Sang Biduan Kota Kembang

Rudie Chakil
Chapter #9

Nathan Edward

“Rensa...”

Devia memanggil, seraya turun dari mobil angkot, pagi hari di pertigaan jalan menuju sekolah. Tak lupa ia bersegera membayar jasa sang supir.

“Viaa, barengan atuh,” ujar salah seorang teman sekolah yang sama-sama baru keluar dari dalam angkot.

“Sorry, gue ada perlu.” Gadis berseragam sekolah yang dibalut dengan sweter tipis biru muda itu melambaikan tangan padanya, lantas mengejar Rensa yang sedang berdiri menunggu di pinggir jalan.

“Gimana acara lo kemarin? Cerita dong,” kata Rensa begitu Devia sudah berjalan di sampingnya. Sudah dua hari ia tidak bertemu dengan remaja putri itu.

Devia menyunggingkan bibir tipisnya, lalu menceritakan semua pengalaman di panggung kemarin. Tidak ada yang dilebihkan dan tidak ada yang dikurangi. Semuanya apa adanya.

“Berarti doa gue terkabul yaa,” kata Rensa, teringat sore hari kemarin ia baru membalas pesan WhatsApp dari Devia. ‘Semangat yaa. Lo pasti bisa Dev. Amiin’. Demikian pesan balasan tersebut.

“Iya, sih. Tapi lo balesnya lama banget.”

“Hahaha, maklum aja. Gue banyak kerjaan di rumah, Dev.”

Selanjutnya mereka melangkah tanpa bicara. Menikmati keindahan suasana jalan ke sekolah, di mana suara burung-burung bersahutan dari atas pohon besar yang berjejer di sepanjang jalan. Di tambah pemandangan sawah yang terbentang dengan kabut tipis yang belum sepenuhnya hilang. Sampai beberapa saat kemudian, Rensa berkata sambil menengok.

“Lo hebat, Dev. Keyakinan gue dari dulu tentang lo tuh semakin terbukti.”

“Makasih yaa, Sa. Gue gak akan sejauh ini kalo gak ada lo,” balas Devia.

Rensa hanya terdiam, kendatipun rasa hatinya ingin sekali jikalau mulut dapat berteriak di depan wajah manisnya. ‘Devia, Lo tau gak? Semua ini gue lakuin karena gue sayang sama lo.’ Namun ia tidak berani untuk berkata demikian.

“Iya, Dev, sama-sama,” balasnya hanya seperti itu.

“Oh ya, Sa. Nanti sore kita bikin konten apa enggak? Udah hari ke-lima nih. Hehehe,” kata gadis itu dengan wajah canggung karena merasa tidak enak.

“Terserah lo aja. Sebenernya dari kemarin tuh gue mau ingetin.”

“Hmmm, oke deh, nanti pulang sekolah bareng sama gue yaa.” Devia berbelok arah ke warung di depan gerbang sekolah.

“Mau beli apa lo?” tanya Rensa, tak sadar jika banyak pasang mata yang mengamatinya dengan aura iri hati.

“Beli pulpen. Udah, lo duluan aja gak papa.”

“Oke.” Rensa pun melangkah masuk ke gerbang sekolah.

Malam harinya pukul 20.00, Devia sudah berada di rumah.

Ia termenung di tempat tidur sambil memegang ponsel. Sore tadi selepas pulang sekolah, mereka membuat satu konten berupa cover lagu dari Sang Lady Rocker Inka Christy yang berjudul ‘Cinta Kita’.

Sebenarnya sudah lama Devia ingin menyanyikan lagu itu. Tapi Rensa melarangnya karena beralasan jika lagu tersebut lebih bagus untuk duet daripada harus dinyanyikan solo. Padahal sesungguhnya dia-lah yang ingin berduet dengan biduan remaja itu, hanya saja ia malu ketika harus bernyanyi, apalagi jika Devia sampai meminta untuk diposting.

Karena itulah channel ViaLestarii sudah berjalan sampai beberapa lama, namun belum ada cover dari lagu legenda yang satu itu. Tetapi pada sore hari tadi, Devia ingin sekali menyanyikan lagu tersebut, lalu meminta Rensa untuk segera mempostingnya.

