"Sus, kira-kira saya bisa nggak ya, diijinkan pulang hari ini?" tanyaku.
Suster yang sibuk melilitkan alat tensi dilengan kananku tersenyum.
"Ibu baru keluar ruang operasi jam enam pagi tadi. Paling cepat besok mungkin. Kita perlu observasi keadaan Ibu dulu." paparnya.
"Kalau saya yang meminta pulang?"
Kutatap wajahnya lekat.
"Kita tunggu dokter visit jam satu nanti ya, Bu. Tensi Ibu bagus. Kondisi Ibu juga stabil. InsyaAllah semua bagus. Semoga bisa pulang secepatnya." katanya lalu meminta ijin untuk keluar ruang.
Aku memperhatikannya yang sudah tidak terlihat. Rasanya aku tidak bisa terus bersabar berada disini, sedangkan anakku sedang menjalani perawatan di rumah sakit lain. Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?
Tanganku terasa dingin walau sudah kuremas dengan sekuat tenaga. Seperti ada rasa gugup, atau takut yang berlebih yang tiba - tiba menyusup masuk menguasai hati.
Setelah menimbang berbagai hal, segera aku mengambil ponsel dan menghubungi Revan. Sudah cukup untukku berdiam saja. Aku perlu melakukan sebuah tindakan.
" Ya, Hallo." ucapku saat sambungan terhubung.
"Aku mau kesana, Van..."
"Gimana bisa?"
"Apa saja. Lakukan sesuatu. Aku nggak bisa diem saja disini. Aku juga harus ada disampingnya. Apapun kondisinya. Dia butuh aku, Ibunya, untuk mendampinginya. Tolong..." aku memohon dengan suara bergetar.
Kudengar ada helaan nafas di ujung sana. Kuyakin dia bimbang, tapi bagaimana lagi? Toh kondisiku juga sudah baik-baik saja.
"Ok, tunggu 10 menit, nanti aku jemput ya." Ucapanya yang kudengar.
Aku mengangguk, lalu sambungan terputus.
* * *
"Ini terlalu beresiko, Pak." seorang perawat tampak bingung dengan keputusan yang kami buat.
"Sus, tolonglah. Saya pengen ketemu anak saya. Saya harus mendampinginya. Segala resiko apapun akan kami tanggung." aku meyakinkan. Kugenggam tangan wanita muda itu penuh permohonan.
Setidaknya biarkan dia tahu, ini adalah permohonan dari seorang ibu. Dia memperhatikan dalam diam. Dokter yang dijadwalkan visit pukul 1 juga mendadak di infokan tidak bisa datang. Dari penjelasan yang disampaikan, beliau sedang ada operasi mendadak di rumah sakit lain. Jadi jalan satu-satunya yang bisa aku lakukan, hanyalah memaksa pulang. Tanpa Acc dokter, aku tidak perduli. Dengan segala macam dalih membahayakanku, akupun tidak lagi mau mengerti. Aku hanya ingin bertemu Arvan, menatap wajahnya, memberinya ASI, juga menggendongnya.
Akhirnya dengan segala perdebatan aku bisa juga meminta pulang. Ya, pulang paksa lebih tepatnya. Dengan catatan Revan harus menandatangani segala macam selembaran yang tidak kubaca jelas isinya apa. Intinya adalah pihak rumah sakit tidak menanggung apapun jikalau terjadi sesuatu denganku atau bekas operasiku. Biarlah.
Duniaku sedang berjuang di tempat yang lain. Bisakah aku berdiam diri disini? Oh, tentu saja tidak!
* * *
Aku dan Revan turun perlahan dari Grab car pesanan kami. Dengan perlahan dia menuntunku.
Kupindai sekeliling. Rumah sakit ini memang lebih besar dibanding dengan rumah sakit tempatku melahirkan tadi. Pantas saja pihak rumah sakit meminta Arvan untuk dipindahkan kesini. Apapun yang terbaik untuk Arvan. Semoga segera kami bisa pulang bersama-sama dengan penuh kebahagiaan.