Sang Buah Hati

Rina dwi apriliana
Chapter #5

Lepas

Kicauan burung tak lagi kudengar merdu. Suasana nyaman yang dulunya selalu kunikmati sambil berjemur dengan perut membesar, kini rasanya tidak lagi sama. Harusnya, kini aku tetap melakukan aktivitas berjemur pagi dengan bahagia. Menikmati hangat sinar mentari sambil memangku bayi mungil yang kututup matanya supaya tidak terlalu sakit terkena sinar sang surya. Tapi sekarang, aku hanya terduduk sendiri dengan pikiran yang... Entahlah.

Bukan, ini bukan karena aku belum mau menerima. Tapi rasanya, mungkin saja belum terbiasa dengan apa yang sudah digariskanNya.

"Sudah sarapan, Sayang?" Revan mendekat dengan membawa sebuah cangkir dengan asap yang masih mengepul tipis. Dari dalamnya menguar aroma harum kopi yang ku sukai.

Aku bukan pecinta kopi, tapi menghirup aroma kopi selalu mampu meredakan sedikit tekanan yang kurasakan. Hanya mencium aromanya, Ini bukan sekedar omong kosong belaka. Karena sejauh ini cukup ampuh untukku.

Revan duduk di sebelahku kemudian meletakkan kopi di atas meja kayu di sudut teras. Kursi yang ku duduki sedikit bergoyang ketika dia duduk.

Aku tersenyum melihatnya. "Nunggu kamu bangun." jawabku sekenanya.

"Kok nggak bangunin?"

"Nggak papa, sekali-kali bangun siang, kan ini juga baru jam delapan." kuberi senyum untuknya.

Revan memang terbiasa bangun pagi. Dan ketika setelah subuh tadi dia terlelap lagi, aku membiarkannya. Aku memang sengaja tidak membangunkannya karena ku pikir dia pasti kelelahan. Beberapa hari terakhir adalah hari yang berat untuk kami.

Semalam, saat semua sudah selesai, kami sudah meluapkan segala kesakitan yang membelenggu. Kami saling berjanji untuk kembali bangkit dan kukatakan akan mencoba lagi. Ya, walaupun bukan dalam waktu dekat ini. Setidaknya aku sudah berjanji kepadanya untuk tidak terlalu hanyut dan terpuruk. Segalanya yang terjadi memang sudah seharusnya terjadi. Bukankah tidak ada satupun daun yang gugur tanpa kuasa Sang Ilahi? Begitupun kehilangan ini. Aku tahu ini sakit. Tapi, memang harus aku lalui.

"Rin.."

"Ya?"

"Sepertinya, setelah aku pikir-pikir aku akan stay di sini dulu. Gimana menurut kamu?"

Kembali kurasakan kursi sedikit bergerak saat Revan merubah posisi duduknya menjadi menghadap ke arahku.

"Ya nggak papa. Aku juga pengen di sini dulu."

Sekilas aku melihat Revan mengangguk-angguk kecil. Kembali dia meraih cangkir kopi, dan disesapnya secara perlahan.

Ya, seminggu setelah menikah, aku memang memutuskan untuk ikut Revan. Dia bekerja di sebuah perusahaan swasta di Ibu Kota. Karena kebetulan Mama mertua juga tinggal sendiri disana, kami memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan tinggal bersama Mama setelah menikah.

Karena ku pikir, akupun akan mudah mendapatkan pekerjaan di Ibu kota daripada di kota kecil tempat kelahiranku ini.

Sedangkan Bapak dan Ibu, ada Mas Beni dan istrinya yang menemani dan tinggal di rumah yang bersebelahan dengan Bapak dan Ibu.

Tapi karena beberapa bulan terakhir Ibu sering sakit, dan sempat stroke ringan, akhirnya aku memutuskan melahirkan di sini untuk memberi kebahagiaan baru untuk Ibu. Siapa tahu hadirnya cucu pertama ini, akan membuatnya semakin sehat. Tapi, siapa sangka, justru hal sebaliknya terjadi. Cucunya telah kembali kepada Yang Paling Memiliki begitu cepat. Bahkan sebelum dia mendengar tangis kecilnya.

Sedangkan Revan, dia memang memutuskan tidak memperpanjang kontrak kerja sebulan sebelum aku melahirkan. Lingkungan kerja yang tidak nyaman menjadi pertimbangan buatnya. Tapi, sebelumnya kami sudah menyiapkan tabungan yang kami rasa cukup untuk biaya melahirkan.

Lihat selengkapnya