Devia menumpuk bantal yang tersusun tiga, seperti kebiasaannya saat bersantai. Ia kemudian membaca satu pesan WhatsApp yang masuk dari Rensa.

“Udah selesai gue edit nih. Langsung posting gak?” demikian pesan itu.

Devia pun membalas langsung pesan, “Ok. Thanks yaa, Sa.”

“Sipp,” ditambah dengan emoticon ibu jari sebanyak tiga buah.

“Oh ya, Dev, untuk hari Minggu besok, gue punya konsep yang beda.” Rensa mengirimkan pesan lanjutan.

“Sipp.” Balas Devia, ditambah emoticon ibu jari sebanyak tiga buah.

Dalam sebuah hubungan pertemanan, walaupun sama-sama bersifat baik, belum tentu dapat berteman intens secara berkesinambungan. Kecuali bagi mereka yang sama-sama saling membutuhkan, sama-sama saling peduli, dan sama-sama saling mengasihi.

Namun berbeda dengan sebuah ‘Persahabatan’.

Minggu siang, saat Devia baru selesai syuting bersama Rensa untuk video YouTube selanjutnya, mereka duduk santai di kursi ruang tamu. Keduanya terdiam sambil memegang handphone di tangan masing-masing.

Devia tiba-tiba berkata pada Rensa dengan nada sewot.

“Sa..., masa ada yang upload video dangdut gue ke YouTube. Ngajak ribut nih channel.”

“Ah, masa sih?” Rensa kemudian membuka aplikasi YouTube, “Judul videonya apa?”

“Ternyata Devia juga seorang Biduan,” jawabnya, menengok dengan wajah jengkel.

“Yaa Allah, ada-ada aja. Tapi sumpah, gue nggak pernah upload video yang lo kirimin ke gue,” ucapnya sambil melihat pada wajah Devia.

Sebenarnya Rensa justru ingin tertawa setiap kali melihat Devia sudah bermuka jutek. Karena menurutnya wajah jutek Devia terbilang lucu. Alis mata mengkerut dengan sorot mata tak terima, hidung mancung bersetelan dengan bibir tipis yang mendumal.

Rensa kemudian menemukan video yang dicari. “Hahahaha, udah banyak banget yang view, udah empat ribu,” ujarnya.

“Kok lo malah ketawa sih, Sa??”

“Bentar, bentar,” Rensa berkata sambil mengamati layar ponselnya. “Sudut pandang ini gak ada nih, Dev, di video yang lo kirim ke gue.”

“Iya, gue tahu bukan lo yang upload.”

“Iya, emang bukan gue.”

“Ya udah, lo ngapain nonton terus?” Devia menggerutu.

“Lahh, lo kenapa jadi marah sama gue sih? Ini kan tandanya lo itu semakin terkenal,” kata Rensa. Devia hanya terdiam.

“Dev, plis dengerin gue sebentar. Lo melek dong, Dev. Lo itu udah jadi orang terkenal walaupun cuma lewat YouTube. Sekarang jumlahin aja deh viewer semua konten kita, ada berapa coba?” Rensa berusaha meluruskan pikiran Devia. “Banyak, kan?” tanyanya tegas. Devia tetap terdiam sambil bertopang dagu.

“Sekarang, ngapain lo sewot kalo ada yang upload video tentang lo? Emang penampilan lo jelek apa? Suara lo jelek?”

Gadis itu mengangkat wajahnya. “Bener juga yah, Sa. Ngapain ya gue musti pusing sama komentar orang laen?” dan perlahan mulai tersenyum.

“Iya..., samain aja sih sama di sekolah. Yang ngomongin lo di sekolah kan sekarang tambah banyak. Tapi lo bisa masa bodo.”

“Ih, justru itu yang gue takutin, Rensa. Di sekolahan. Kalo di luar mah gue masa bodo deh.”

“Oh, iya, yah.” Pelan Rensa berbisik, beruntung Devia tidak mendengar. Ia berpikir sama, hal itu pasti akan jadi bahan sindiran beberapa siswa.

“Yah, kan?” sambar Devia.

“Ya udah, gak papa sih, Dev. Yang penting kan gak ganggu kegiatan di sekolah. Semua video yang kita bikin juga di luar jam sekolah. Video ini juga kan waktu libur, Minggu.” Rensa menunjukan video dengan ponsel di tangannya.

