“Assalammualaikum.” Devia membuka lebar pintu rumah, seraya melangkah ke dalam.
“Hei, ayo, masuk,” ucapnya pada Nathan dan Farid yang sedang melihat-lihat kondisi sekitar jalan dari pekarangan. Dua laki-laki itu pun masuk, lalu duduk di kursi ruang tamu.
“Mau minum apa?” remaja siswi itu menoleh pada Nathan, lalu pada Farid. Meskipun mereka melangkah secara bersamaan, tetapi duduk terpisah di sofa panjang yang saling berhadapan.
“Udah, gampang. Sana bebersih aja,” balas Nathan.
“Iya, deh, Devi mau mandi dulu ya,” pelajar dengan tas ransel hitam itu permisi, melintas ke dalam.
“Iya,” Nathan berucap pelan, sedang, Farid hanya tersenyum mengangguk.
“Viaa.” Suara Fitri memanggil dari dalam kamar, melihat sang anak yang lagi berjalan di ruang tengah menuju dapur. Ia lalu keluar dan berdiri di depan pintu.
Nathan dan Farid hanya mendengar suaranya saja, sebab posisi kamar Fitri memang bersebelahan dengan ruang tamu. Sebenarnya jika Fitri keluar dari kamarnya, akan terlihat dari arah ruang tamu, namun terhalang oleh gorden berwarna biru muda.
“Seragam kamu kotor amat, sih?”
“Hmm, iya, Mah” jawab Devia.
“Kenapa?”
“Hmmm, itu, Mah, Si Lia cari gara-gara lagi.”
“Yaa Allah, Viaa. Kemarin berantem, sekarang berantem lagi!”
“Kemarin apa sih, Mamah, itu kan udah berapa bulan yang lalu,” jawab Devia, membuat Nathan dan Farid tersenyum mendengar pembicaraan mereka.
“Iya, tapi…, ngapain sih kamu? Aduh, nanti Mamah dipanggil ke sekolah lagi.”
“Iya, Mamah, maaf.”
“Mamah bingung, kamu tuh sukanya berantem aja sih.”
“Ssttt, Mah,” Devia menutup mulutnya dengan jari telunjuk, “Malu-maluin aja, ih, Via kan ada tamu,” bisiknya. “Ngomongnya nanti aja.”
Nathan dan Farid yang terus menangkap percakapan ibu dan anak itu pun menjadi tertawa. Dalam hati mereka tambah respek, tahu jika Devia adalah seorang yang jujur.
“Yang bener?” tanya Fitri dengan berbisik juga. Emosinya langsung berubah stabil.
“Bener, Mamah,” balas sang anak.
“Oh…, Mamah temuin dulu deh,” ucapnya dan langsung membuka gorden.
“Hah!” bibir tipis Fitri mengucap pelan, “Astaga,” sembari memperhatikan dengan saksama, kedua tamu yang sedang duduk santai di rumahnya itu.
Nathan dan Farid juga sama terkejutnya saat kedatangan sosok Fitri, karena satu hal, namun mereka langsung beranjak dari tempat duduk untuk bersalaman.
“Viaaa…,” Fitri memanggil dengan suara lembut.
“Iya,” jawab Devia dari dalam.
“Kamu sengaja yah, nggak ngabarin Mamah. Harusnya kan Mamah dandan dulu,” ucapnya, celingukan memandangi Nathan dan Farid yang sudah berdiri di depannya dengan sikap tertegun.
“Mamah, jangan bikin malu Via, iiih,” teriakan Devia terdengar lucu karena berirama di akhir kalimat. Dua remaja tampan itu pun terbahak, melihat gaya Fitri yang tidak tahunya suka mengajak anaknya bergurau.
Mereka juga terheran-heran, hampir tak percaya, bahkan tidak menyangka, jika ibunya Devia berparas sangat cantik, ditunjang tubuh yang seksi bagai artis atau model yang seringkali mereka jumpai.
Dengan sisa-sisa tawa yang masih melekat pada raut wajah, mereka pun bersalaman sembari memperkenalkan diri.
“Silakan duduk, Nathan, Farid. Hmmm, maaf yaa, rumah Devia berantakan,” ucap Fitri yang duduk di sebelah Nathan, seraya menengok pada keduanya.
Mereka berdua tersenyum. “Ah, gak masalah, Tante,” jawab Nathan.
“Serius lho, Tante kaget. Gak menyangka kalau Nathan sudi bertamu ke rumah kami,” kata wanita berkaos putih dengan celana kulot abu-abu itu.
“Kok bisa ketemu sama Si-Via?” tanyanya, dengan wajah terkejut akan kedatangan Nathan yang belum sepenuhnya hilang.
“Iya, kita lagi liburan, Tante. Kebetulan saya kan punya villa di Lembang dan banyak saudara juga di Bandung, jadi sekalian mampir ke sini.”
“Ohh…, iya,” balas Fitri mengangguk-angguk, lalu menguncir rambut lurus pirangnya.
Nathan dan Farid mengamatinya dengan pandang absurd. Biar bagaimanapun mereka berdua adalah laki-laki normal, benar-benar heran jika ibunya Devia masih terlihat seperti seorang gadis dewasa muda, yang cantik ber-body seksi.
