Ada sesuatu yang tersembunyi di balik kesuksesan seseorang. Bukan hanya karena fisik yang menarik, bakat yang mumpuni, otak yang cemerlang, atau karena faktor keturunan saja.
Tidak. Bukan cuma hal itu.
Sesuatu itu adalah, “Bagaimana orang tersebut mengenal dirinya sendiri.”
Sepertinya, banyak orang yang lebih memperhatikan apa yang tampak di luar ketimbang memperhatikan apa yang ada di dalam dirinya sendiri. Misalnya seseorang berkata, “Jika aku dapat diterima di perusahaan besar — atau di sekolah favorit — maka aku pasti akan jadi orang sukses.”
Beberapa orang tua yang punya anak laki-laki berkata : “Bayar berapa pun tidak masalah, yang penting kamu jadi aparat negara. Kelak masa depanmu akan terjamin.”
Beberapa orang tua yang punya anak perempuan berkata : “Terima saja cinta si Fulan, dia kan PNS, nanti keluargamu akan hidup berkecukupan.”
Seseorang juga sering berkata : “Enak yah jadi si Fulanah, dia kan orang kaya.”
“Si-A itu udah sukses yaa, memang udah takdirnya sih jadi orang yang berhasil.”
Dan masih banyak lagi contoh pernyataan lainnya.
Apakah hal itu salah?
Tidak...
Tetapi juga tidak benar.
Demikian terjadi karena pikiran mereka menduga, jika apa yang ada di luar itu akan membuat kehidupan mereka menjadi lebih baik. Padahal intinya bukanlah hal itu. Intinya adalah apa yang ada di dalam diri tiap-tiap manusia.
Ketika seseorang melihat ke dalam dirinya sendiri, kemudian belajar tentang potensi dan mengasah kemampuan yang ada pada dirinya sendiri, maka apapun yang di luar itu pasti akan datang kepadanya, merespon kehidupannya, juga menyambut masa depannnya. Seolah-olah sang alam sudah mempersiapkan sebuah jembatan, ketika seseorang harus berjalan menyebrang sungai. Karena itulah bagi ‘orang-orang besar’, yang utama adalah meniti jalan ke dalam diri, mencari jati diri, dan bukan hanya melihat apa-apa yang ada di luar diri.
Bahkan salah satu orang yang sangat sukses dalam hal keuangan pun seringkali berkata : “Jangan buat dirimu sibuk mencari uang, tapi buatlah agar uang yang sibuk mencarimu.”
Yah, memang seperti itulah kebenarannya.
Seperti Fitri Lestari yang selalu mengajarkan Devia untuk terus menggali potensi apa yang ada dalam dirinya, sampai rela memberikan ijin pada anak gadisnya itu untuk liburan bersama Nathan Edward.
Apakah Fitri tidak merasa khawatir?
Sangat… Fitri sangat merasa khawatir. Namun harapan dan kepercayaannya pada sang anak dapat mengalahkan rasa khawatirnya. Kecuali, jika ia tahu kalau anaknya itu pasti akan terseret dalam kehancuran.
Fitri sangat berharap Devia mampu belajar pada Nathan, bersikap selayaknya orang sukses. Karena Fitri paham perbedaan akan sikap, pola pikir, dan gaya hidup — tingkat sosial dan ekonomi — antara orang biasa dengan orang sukses itu sangat jauh berbeda. Fitri tahu hal itu saat bersama dengan suaminya di masa lalu.
Sekarang, ketika melihat Nathan datang dalam kehidupan Devia, Fitri hanya bisa berdoa, agar anak gadisnya itu senantiasa baik-baik saja serta mampu menjaga diri. Ia pun amat meyakini, doa yang tulus dari seorang ibu adalah sesuatu yang bersifat pasti.