“Tapi bulian tentang gue nyanyi dangdut, pasti kedengeran nih di kuping gue, Rensa.” Devia kembali mendumal.

“Udah gak papa, lo tenang aja. Gue bisa pastiin sama lo, kalo orang-orang yang komentar jelek tuh sebenarnya cuma iri aja sama lo.”

“Ckk..., lo gak tahu Sa, gimana pandangan negatif orang-orang tentang biduan? Lo tau gak, gimana si Lia kalo lagi bully profesi Mamah gue?”

Rensa memandang haru padanya. Ia pun teringat, saat dahulu baru mulai membuat YouTube, ia pernah beberapa kali menghapus komentar bully yang masuk, karena takut jika Devia down melihat komentar negatif dari Netizen, seperti kritakan langsung yang ditunjukkan oleh Anna tentang gaya busananya itu.

Rensa mengembuskan napas panjang. Meskipun masih remaja, namun sikap dan cara pikirnya hampir serupa orang dewasa.

“Iya, mungkin gue gak ngerasain hal itu. Tapi itu udah resiko jadi orang terkenal, Dev. Dan gue percaya, kalo lo pasti bisa menghadapi itu semua. Lo udah nangkep momen lo, Dev. Lo udah terlanjur basah.”

Mendengar itu sorot mata Devia berubah menjadi semangat lagi. “Ya udah deh, maaf ya, Sa, kalo gue ngomelnya jadi sama lo.”

“Gak papa. Gue mah udah biasa, dari dulu diomelin sama lo.”

“Iya, maaf, maaf, Rensa.”

“Dah, lo tenang aja. Lo tetap jauh lebih baik dari mereka kok. Jadi, gue harap lo tetap maju terus.”

“Maaciih, A Eca.” Nada Devia seperti adiknya Rensa, Danish Pamungkas.

Selanjutnya, Devia terus membuat konten bersama Rensa. Malahan sekarang ia juga sering ikut bernyanyi dengan grup Joni Nada. Apabila job datang pada saat hari libur, atau jika ia sudah selesai mengerjakan tugas sekolahnya, atau sedang benar-benar ingin tampil di panggung, ia pasti datang.

Karena kegigihannya itu, nama Devia semakin hari semakin dikenal banyak orang. Paling tidak, untuk kalangan orang yang benar-benar menyukai musik di satu wilayah kecil di Kota Kembang. Yakni di wilayah sekitaran tempat tinggal mereka.

Sampai suatu ketika, Om Joni datang ke rumah Fitri pada satu hari di hari selasa, pukul 19.00, mereka berbincang di ruang tamu.

“Om punya kenalan di Jakarta, yang meminta Om untuk segera menghubungi kamu. Dia itu seorang produser musik yang sudah sangat terkenal. Namanya Om Handoko. Kamu bisa lihat profilnya di Google. Om juga sudah cerita sebelumnya sama Ibu kamu, dan menurut Ibu kamu, semuanya tergantung sama kamu.”

“Wah, beneran, Om? Via nggak nyangka loh,” jawab Devia dengan nada heboh.

“Om Joni awalnya juga enggak berani mengutarakan hal ini sama Ibu kamu, tapi dugaan Om terhadap Ibu kamu salah.” Ia melihat pada Fitri. “Ternyata Ibu kamu itu benar-benar menginginkan bakat kamu supaya bisa berkembang,” lanjut pria berjaket kulit dengan celana Levis itu.

“Hmmm, maksudnya apa yah, Om? Via nggak ngerti.”

“Gini, Via. Kalo orang tua yang nggak mendukung bakat anaknya, mereka pasti bilang kamu masih sekolah, atau menolak dengan segudang alasan lain. Tapi ini enggak. Ibu kamu menyerahkan sepenuhnya pada diri kamu sendiri, karena nantinya kamu juga yang akan menjalaninya sendiri. Karena itu Om Joni datang ke sini.”

Devia berpikir sejenak, lalu mengangguk, “Oh, gitu, Om. Oke deh, Via setuju,” jawabnya. Sedang, Fitri hanya tersenyum.

“Ya udah, secepatnya kita ke Jakarta, sama Ibu kamu juga. Nanti akan Om Joni antar ke rumahnya.”

“Hmmm, kalau Sabtu besok aja gimana, Om?”

