"Membiru, Dok!"
"Asfiksia!"
"Oksigen!"
"Cek saturasi!"
"Dok?"
"Nicu, segera! Go!"
Debaran jantungku terasa semakin tidak beraturan ketika suara-suara itu mulai bersautan. Apa yang terjadi?
Yang ku lihat dari pantulan cahaya lampu meja operasi tadi, makhluk kecil itu sudah dikeluarkan dari perutku. Tapi aku tidak bisa dengan jelas melihatnya. Hanya yang aku sadari saat sekilas tadi adalah, bibirnya membiru. Atau mungkin setiap bayi yang baru saja lahir seperti itu? Lalu akupun tidak mendengar suara tangis sama sekali. Hanya rintihan. Ya! aku mendengar bayiku merintih. Lalu, mereka semua sibuk dengan percakapan yang tidak aku mengerti. Kemudian, membawanya pergi.
Dan sialnya, aku sama sekali tidak bisa melihatnya dari tempatku terbaring. Jarak pandangku hanyalah sebatas atap, lampu, kain penutup yang dipasang tinggi sebatas perut, dan sisi kiri juga kananku yang kulihat hanyalah tembok dan berbagai nakas besi yang berisi entah apa.
"Dok, dia baik-baik saja?" tanyaku lirih kepada dokter cantik yang menanganiku selama sembilan bulan ke belakang.
Kudengar suara dentingan beberapa benda yang beradu. Aku menunggu, tapi masih tanpa sebuah sahutan yang berarti.
"Dok?" aku mengulangi pertanyaanku. Dan masih sama. Tidak ada satupun dari sejumlah orang diruangan ini yang memberiku jawaban.
"Ibu, tenang ya. Kita lanjutkan proses jahitan perut lalu masuk ruang observasi." beberapa menit setelahnya, perawat wanita paruh baya akhirnya mendekatiku.
Aku bisa apa? Hanya mengangguk. Menantikan jahitan selesai rasanya kepalaku mendadak pusing. Kuperkirakan hampir 30 menit aku berada disini dengan pikiran yang tidak berada pada tempatnya. Andai saja bisa, sudah kukejar mereka yang membawa bayiku. Aku hanya ingin melihat, memastikan, makhluk kecil itu baik-baik saja. Tapi tidak satupun orang disini yang berusaha memberiku ketenangan dengan memberitahu keadaannya.
Yang kubayangkan selama ini, proses persalinan adalah momen yang indah. Sungguh, aku menantikan saat-saat ini sebelumnya. Semakin mendekati hari, semakin membuncah pula rasa bahagia dan tak sabar yang tumbuh dihatiku. Tapi kenapa keadaan disini menjadi berbeda? Ada rasa takut yang menguasaiku. Debaran jantung yang tidak beraturan mendominasi. Segala kemungkinan buruk justru membayang di pelupuk mata. Segera kutepis, bersamaan juga dengan tubuhku yang terasa dingin dan hampir menggigil.
Aku menggigit bibirku untuk meredam tangis. Beberapa kali mengerjapkan mata, agar aliran bening tidak keluar dari tempatnya. Membayangkan antusiasnya ketika bayi yang ku kandung selama sembilan bulan itu lahir dengan suara melengkingnya. Lalu, aku akan menerimanya dalam pelukanku dan merasakan gerakan kecilnya mencari dimana letak ASI, sebagai kehidupan selanjutnya baginya. Tapi itu semua tidak terjadi kepadaku. Bayiku dibawa pergi. Entah mengapa. Harusnya mereka menjawab. Walaupun hanya sebuah kalimat "Semua akan baik-baik saja".
"Ibu kedinginan?"
Aku mengangguk lemah menatap perawat itu. Tanganku yang terikat terbentang di kedua sisi bahkan bergetar hebat walau sudah berusaha kutahan. Yang kutahu, perawat itu meletakkan selimut tebal sampai di atas dadaku. Setelahnya aku tidak mengingat apapun lagi.
* * *
Aku mengerjap, sepertinya aku sempat tertidur. Kupindai seisi ruangan. Sebuah kamar, dengan kapasitas dua orang sebenarnya. Tapi ranjang disebelahku masih kosong. Juga kursi yang berada di dekat ranjang yang kutempati.