Salah satu hal yang istimewa dari bakat menyanyi Devia adalah, dia sangat mudah dalam menghapal musik. Hanya dengan mendengar sebanyak tiga kali, ia sudah mampu menguasai nada dari sebuah lagu.
Bantal bertumpuk tiga. Kaki bertumpu pada guling. Headset menempel di telinga. Ponsel dalam keadaan aktif. Mata menerawang jauh. Itulah yang terjadi ketika Devia serius kala mempelajari sesuatu.
Gadis itu terus belajar tentang musik dangdut. Dalam benaknya, terbesit sebuah pertanyaan besar, “Apa gerangan yang membuatnya kurang respek pada genre musik asal Indonesia itu?”
Padahal tidak ada yang salah dengan musik dangdut. Ia tahu akan hal itu. Dangdut sama seperti genre musik lain yang juga memiliki peminatnya sendiri.
Meskipun beberapa kalangan menganggap dangdut adalah musik kampungan, namun tak dapat dipungkiri, bila sebagian besar masyarakat Indonesia lebih sering menggunakan dangdut sebagai media pengisi acara dan berbagai kepentingan, ketimbang genre musik yang lain. Devia sendiri dari kecil sudah familiar dengan musik yang paling merakyat itu, hanya saja rasa minatnya tidak terusik sama sekali, sampai pada masa sekarang.
Semenjak dahulu, Devia banyak berseberangan dengan ibunya, meski tidak semua hal. Dari mulai pilihan, rasa, minat, upaya, sampai pendapat yang seringkali bertolak belakang. Jika Fitri menyukai pedas, maka Devia menyukai manis. Jika Fitri menyukai panas, maka Devia menyukai dingin. Jika sang ibunda menyukai terang, maka ia menyukai gelap. Demikian pula dengan genre dari musik yang mereka sukai. Jika Fitri yang memang seorang Biduan menyukai dangdut, maka Devia menyukai pop rock atau ballads.
Namun pada masa kini, visualisasi batin Devia seakan-akan sudah melihat sebuah gerbang besar yang terpampang di depannya. Menjadi pilihannya mau masuk atau tidak. Tanpa disadari pula, sebenarnya ia sudah berjalan menuju ke arah gerbang tersebut, sebab sudah mau menanggalkan sedikit ke-idealis-an dirinya. Devia pun sadar, jika usia berkarir dalam dunia tarik suara masihlah seumur jagung, sedangkan ia sudah bertekat untuk menjadi seorang penyanyi profesional. Jadi yang bisa ia lakukan hanyalah belajar, berusaha, dan terus mencoba.
Gerbang besar itu adalah dangdut. Devia wajib menyukai musik dangdut, juga mempersiapkan dirinya supaya mampu menguasai panggung. Oleh sebab itulah ia bersungguh-sungguh dalam berusaha. Itu adalah panggilan dari dalam hatinya untuk menaklukan dirinya sendiri.
Selama berhari-hari, pemilik zodiak Virgo itu mendengarkan lagu-lagu dangdut ternama. Sudah banyak video konser dangdut yang ia pelajari. Beberapa penyanyi dangdut terkenal yang ia jadikan referensi. Sampai-sampai daftar pilihan di beranda YouTube-nya, banyak berisi video-video tentang dunia perdangdutan.
Meskipun terasa agak memaksa, namun upayanya berbuah hasil.
Pada satu waktu di sore hari, ketika sedang mendengarkan musik dangdut, ia mendapatkan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mungkin bagi para penggemar dangdut itu adalah sesuatu yang biasa. Namun berbeda dengan telinga seorang Devia. Ia menganggap itu merupakan sesuatu yang sangat eksentrik.
Gendang…
Yah, suara gendang.
Devia menemukan kesenangan musik dangdut dari suara gendangnya.
Dalam posisi menyender pada bantal yang bertumpuk tiga, kaki yang bertumpu pada guling, headset yang menempel di kedua telinga, video yang terputar lagu dangdut di layar ponsel, dan sorot mata yang menerawang jauh seakan menyibak rasa dari sebuah karya seni. Devia berhasil meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia sudah jatuh cinta pada musik lokal itu.
Devia telah berhasil. Di dalam kamar ia tertawa sendiri sambil menikmati ritme tabuhan gendang dari musik dangdut yang ia dengar.
Malam hari, pukul 19.30.
“Mah…, sini deh,” Devia memanggil Fitri yang baru selesai berbincang lewat telepon di dalam kamarnya.
“Apa?” Fitri menengok, kemudian beranjak dan melangkah keluar kamar.
“Via udah siap dong, Mah,” ujarnya.
“Siap apaan?” tanya Fitri.
“Untuk nyanyi di panggung, Mah.” wajahnya tersenyum riang sambil memiringkan kepala.
“Beneran, siap?”
Devia mengangguk-angguk sambil tersenyum, menjawab tanpa berkata.
“Kalo begitu waktunya emang pas. Kemarin malam, Mamah ngomong sama Om Joni. Benar, kan, apa kata mamah. Om Joni seneng banget kalau kamu ikut ke panggung,” lanjut perempuan cantik beralis mata lentik itu.
“Ohh…, terus?”
“Kata Om Joni, kamu diminta latihan dulu sebelum tampil.” Tangan kiri Fitri memegang sisi pintu kamar yang terbuka lebar.
“Kapan, Mah?”
“Hmmm, kapan ya? Nanti Mamah tanya lagi deh.” Fitri berpikir, sebab mengetahui jika jadwal latihan tim dangdutnya adalah siang hari, sementara siang hari Devia masih harus belajar di sekolah.
“Ngobrolnya di depan aja yukk,” ajaknya.
Mereka pun duduk di kursi ruang tamu dengan berhadap-hadapan, terhalang satu meja.
“Mah, untuk Minggu depan, Via tampil cuma dua lagu aja yah?” gadis yang memakai kaos hitam celana shorter shorts itu bertanya.
“Hmmm, iya, gak papa. Untuk perkenalan kamu di panggung, itu udah cukup, kok.”
“Oke, Mah.” Devia menyender di punggung kursi. “Sama nanti, Devia boleh request lagunya yaa, Mah?”
“Emang kamu mau nyanyi lagu apa?” tanya Fitri.
“Lagu Ilir, Salah Apa Aku, sama satu lagi, lagu yang ada di YouTubenya Via aja deh. Hmmm, lagu Nike Ardila aja yah, Mah, Nyalakan Api.”
“Ohh... ya udah. Nanti Mamah bilang sama Om Joni.”
“Makasih, Mamah.”
“Besok kamu siapin mental yaa. Mamah nggak meragukan suara kamu. Tapi kamu kan, baru pertama kali nyanyi di panggung. Biasanya orang yang baru pertama kali itu suka nerves loh,” tutur Fitri memberitahu anaknya.
“Iya, Mah, makanya Via mau coba sekalian.”
“Belajar aksi panggung dulu yukk sama Mamah, hmmm, di ruang tengah aja,” ajak Fitri.
“Joget.” Sambungnya dengan alis mata terangkat. Tangan dan badannya juga ikut bergoyang-goyang.
“Hah,” Devia tertegun.
“Biar nanti kamu gak kaget. Paling enggak, kamu tahu dasar joget dangdut. Ayoo...”
“Hmmm... Devia malu, Mah.”
“Malu sama siapa, Viaa? Orang cuma berdua sama Mamah, kok. Gimana nanti kalo kamu berada di panggung, coba? Di depan banyak orang.” Fitri melirik setengah mengejek.