“Oke…, hari Sabtu kita berangkat.”

Hari Jumat malam

Devia sedang membaca komentar YouTube tentang dirinya. Tetapi bukan komentar yang berada di dalam rumahnya sendiri, yaitu Channel ViaLestarii. Karena kalau di channelnya sendiri ia rajin membacanya, bahkan juga sering meminta Rensa untuk membalas komentar sesuai dengan yang ia pinta. Gadis itu tengah membaca komentar dari video re-post oleh channel-channel YouTube lainnya. Salah satu komentar tersebut adalah tentang Devia yang sedang beraktifitas di sekolah, yang membocorkan pada publik, tentang peristiwa saat ia berkelahi dengan Aulia Rahma Ningtyas.

Devia naik pitam, hendak memberitahukan hal itu pada Rensa, tetapi ketika ia sudah mengetik pesan, ia hapus kembali. Karena ia tahu, bagaimana pun kondisinya, ia memang harus mempersiapkan mental yang kuat untuk menghadapi itu semua. Seperti jawaban yang pasti akan keluar dari mulut Rensa ketika ia bercerita.

Pandangannya hanya tertuju pada layar ponsel, pada sederet pesan WhatsApp yang tidak ia tanggapi, bahkan tidak ia baca. Karena pesan-pesan itu berasal dari nomor yang tidak tertera dalam kontaknya. Kebanyakan dari laki-laki yang mencoba melakukan PDKT dengan dirinya.

“Via,” Fitri menyapa, seraya masuk ke kamar dan berdiri di sisi tempat tidur sambil memegang tembok kamar. “Mamah lupa, Vi.”

“Lupa kenapa, Mah?” tanya sang anak.

“Malam Minggu besok Mamah udah janji sama Om Farhan, untuk datang ke acara kondangan saudara sepupunya.” Fitri duduk di sisi tempat tidur. “Gimana yah?” tanyanya dengan raut bimbang.

Devia beranjak bangun dari posisi merebah. “Yaah, Mamah gimana sih? Ya udah batalin aja janji sama Om Joni. Bilang aja Minggu depannya lagi,” ujarnya.

“Oh, iya deh, Vi, nanti Mamah bilang sama Om Joni,” Fitri beranjak keluar kamar.

Devia beraktifitas kembali, berselancar di dunia maya. Seperti biasa, ia mendengarkan musik apa saja yang ia mau lewat YouTube. Namun seketika itu juga terbesit sesuatu di dalam pikirannya.

“Sa, lagi apa lo?” ujarnya setelah telepon tersambung pada Rensa.

“Lagi mainan sama Danish,” jawab Rensa.

“Oh.”

“Kenapa?”

“Gue mau minta pendapat sama lo nih, Sa. Menurut lo, gimana kalo semisal video gue yang di panggung kita upload aja sekalian? Di Joni Nada juga udah lumayan banyak.”

“Hmmm. Kalo gue sih setuju aja, Dev. Tapi terserah lo sih. Kalo lo mau upload, tinggal kirim ke gue aja yaa.”

“Oke, deh, nanti gue pikir-pikir dulu yaa. Oh ya, lo kayaknya buru-buru banget ya?”

“Hahaha, ini si Danish gelendotan aja.”

“Ohh… oke deh, Sa, nanti gue kabarin lagi.”

“Oke.”

Devia kembali merebahkan badan dengan ponsel di tangannya. Mungkin hampir semua remaja jaman sekarang, generasi millennial, menghabiskan waktunya dengan beraktifitas di dumai tanpa pernah bosan seperti itu. Entah nonton YouTube, baca artikel, main game, FB, IG, Twitter, super VPN, atau apa saja lah. Karena memang perkembangan tekhnologi sudah sedemikian pesat. Hal tersebut pasti membawa keuntungan berikut kerugiannya, tergantung bagaimana masing-masing orang menyikapinya.

***

Siang hari menjelang sore, pukul 14.00, sedan Vios berwarna silver merayap cepat di jalan Tol Cipularang. Salah satu jalan utama kendaraan roda empat atau lebih, yang sering digunakan sebagai rute perjalanan dari kota Jakarta ke Bandung, atau sebaliknya.

