu, Viaa. Sejak dulu Mamah minta kamu supaya jadi penyanyi, Mamah percaya banget sama kamu, kalau kamu bisa jauh melebihi Mamah. Mamah cuma punya sedikit bakat. Sementara kamu, dalam diri kamu itu adalah bakat yang sebenarnya, yang jarang orang lain punya, termasuk Mamah.”

“Tapi, Mah, Tapi Via sekarang bingung, Mah,” gumamnya seraya meletakkan ponsel.

“Bingung kenapa?”

“Via gak suka dangdut, Mah,” jawabnya.

Sejenak Fitri berpikir. “Iya…, selama ini kamu belum pernah nyanyi dangdut ya?” tanyanya.

“Iya, Mah, gimana yaa, Mah, caranya, biar Via suka sama dangdut?”

“Hmmm…, gimana ya? Mamah juga gak tahu.”

Ponsel Devia yang ada di atas meja seketika berdering panggilan masuk dari Rensa.

“Halo… Dev… lo lagi apa?” suara Rensa saat Devia menerima panggilan.

“Lagi ngobrol, sama Mamah.”

“Nah, gitu dong, jadi anak yang baik lo,” tukas Rensa.

“Hehehe,” Devia tertawa. “Oh ya, Sa. Rencananya, hari Minggu tanggal 19 gue mau ikut manggung sama Mamah.”

“Oh, berarti, dua minggu lagi ya?”

Lihat selengkapnya