“Jadi, tadi mampir ke sekolah Via?” Fitri bertanya lagi.
“Iya, Tante.”
“Yaa Allah, Si Via bikin malu aja,” Fitri tersenyum. “Eh, tapi gimana tuh reaksi teman-teman di sekolah melihat kamu?”
“Tadi sih, kita langsung masuk mobil, Tante.”
“Oh, iya,” Fitri teringat lagi pada anaknya. “Mohon maklumin sikap Devia yaa, Nathan. Dia itu kalo di sekolah kerjaannya berantem terus. Lia juga anak kurang ajar, cari masalah terus sama Si Via,” ujarnya, menengok pada Farid.
“Gak papa, Tante, kejadian gini sering terjadi di sekolah,” balas Nathan.
“Iya, Tante, jangan salahin Devi juga ya, Tante. Soalnya siapapun kalau dihina pasti akan marah.” Farid ikut berkata, bahkan membela Devia.
“Iya…, tapi Tante tuh malu aja, kalo dipanggil ke sekolah lagi. Apalagi masalahnya berantem. Kalau anak laki-laki kan masih mending, nah ini anak perawan, coba. Tante kan malu sama guru-gurunya.” Fitri berkata dengan tawa kecil, sebab tahu, jika anaknya memang tidak bersalah.
Nathan dan Farid memandang fokus pada wajah Fitri yang tengah berbicara. Saat itu, selain kepada Devia, mereka juga respek pada ibunya begitu tahu jika Fitri adalah seorang yang asyik dalam membangun pembicaraan. Keduanya sangat jarang menemukan sosok orang tua teman yang ‘seru’ seperti itu. Sangat jarang.
“Tadi lihat gak, kejadiannya?” tanya Fitri dengan paras merengut.
“Lihat, Tante,” balas remaja putih berhidung mancung itu. “Kita memang punya rencana untuk jemput Devi, eh, ada kejadian yang tak terduga,” lanjutnya.
“Tapi sebelumnya udah ngabarin?”
“Belum. Kita mau bikin surprise, tapi malah kita yang kena suprise. Hahaha,” Nathan tersenyum manis.
Fitri ikut tertawa sambil melihat wajah Nathan. Pandangannya seperti orang yang gemas. Bukan gemas karena benci, tapi gemas karena suka. Sementara, Farid hanya menjadi pendengar yang baik, sambil terus menatap tak berpaling pada sosok Fitri. Tatapannya juga seperti orang yang gemas.
“Ohh, iya, waktu itu, Nathan yah, yang menolong Via waktu di Jakarta,” kata Fitri nada bertanya. Nathan hanya mengangguk.
“Tante mau wakilin Via. Terima kasih yaa, Nathan,” ujarnya.
“Iya, Tante.”
“Tante kaget lho denger cerita anak Tante. Masa Via yang belum kenal sama cowok, tiba-tiba kok bisa ditawar sama orang? Hahaha.”
“Iya, Tante, saya juga gak suka kalau ada laki-laki yang berbuat kasar sama perempuan.”
Fitri lalu menatap tajam pada Nathan, memiringkan sedikit kepalanya sambil berkata, “Tante gak tahu nih, ini Nathan apa Ivanka yang bicara?”
“Hahahaha,” Nathan menengok pada Farid, “Gile, Brother, masa gue di-cengin sama ibu dan anak,” ujarnya. Farid ikut tertawa.
“Tante…, Tante ini bener kan ibunya Devi? Saya masih belum yakin, ah,” Farid bertanya.
“Eh, bener tau,” jawab Fitri, “Kenapa? Masih kelihatan kayak gadis ya?” badannya sedikit maju ke arah Farid.
“So, pasti, Tante. Cantik banget. Hahaha,” balasnya. Mereka pun tertawa bersama.
Wajah Fitri agak memerah, sebab benar-benar tersipu. Mungkin ia sering mendengar kalimat seperti itu dari banyak laki-laki. Tetapi rasa yang diterima saat Farid yang berkata demikian sungguh berbeda. Ia tahu, walaupun sedang bercanda, kalimat pujian tersebut berasal dari lubuk hati dan tanpa ada maksud apa-apa. Murni hanya pujian.
“Ditinggal sebentar yaa. Tante mau bikin teh dulu,” kata Fitri.
“Oke, Tante,” balas mereka. Fitri pun beranjak, menuju dapur.
Beberapa waktu kemudian, Fitri datang dengan wajah mesem, membawa empat cangkir teh hangat, lalu membagikannya.
“Tante, ada yang mau saya utarakan,” ucap Nathan, meletakan ponselnya ke meja.
“Iya, silahkan,” balas Fitri, seiring tangannya menggeser nampan yang tinggal berisi satu cangkir untuk Devia, lalu meluruskan badan ke arahnya.
“Saya mau ajak Devi refreshing, boleh gak, Tante?”
“Hmmm, memang mau ke mana?” Fitri bertanya balik.
“Kita kan besok liburan selama dua minggu, Tante. Rencananya sih mau ke Bali.”
“Hah,” Fitri agak terkejut.
“Iya…, boleh gak, Tante?”
“Berapa hari? Sama siapa aja?”
“Tiga hari, Tante. Sama Farid, dan teman-teman yang lain sekitar empat orang.”