Bali, 15:04 WITA
Devia berdiri menunggu di depan sebuah patung besar bersosok raksasa yang ada di dalam kawasan Bandara Internasional Ngurah Rai. Sungguh, udara yang ia hirup terasa begitu melegakkan rongga paru-paru, hati dan pikirannya. Bagai terlahir menjadi manusia baru tanpa masa lalu.
Ia lantas mengambil ponsel dan menekan tombol power. Tertera jam dan tanggal digital yang tertulis, 15:04 Jumat, Desember 26, di sudut atas layar ponsel.
Liburan bersama tujuh orang teman, baginya mempunyai kesan mendalam. Empat orang laki-laki dan tiga orang perempuan yang salah satu dari mereka adalah Nathan. Karena untuk pertama kalinya ia menginjakkan kaki di pulau dewata, tanah kayangan yang bahkan dalam mimpi pun ia tidak pernah menyangka akan sampai ke sana.
Mojang Bandung itu kemudian mengirimkan pesan singkat pada ibunya, mengabarkan bahwa mereka tiba. Setelah itu ia memasukan kembali ponsel ke dalam saku celana, lalu bergegas jalan bersama Nathan yang sudah ada di sampingnya.
Saat melihat jam dan tanggal di layar ponsel tadi, kedua bola mata coklat Devia seakan-akan memantik sang waktu untuk berhenti. Saat-saat yang sangat impresif dan spesial, yang jika saja ia bisa meminta kepada Tuhan, maka ia ingin agar waktu benar-benar berhenti pada detik itu juga.
Gadis yang memakai topi, sepatu, tas ransel, beserta baju overall warna biru muda dan putih itu merasa sangat bersyukur.
Semenjak awal keberangkatan, Nathan sudah membuat dirinya terkesima. Betapa tidak, di rumah Farid yang digunakan sebagai titik start dari Jakarta, Nathan memperkenalkan pada teman-temannya yang ikut refreshing, kalau Devia adalah ceweknya. Meski dengan sikap seperti orang bercanda, membuat ia nyaris lumer seketika.
Kemudian, di dalam pesawat, Nathan duduk persis di sebelahnya.
“Lo tahu gak, Vi, kalo sinetron ‘Vangka dan Tiga Dara’ tuhh udah selesai,” ucap Nathan.
“Ah, masa?”
“Iya, Minggu kemarin, terakhir gue syuting.”
“Tapi, kalau dari ceritanya sih masih jauh. Devi yakin pasti bakal lanjut lagi.”
“Kok tahu?” Nathan tersenyum sambil menoleh.
“Jelas lah, Nathan. ‘Vangka dan Tiga Dara’ tuh iklannya banyak banget, jadi ratingnya gak mungkin turun,” ucap gadis itu sambil melirik. “Kamu masih mau bilang kalau kamu bukan siapa-siapa?” lanjutnya, menirukan gaya bicara tokoh utama wanita di dalam satu adegan film tersebut.
“Hahaha.” Mereka pun tertawa.
“Eh, Nathan, Devi boleh nanya gak?” kata Devia begitu tawa mereka terhenti. “Jawab jujur yah.”
“Iya.” Laki-laki berbusana blazer dan celana jeans itu mengangguk.
“Atas dasar apa sih, Nathan mau berteman sama Devi?”
“Hmmm, dari dulu gue seneng aja sama cewek yang suaranya bagus. Terus, ketemu lo secara kebetulan, dan kebetulan lo juga orangnya asyik.”
“Hehehe, makasih yaa,” balas Devia dengan hati berbunga.
Mereka kemudian lanjut berbincang banyak hal. Tentang diri sendiri, tentang kondisi di sekolah, di tempat tinggal mereka, juga tentang keluarga masing-masing. Namun Devia belum bercerita mengenai sosok ayah, hanya bercerita perihal sosok ibunda saja.
