Sang Biduan Kota Kembang

Rudie Chakil
Chapter #10

Bintang Sejajar

Menurut beberapa orang bijak, kala terjadi hal dalam kehidupan, yang harus diperbanyak dalam isi kepala adalah pertanyaan ‘Bagaimana’, dan bukan pertanyaan ‘Kenapa’.

Karena ‘Bagaimana’ akan mencari cara untuk menghadapi ‘Kenapa’.

Di depan cermin meja rias di kamar ibunya, Devia menatap pada kedua matanya. Tepatnya pada dua lingkaran hitam yang penuh aspirasi, di bawah bulu mata lentik yang bersanding vertikal dengan alis tipis.

Ia pun bertanya pada dirinya sendiri, yang jika diartikan, “Apakah mungkin aku akan mampu meraih semua yang aku harapkan?”

Sejenak kemudian, ia melihat seorang gadis yang sudah berseragam sekolah putih biru sedang tersenyum manis. Kepalanya perlahan mendongak, bersamaan dengan bola mata yang juga bergerak ke sudut atas. Gerak tubuh yang menandakan jiwa yang tengah mengembara.

Pertanyaan tentang ‘bagaimana cara meraih’ tersebut hilang karena teringat rentetan kondisi yang terjadi di dalam hidupnya. Kondisi yang banyak keberuntungan menyerta dalam tiap jengkal pengalamannya. Apalagi saat mengingat rangkaian kejadian di Jakarta, membuat bibir tipisnya tersenyum simpul.

Ibarat kata, ‘kesengsaraan membawa nikmat, di balik kesulitan ada kemudahan, hendak dinoda orang malah berjumpa dengan dia yang dipuja’.

Gadis itu masih teringat suara halus mesin Mini Cooper Countryman yang berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Berbumbu keremangan malam dan sedikit rintik hujan.

“Boleh gue minta nomor WhatsApp lo?” ujar remaja laki-laki yang sudah berdiri saat ia baru keluar dari mobil. Devia mengangguk dengan raut wajah sangat gembira. Mereka pun saling bertukar nomor telepon.

Semenjak hari itu sampai hari-hari sesudahnya, Devia selalu menunggu pesan masuk dari satu nomor kontak yang hanya berisi chatting sebanyak dua buah.

“Selamat sampai tujuan, Nathan. Sekali lagi tengkyu, budi baik lo gak akan pernah gue lupakan.” Isi chat berwarna hijau muda.

“Sama-sama, gadis berbakat.” Isi chat di bawahnya, berwarna putih.

Hari itu adalah hari ke-empat, ujian semester ganjil. Meski belakangan waktu cukup sibuk, Devia tetap menunaikan tanggung jawabnya sebagai pelajar yang baik. Buktinya ia sungguh-sungguh belajar, dan mampu menjawab hampir semua soal ujian. Semua orang yang berjiwa seniman memang demikian adanya, orangnya agak idelalis dan tidak bisa dipaksa. Sebab jika sudah ‘waktunya’, mereka baru mengambil tindakan yang sebenarnya dapat dengan mudah mereka lakukan.

Pada jam istirahat, remaja putri itu mengambil ponsel, menyentuh lambang pesawat. Detik itu juga beberapa notifikasi pun masuk.

“Hah!’ Devia langsung membuka aplikasi WhatsApp karena melihat satu pesan yang membuatnya tercengang. Ia begitu gembira, membaca satu pesan dari nomor yang memang ia harapkan.

Pesan itu terbaca, “Semangat…”

Jemarinya segera membalas pesan tersebut dengan emoticon ‘Hand Strong’ sebanyak tiga buah.

“Mau ke mana, Vi?” Nia bertanya saat melihatnya berdiri di sisi lapangan sekolah, hendak berjalan. Di kelasnya sendiri, Devia memang terkenal sebagai seorang tidak pandang teman, maksudnya, tidak berteman akrab dengan satu atau dua orang saja. Karena di samping karakternya yang tidak bisa mengikuti teman — lebih sering diikuti — ia juga berharap bisa bebas berkawan dengan siapa pun yang coba mendekat padanya.

“Ke kantin,” jawab Devia.

“Bareng yukk,” ajak Nia.

“Ayo.” Devia tersenyum dan mengangguk. Mereka kemudian jalan bersama.