Adapun penamaan jalan TOL — Tax On Location — atau jalan bebas hambatan di Indonesia adalah seenaknya menyingkat. Sudah kata ‘TOL’ disingkat, nama jalannya juga disingkat pula. Seperti Tol Cipularang yang berarti Cikampek-Purwakarta-Padalarang, Tol Japek Jakarta-Cikampek, Tol Cipali Cikopo-Palimanan, Tol Purbaleunyi Purwakarta-Bandung-Cileunyi, dan jalan tol lainnya. Memang begitulah adanya di Negeri terindah di dunia ini, penyebutan tentang sesuatu seenak lidahnya saja.

Entahlah, apakah penyebutan seperti itu juga berlaku di negara lain, Devia tidak tahu karena ia belum pernah ke luar negeri.

Di kursi depan mobil, mojang Bandung itu merengut saja bagaikan tidak menikmati pemandangan indah jalan Tol Cipularang kala mentari masih cerah berseri. Di sampingnya, Om Joni berkendara dengan sikap santai sambil menikmati lantunan musik yang keluar dari salon mobil.

Rasa kesalnya belum bisa reda sedari berangkat tadi sampai dengan saat itu, karena sebelum berangkat ia sempat berseteru dengan sang ibunda.

“Via…, Mamah minta maaf yaa, nggak bisa antar kamu ke Jakarta. Mamah sudah janji soalnya.”

“Mamah gimana sih, masa Via sendirian?”

“Kamu kan perginya sama Om Joni. Mamah percaya kok sama dia, kamu pasti aman jalan sama dia.”

“Ckk…, bukan cuma itu, Mah. Via kan gak enak, gak ada temen di jalan. Belum lagi nanti di sana. Ah, Maamah! Via ajak Rensa aja lah.”

Devia kemudian menghubungi Rensa, namun karena ajakannya itu bersifat mendadak, Rensa sudah terlanjur mengerjakan pekerjaan lain yang tidak bisa ditinggalkan.

Akhirnya gadis itu pergi berdua dengan Om Joni, manager sekaligus produser Fitri dan rekan-rekan Biduan, selama lebih dari satu dasawarsa.

Devia sebenarnya sudah berusaha keras untuk menolak, tetapi rupanya Fitri lebih bersikukuh meminta ia untuk tetap datang ke Jakarta. Tampaknya Om Joni berkata pada Fitri, jika tidak pantas apabila mengingkari janji dengan orang sekelas Handoko, seorang produser musik ternama dari ibukota. Atau, Fitri yang terlalu berharap, agar anaknya itu lekas menjadi seorang penyanyi terkenal. Maka itu, ia agak memaksa sang anak untuk tetap berangkat meski tanpa dirinya.

“Via... rumah studio nanti itu tempat berkumpul para artis lho.” Om Joni melelehkan suasana, di sela perpindahan lagu dangdut yang diputar sepanjang perjalanan.

“Beneran, Om?”

“Iya... Nanti di sana kamu akan ketemu banyak musisi dan artis terkenal. Apalagi malam Minggu gini, pasti banyak yang datang,” ujar Om Joni.

“Yeeeyyy.” Informasi itu membuat Devia menjadi agak senang.

Dalam perjalanan itu, Devia banyak mendengar lagu-lagu lawas — tentu saja dangdut — yang diputar oleh Om Joni. Namun lebih banyaknya ia menulis lirik lagu lewat aplikasi catatan di ponselnya, lagu yang ia karang sendiri. Yah, gadis remaja itu coba menciptakan sebuah lagu.

Pukul 18.45, mereka sudah sampai di rumah produksi Handoko, di kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan. Rumah produksi itu benar-benar besar seperti istana. Berlantai tiga, dengan luas tanah sekitar 900 meter persegi, panjang 30 meter dan lebar 30 meter. Devia tak pernah membayangkan, ada rumah yang di dalamnya terdapat baseman dan lift.

Gadis manis yang berasal dari kampung itu agak norak kala berjalan menuju pintu depan. Wajahnya tersenyum sekaligus melirik-lirik area sekeliling, pada deretan bunga-bunga beraneka rupa dan warna yang memenuhi halaman. Sepertinya ia amat terkesima pada bangunan rumah yang super megah itu.

Sampai di muka pintu, Om Joni langsung mengantarkannya menemui seorang produser unggulan, — Handoko, 55 tahun —

Lihat selengkapnya