Rasa yang diterima Devia saat berbincang di pesawat, mungkin sama persis, seperti saat Fitri bercerita tentang kondisinya dengan sang suami di masa lalu. Adapun yang membedakan, Devia terbilang jauh lebih dewasa dan lebih berhati-hati. Devia paham, dirinya seperti mimpi tatkala berada di samping Nathan. Tetapi pikiran atas rasa senang itu ia buang jauh-jauh. Menurutnya, terlalu cepat untuk menyimpulkan, jika Nathan ibarat seorang pacar atau seseorang yang juga jatuh cinta pada dirinya.
Yah…, Devia sudah benar-benar jatuh hati pada Nathan. Ia terus melawan rasa hatinya sendiri, mengarahkan laju pikiran akan banyak hal. Sungguh, ia takut apabila cintanya bertepuk sebelah tangan.
Tetapi, bagaimana Devia tidak bersyukur sekaligus tidak takut?
Ketika mereka turun dari pesawat, saat melihat jam dan tanggal di depan patung raksasa sambil menunggu kedatangan teman yang lain. Ia begitu terperanjat kala jemari tangannya terasa ada yang menggenggam, kemudian mengajaknya jalan bergandengan.
Sore itu juga — keluar dari kawasan Bandara Internasional Ngurah Rai — mereka lanjut berangkat menuju wilayah perbukitan di daerah Tegalwangi, dengan menyewa dua unit mobil pribadi. Di sana terdapat sebuah vila milik teman Nathan, seorang perempuan yang sudah berada di tengah-tengah mereka.
Devia tidak banyak bertanya akan pergi ke mana, mau apa, kapan sampai, atau berceloteh ini dan itu. Ia lebih memilih bersikap diam agar Nathan merasa nyaman, juga lebih menjaga sikap dari teman-teman baru yang memandangnya dengan rasa tidak suka. Terkecuali Farid dan seorang perempuan bertubuh mungil sang pemilik tempat persinggahan.
Devia sungguh tahu akan hal itu, meskipun mereka menutupinya dengan banyak bertanya dan sesekali mengajaknya bercanda. Tatap mata mereka saat pertama kali berjumpa seakan berkata, jika Devia bukanlah berasal dari golongan mereka. Namun gadis itu tidak peduli dengan apapun penilaian mereka terhadap dirinya. Baginya yang utama adalah berprasangka baik, rendah hati, jujur, ramah, tidak merugikan, berlaku apa adanya, dan bersama Nathan tentunya.
Tak dapat dipungkiri, Devia butuh pada mereka semua. Karena ia paham, teman-teman barunya itu adalah orang yang tingkat sosialnya berada jauh di atasnya. Dengan lebih banyak diam, ia punya banyak waktu dan kesempatan untuk mengamati bagaimana pergaulan mereka, cara mereka berpikir dan bagaimana mereka bersikap.
Dengan menempuh perjalanan total selama tiga jam, akhirnya mereka sampai ke tempat tujuan. Sebuah bangunan vila yang berada di atas bukit di tengah rimbunnya pohon-pohon besar, dengan muka rumah yang berhadapan langsung ke arah pantai selatan.
Selepas makan malam bersama, pada pukul 20.30, Devia merasakan rasa nyeri di kepala. Ia lalu masuk ke kamar mandi, berjongkok sambil menahan sakit yang datang secara tiba-tiba.
Dalam benaknya teringat akan masa kecil, ketika ia masih berusia lima tahun dan bertemu dengan seorang laki-laki tua renta berpakaian putih-putih.
Kala itu Devia kecil sedang tersesat jalan karena mencari Rensa yang sedang bermain bersama teman-temannya. Devia menangis karena tak tahu arah pulang, dan ia sudah berada di ujung wilayah Desa Sukatani.
Seorang pria tua tiba-tiba datang dan merangkul punggung Devia.
“Tong ceurik, Neng. Insya Allah hiji waktos, Neng bakal ningal kilauna alam dunya,” 1. ujarnya dengan wajah tersenyum.