Di depan kantin Ibu Endah, Devia membuka kulkas berpintu transparan, mengambil dua botol minuman dingin dan memberikan satu pada Nia.

“Kabar channelnya si Devia gimana yah? Perasaan udah jarang yang ngomongin lagi ya?” ujar salah seorang dari tiga gadis yang sedang makan sambil berbincang-bincang. Sangat kebetulan dengan waktu kedatangan Devia dan Nia ke kantin. Dua orang duduk membelakangi, dan seorang lagi duduk sendiri.

“Gak tahu juga gimana kabarnya,” balas gadis yang sedang duduk sendirian, tak sadar jika orang tengah mereka bicarakan ada di dekatnya. Ketiganya berasal dari kelas lain, bahkan dua orang di antara mereka pernah satu kelas dengan Devia saat masih berada di kelas tujuh. Mungkin mereka terlalu giat dalam menghadapi ujian, maka, bukannya membicarakan tentang pelajaran sekolah, mereka malahan membicarakan orang lain.

Mengetahui itu, Devia bagai tersengat lebah di hari yang damai. Nia yang juga mendengar hal itu spontan menengok pada Devia. Wajahnya agak gugup, berharap temannya itu bisa sabar dan tidak membuat keributan lagi. Namun untuk melarang pun Nia tidak berani.

Devia kemudian memberikan uang dua puluh ribu rupiah pada Nia sambil berbisik, “Sama roti, dua.”

Nia mengerti bahwa Devia sedang dalam keadaan emosi, meminta tolong padanya untuk segera membayarkan pada Ibu Endah.

“Iyah, gue baru inget. Kemarin anak sekelasnya sendiri kasih nama baru buat dia.” Ketiga siswi sama sekali tidak sadar, terus melanjutkan pembicaraan.

“Apa tuh?” tanya seorang di antara mereka, lalu menyuap nasi ke dalam mulut.

“Devia Dangdut.”

“Ya ampun, hahaha.”

“Oh, itu pasti gara-gara konten…”

Salah satu dari mereka kemudian menyadari kehadiran Devia dan memberitahukan pada teman-temannya dengan gerak kepala. Membuat gadis yang sedang bicara itu berhenti, lalu melanjutkan makan dengan sikap serius.

Sebenarnya Devia sudah sangat marah dan gemas dengan kelakuan mereka. Tetapi ia tidak menegurnya. Ia hanya melangkah ke meja mereka untuk mengambil roti, sekaligus menatap pada wajah ketiganya dengan sorot tajam.

Setelah itu ia tersenyum sinis sambil mengajak Nia untuk pergi dari sana. Nia yang tahu bagaimana karakter temannya itu segera menerima roti dan mengikutinya jalan.

“Alhamdulillah…, gue takut lo gak bisa sabar, Via,” ucap Nia kala mereka sudah menjauh dari area kantin. Siswi berkerudung biru muda itu adalah gadis yang sangat feminin.

“Ckkk,” Devia tersenyum padanya sambil menggeleng, “Dasar mulut sampah!” ujarnya dengan maksud kepada tiga siswi di kantin.

“Susah juga yah kalo jadi lo, Vi.” Nia menengok, melihat Devia dari samping, rambut lurus berhidung mancung.

“Gue udah gak peduli, Nia. Bagi gue yang kayak gitu cuma mulut usil aja. Gak ada manfaatnya juga kalo gue baper,” balasnya sambil menoleh.

Sampai di depan kelas mereka, Devia melihat Rensa sedang bersama tiga temannya sesama siswa. Ia pun menghampiri dan memanggil. Nia mengikutinya.

“Sa,” panggil Devia, meminta Rensa datang dengan melambaikan tangan tatkala laki-laki itu menengok.

“Sebentar ya,” ujar Rensa pada teman bicaranya, mengangkat satu tangan dan bergegas menghampiri.

 “Gue berhenti cover lagu dulu yaa, Sa. Sepuluh video gue yang di panggung lo upload aja, dah dapet satu bulan tuh.”

“Hmmm,” Rensa berpikir, “Serius lo, Dev?”

“Iya…, menurut gue konten cover lagu udah cukup dulu,” ujar Devia, persis seperti yang sebelumnya sudah disampaikan oleh Haniwarman, pada saat mereka berbincang kemarin.

