Boleh saja mereka merendahkan apa yang mereka lihat tentangmu.
Tapi, jangan minder.
Mereka hanya punya keinginan dan bukan punya ‘misi’.
Karena keinginannya itulah timbul hasrat untuk dilihat orang.
Yah, mereka suka sekali dilihat orang.
Sedangkan, kamu… kamu sudah sibuk dengan misimu sendiri, dengan dirimu sendiri.
Biarkan mereka melihatmu buruk sekalipun, melihatmu kecil sekalipun.
Kelak mereka akan tahu, ketika saatnya nanti kamu memetik hasil.
Sungguh, mereka akan tahu.
Siang hari menjelang sore pada hari Minggu, Devia rencana hendak berkunjung ke rumah Rensa, sesuai dengan yang ia bicarakan bersama ibunya. Devia punya praduga jika sahabatnya itu sedang mengambek.
Dugaannya bukan tanpa alasan. Sikap Rensa yang seperti itu sudah terjadi untuk ketiga kalinya. Tiga kali cemburu, tiga menghilang, dan tiga kali Devia mencarinya lebih dahulu untuk mengklarifikasi apa yang terjadi.
Devia tahu, semenjak Rensa melihat dirinya bersama Nathan lusa kemarin, ponselnya langsung dinonaktifkan. Alasannya pun Devia paham. Pertama, jelas karena ia cemburu. Kedua, Devia tidak berterus terang padanya jika kenal sama Nathan. Ketiga, rasa takutnya sungguh berlebihan, ia takut jika Devia akan meninggalkannya.
Kondisinya sama persis dengan yang sudah terjadi, hanya waktu dan peristiwanya saja yang berbeda.
Siang hari menjelang sore itu juga Devia berangkat, kebetulan cuaca sedang mendung. Kalau sedang mendung seperti itu, biasanya orang-orang yang berjiwa seni akan merangkum semua perasaan subjektif tentang isyarat semesta untuk dirinya.
Bagi Devia yang sedang merasakan bahagia, maka pandangan tentang langit mendung ialah ‘kepuasan’. Di atas motor ojek, gadis itu seakan-akan melihat langit tersenyum ramah kepadanya. Suara keluarga burung yang menciak-ciak terdengar merdu dari balik rimbun pepohonan. Bahkan jika saatnya hujan turun, menjadi perlambang atas karunia dari angkasa raya.
Sebaliknya, bagi Rensa yang sedang merasakan galau, maka citra tentang langit mendung berarti ‘kedukaan’. Di dalam kamar, ia memandang ke luar dari jendela. Melihat cakrawala berawan pekat yang seolah-olah menjadi refleksi atas rasa sedihnya. Suara daun-daun berjatuhan diterpa angin tanda kemuraman yang ia rasakan. Bahkan hujan yang turun menjadi tangis sang alam, yang ikut menemani kenestapaannya.
Yah…, tak bisa dipungkiri, selama hayat masih dikandung badan, setiap manusia memang berharap keadaan akan selalu mendukungnya, kondisi akan selalu menyertainya.
‘Tok, tok, tok’. Devia mengetuk pintu rumah Rensa. “Assalammualaikum,” ujarnya.
“Waalaikumsalam.” Ibunda Rensa membuka pintu sambil menjawab salam. Selanjutnya Devia cium tangan, kemudian duduk menunggu di ruang tamu, setelah menutup pintu rumah.
Angin lembab kembali berembus kencang, menggoyangkan pepohonan dan juga menerbangkan dedaunan di sekitar pekarangan. Warna mega pun semakin bertambah pekat, tanda curah air dari langit sudah tak terbendung oleh awan.
Tak lama kemudian Rensa datang menemuinya.
“Oyy, lagi apa lo, Sa?” Devia menggodanya dengan raut wajah sumringah.
“Tiduran aja.” Rensa duduk di depannya, di kursi yang terbatas satu meja panjang.
“Oh…, nomor lo kok gak aktif, Sa? Kenapa?”
“Lagi rusak,” jawabnya.
“Rusak apanya?” Devia bertanya lagi.
Rensa sedikit tertawa, namun guratnya ia tutupi dengan raut wajah datar. Biar bagaimanapun, laki-laki berkaos navy celana Levis selutut itu tidak akan kuasa untuk marah, sebab rasa sukanya pada Devia teramat besar.
“Hey, rusak apanya?”
“Rusak, pokoknya,” balas Rensa.
“Jangan bo’ong deh lo, Sa. Gue tau lo kayak gimana,” ujar Devia dengan mengerutkan kening. “Lo kenapa, sih?” tanyanya.
“Gak papa.”
“Huff,” Devia mengembuskan napas, “Gue itu telepon lo kemarin, baru mau cerita sama lo, Sa,” seraya memajukan badan ke arahnya.
“Sa…, lo kok diem aja sih?” lo kan tau, kemarin tuh ujian. Gue belum sempat cerita apa-apa sama lo,” terang gadis itu padanya. Sebenarnya mereka sudah saling mengerti tentang inti permasalahan, tapi dalam hal ini, Rensa yang tidak bisa bersikap dengan benar.
“Gue gak papa, Dev. Beneran,” kata Rensa sambil tersenyum.
“Beneran, beneran, apaan!” ujar gadis berkaos hitam yang dibalut cardigan putih dengan celana Levis itu menyender, lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan wajah cemberut.
“Gue tahu, Sa, lo kesel sama gue soal kemarin gue pulang sama Nathan. Ya, kan?”
Rensa terkejut. Ia tak menduga jika Devia punya feeling yang cukup tajam.
“Udah, ah, lo jangan marah. Gue mau cerita nihh.”
Devia kemudian bercerita tentang kejadian di Jakarta pada Rensa, yakni mengenai perkenalannya dengan Nathan dan Farid. Ia juga berkata kalau dirinya benar-benar tidak menyangka, jika Nathan, sang remaja superstar itu datang lagi untuk mengajaknya liburan ke Bali.
Rensa yang terus menyimak cerita Devia terlihat lemas tak berdaya. Hujan angin pun turun dengan deras, menyambut rasa hati yang bertolak belakang dari dua inshan yang tengah berbincang.
“Ini kesempatan gue, Sa,” ujar Devia dengan sorot mata penuh harap. “Gue yakin, popularitas gue akan meningkat kalo bisa berteman akrab sama Nathan.”
“Amin,” gumamnya.
Pada saat itu Rensa sudah tidak lagi marah, tetapi hanya pasrah. Mendengar cerita Devia, ia tahu jika gadis yang dikaguminya itu tidak punya salah apapun terhadapnya, juga tidak punya niat untuk mengecewakan dirinya.
Sambil menatap wajah Devia, ia sadar akan kekeliruannya karena terlalu baper, sampai-sampai menonaktifkan ponselnya. Ia juga mencoba berpikir sehat, melawan dirinya sendiri untuk satu kenyataan yang benar.
“Dev, gue boleh nanya satu hal sama lo?” ujarnya.
“Iya.”
“Lo suka sama Nathan ya?”
“Hmmm,” sejenak Devia berpikir.
“Gue sama sekali gak mikirin hal itu, Sa. Kalo dibilang suka, yah gue suka. Gue rasa cuma cowok aja yang gak suka sama dia deh. Tapi kalaupun gue suka, gue bisa apa, Sa?”