Nak,
Tahukah kamu berapa lama Bunda merayu Tuhan?
Supaya kamu bisa hadir dan menyatu dalam tubuh bunda.
Supaya Bunda bisa merasakan tendangan kecil di balik perut yang sangat menggemaskan.
Sesekali ngilu memang, saat kamu menendang sisi perut dengan sedikit keras. Tapi Bunda suka. Bahkan menantikannya.
Rayuanku pun, supaya Bunda bisa merasakan betapa antusiasnya meminum berbagai vitamin dan susu yang akhirnya membuat Bunda mual.
Betapa baiknya Tuhan ya, Nak.
Segalanya sudah Bunda rasakan.
Rayuan Bunda secara berulang kepadaNya, sudah terkabulkan.
Bunda beruntung.
Beruntung sekali, karena di sekian banyak umat yang memperjuangkan dua garis merah, Bunda mendapatkannya walau penuh dengan perjuangan.
Tapi,
Rupanya Bunda melupakan beberapa hal.
Mengapa Bunda tidak meminta untuk dapat melihatmu tumbuh dan berkembang sampai dewasa?
Bersama Bunda, Papa, Oma, Kakek, Nenek, ah! Semuanya.
Lalu melihatmu belajar tengkurap, merangkak, berjalan dan berbicara.
Mengantar kamu ke sekolah dan mencium puncak kepalamu setiap paginya.
Kemudian memberimu berbagai bekal lucu dengan pernak perniknya.
Ah, iya. Itu salah Bunda, Nak.
Jikalau Tuhan memintamu untuk kembali, Bunda bisa apa?
Kamu jiwaku, tapi bukan sepenuhnya milikku.
Aliran bening mengalir lagi. Bahkan jatuh setetes mengenai pergelangan tangan bayi mungil dalam gendonganku. Aku tahu ini tidak baik. Akupun sudah berusaha menahan. Tapi aku hanyalah manusia.
Aku melangkah perlahan. Sambil sesekali menikmati wajah lucunya. Dia menawan. Andai dia diberi umur panjang, dia pasti akan sangat menggemaskan.
Kulit bersih, tubuh gemuk, pipi mengembang dengan bibir tipis dan hidung mancung. Ah, Nak. Ini terlalu sakit.
"Biar Mak Narti saja yang memandikan ya, Rin?"