Sang Buah Hati

Rina dwi apriliana
Chapter #3

Arvan

Pov Revan

Aku dan Arini duduk bersebelahan di dalam sebuah ambulance dengan Arvan yang berada dalam gendongan Arini. 

Kulihat dia diam sedari tadi. Tangisnya surut. Wajahnya datar memandang lurus kearah jalanan tanpa ekspresi berarti. Justru itu yang membuatku khawatir.

Arvan, segalanya bagi dia. Aku tahu itu. Bukannya aku tidak merasakan sedih dengan kepergian Arvan. Tapi aku tahu betul, Arini pasti jauh lebih sedih daripada yang kurasakan. Kehancuran yang kurasa tidak sebanding dengan yang dia rasa.

Tahukah? Untuk bisa mengandung. Kami harus melalui banyak hal. Aku sebagai saksi, segala bentuk upaya yang dilakukannya siang malam. Dia wanita yang kuat, sangat kuat bahkan jika kukata.

Saat itu, ketika dia tidak kunjung mendapatkan garis dua, akhirnya kami memutuskan untuk periksa. Setidaknya kami tahu apa penyebabnya. Karena usia pernikahan yang sudah masuk di tahun kedua, dan mamaku yang selalu mempertanyakan cucu kepada kami, membuatku sedikit tertekan. Aku bahkan takut jika semua penyebabnya adalah dariku yang bermasalah. Aku takut Arini berubah atau bahkan meninggalkanku.

Tak berlangsung lama, hasilnya keluar. Arini dinyatakan sehat. Tanpa ada gangguan sedikitpun. Sedangkan aku, aku di vonis oligo sperma . Sprema yang kupunya tidak cukup subur untuk membuahi sel telur. Seketika duniaku hancur. Aku bahkan beberapa kali menyalahkan diri sendiri. Aku frustasi berhari-hari. Tapi Ariniku tidak berubah. Dia tidak menyalahkanku. Sikapnya masih sama terhadapku. Malah kurasa lebih perhatian dari sebelum-sebelumnya.

"Kamu tahu, Van? Segala soal ada jawabannya. Begitu juga sakit. Pasti ada obatnya bukan? Kalau tidak melalui dokter, kita akan cari segala alternatif lainnya. Yang penting kamu yakin, aku yakin. Kita bisa. Ok?" katanya waktu itu penuh rasa optimis.

Bahkan dia juga yang mati-matian mencari tahu berbagai pengobatan medis bahkan herbal supaya aku bisa normal. 

Segala informasi dari dunia maya, teman, kerabat, selalu menjadi pertimbangan buatnya. Dan dia tidak segan mengeluarkan tabungannya yang tidak sedikit untuk itu.

Hingga akhirnya perjuangannya membuahkan hasil. Dia mendapatkan dua garis merah di bulan ketujuh dari pengobatan yang kujalani. Setelah berbulan - bulan kami, terutama aku mengonsumsi jus buah merah, obat-obatan, melepas rokok demi program hamil itu, dan masih banyak hal yang kami lakukan. Kurasa tidak salah jika kukatakan anak ini begitu berarti. Karena segala yang kami usahakan, dan doakan secara berulang telah diaminkan.

Lalu sekarang, sesuatu yang begitu didambakannya telah pergi. Aku takut dia melakukan hal bodoh. Kalian tahu bukan? Kadang banyak orang menyakiti dirinya sendiri saat merasa begitu hancur. Kutahu betapa hancurnya hatinya. 

"Sayang..." kutepuk pelan pundaknya. 

Dia menoleh, menatapku sekilas lalu menatap Arvan. Dalam gendongannya, seolah Arvan masih ada. Bayiku seolah hanya sedang tertidur pulas.

"Ssttt... Diamlah. Aku hanya ingin merasakan menjadi seorang Ibu yang menggendong anaknya. Anggaplah Arvan sedang tidur. Jangan diganggu. Toloong." ucapnya dengan lemah. 

Aku hanya diam menatapnya. Sungguh. Aku bahkan lebih memilih dia menangis keras untuk mengurai segala sakitnya daripada seperti ini.

Ambulance yang kami tumpangi sudah masuk jalan perumahan rumah orangtua Arini. Setelah bermusyawarah, akhirnya memang kami memutuskan mengebumikan Arvan di pemakaman keluarga Arini. Banyak pertimbangan yang membuat kami memutuskan itu. 

Di ujung sana, aku sudah melihat beberapa kerabat yang berdiri berjajar di depan pagar. Mereka memang sudah kukabari saat kami sudah hampir dekat tadi. 

Lihat selengkapnya