Om Hani menyarankan supaya Devia mengubah konten Youtubenya. Kebetulan ia punya sepuluh video panggung dangdut yang berdurasi cukup panjang.

“Oke deh, kalo itu mau lo,” jawab Rensa seraya mengangguk-angguk.

“Sa,” Devia menengok, “Lagipula, tadi di kantin ada tiga orang yang ngomongin gue. Katanya ada temen sekelas gue yang ngasih nama ‘Devia Dangdut’ ke gue. Jadi, sekalian aja lah gue tabrak semuanya. Gue dah gak peduli, Sa.”

“Iya, Dev. Gue juga baru tahu dari Fikri, barusan.” Rensa melirik.

“Ya udah lah, bodo amat apa kata orang yaa, Sa.”

Laki-laki tinggi berambut pendek itu tersenyum, “Dev, lo boleh tanya sama Nia atau sama Anna. Apapun yang orang lain omong tentang diri lo, sebenernya, dalam hati mereka semua itu salut sama lo. Buktinya, mereka tetap aja jadi followers lo.”

“Iya, yah,” Devia tersenyum kecil.

“Bener apa yang dibilang sama Rensa, Via. Gue juga percaya, kok, kalo kenyataannya emang gitu.” Nia menambahkan.

Bersamaan dengan itu, bel pertama berbunyi, tanda waktu istirahat hampir berakhir.

“Makasih ya, Sa,” ucap Devia, lalu mengajak Nia untuk masuk kelas.

Nia yang menyaksikan Rensa berbincang dengan Devia hanya bisa menerka-nerka apa yang tengah mereka bicarakan, tanpa mengerti arah pembicaraan. Namun ia juga meyakini, bahwa kedua temannya itu sudah berpikir jauh di atas semua siswa-siswi yang dibilang pintar oleh bapak dan ibu guru di sekolah.

Malam harinya, selepas azan isya, Devia duduk bersila di depan televisi. Pandangannya mengarah tepat pada layar datar 32 inci yang tengah menayangkan iklan pembalut. Dekat kakinya tersedia dua botol plastik minuman teh dingin berserta tiga bungkus snack kentang. Sedang, di sela-sela kedua kakinya remote televisi sudah ia amankan. Jadi ceritanya, ia mau menonton televisi dan tidak mau diganggu oleh ibunya yang suka mengganti-ganti channel.

Acara yang ia tunggu sedari tadi pun akhirnya mulai. Sinetron favorit gadis-gadis remaja, yang mana pemeran utamanya adalah Nathan Edward.

Fitri datang ke ruang tengah, duduk di kursi untuk ikut menonton. Ia tidak bertanya atau meminta Devia untuk belajar, sebab ia memang sudah melihat anaknya itu belajar selepas pulang sekolah sampai sore hari. Ia tahu tipikal Devia adalah hasil. Maksudnya, Devia tidak suka ditanya tentang bagaimana pelajaran di sekolah, nilai pelajaran, situasi, kondisi, atau toleransi saat berada di sekolah. Sedari kecil, sikap Devia mengenai urusan sekolah, seolah sudah menunjukan kalimat, ‘Tidak usah bertanya dan lihat hasilnya’. Maka itu Fitri jarang bertanya tentang masalah sekolah kecuali Devia sudah membuka obrolan lebih dahulu. Fitri juga yakin jika anaknya itu pasti mampu menyerap semua mata pelajaran sekolah.

Wajah tampan Nathan serta suaranya yang khas di layar kaca membuat Devia bergeming penuh konsentrasi penuh. Fitri yang melihat itu segera menggodanya.

“Cie, cie, yang bisa kenal sama dia,” ujarnya. Devia tetap diam.

“Via,” lanjutnya memanggil.

“Mamah, nanti dulu, ah, kalo pas iklan,” jawab Devia tak menengok satu senti pun.

“Hahaha.” Fitri mengambil satu bungkus snack dan membukanya.

Ketika acara pariwara tiba, Fitri mencari sesuatu dan bertanya, “Remote mana?”

“Hilang,” jawab sang dara.

“Sini, remotenya,” pinta Fitri yang mengetahui jika remote televisi disembunyikan di bawah kaki Devia

Lihat selengkapnya