Aku mengaduk pelan teh hangat untuk Mama dengan pikiran yang sedikit kacau. Tepat jam lima tadi, Mama datang. Revan menjemputnya di stasiun yang agak jauh dari kotaku. Butuh waktu kurang lebih 1 jam 30 menit perjalanan untuk sampai. Memang tempat kelahiranku ini terbilang mempunyai akses yang agak jauh dari pusat kota. Seperti stasiun, rumah sakit besar dengan berbagai dokter spesialis, bahkan dokter hewanpun belum ada disini.
Mama datang dengan senyum khasnya. Memelukku dengan hangat. Mengusap punggungku secara berulang dan berkata sabar untuk sebuah kehilangan. Belum ada perbincangan yang panjang ataupun serius diantara kami. Karena setelahnya aku sudah sibuk dengan acara kirim do'a untuk Arvan yang di mulai setelah magrib.
Bersama Mbak Indi, istri Mas Beni. Kami sibuk menyusun berbagai camilan dan roti untuk para tamu. Para kerabat juga masih sibuk menyiapkan makanan untuk di hidangkan. Ku minta Mama duduk bersama Ibu di ruang tengah. Karena pasti Mama merasa lelah setelah menempuh perjalanan panjang.
Seharusnya tidak ada yang harus aku khawatirkan. Tapi, setelah kedatangan mbak Arum tadi, dan dia mengajak Mama berbincang, kurasa Mama menjadi sedikit lebih diam. Seperti ada sesuatu yang berat yang di pikirkannya. Bahkan Mama pamit masuk ke kamar secara tiba-tiba saat semua kerabat masih berkumpul di ruang tengah setelah acara usai . Kenapa? Ada apa? Berputar-putar di dalam benakku.
Teh yang sudah siap mulai aku bawa dengan nampan kecil kearah kamar Mama. Aku melirik sekilas ke atas tv. Jam sudah menunjukkan pukul delapan. Para kerabat sudah banyak yang pamit pulang, termasuk Mbak Indi dan Bude Sri. segala yang membantu di dapur juga sudah kupinta untuk berkemas dan pulang. Ibu, juga sudah ku antar ke kamarnya. Sedangkan Bapak, Revan, dan Mas Beni masih berbincang dengan beberapa tetangga lelaki di teras depan.
Aku mengetuk pelan pintu kamar Mama. Dan Mama membukanya dengan cepat.
"Teh, Ma. Mumpung masih hangat." ucapku saat wajah Mama mulai terlihat.
"Masuk, Rin."
Aku masuk mengikuti langkah Mama yang terhenti di samping kasur. Kuletakkan teh hangat di nakas kecil di sebelahnya. Setelah itu, kulihat Mama menepuk pelan kasur yang dia duduki. Pertanda memintaku untuk duduk si sebelahnya. Aku menurut.
"Ma.." berat rasanya ingin bertanya, tapi aku tidak ingin berlarut dengan kekhawatiranku sendiri.
"Kenapa? Hmm?" Suara lembut Mama kudengar pelan.
"Em.. Mama ngobrol apa sama Mbak Arum? Arin khawatir.. Mmm..itu.."
"Kamu khawatir dia bicara yang tidak-tidak, begitu?"
Aku mengangguk cepat. Dan Mama tersenyum setelahnya. Sedikit terjeda dan kurasa hening sesaat.
"Arum bilang, kalau sebenarnya cucu Mama nggak ada karena keteledoran kamu."
Degg.. Dadaku bergemuruh. Rasanya tidak percaya Mbak Arum tega melakukan itu kepadaku. Apa tujuannya? Padahal aku merasa tidak pernah punya masalah dengannya.
"Tapi Mama juga nggak bisa langsung percaya begitu saja, kan? Tanpa dengar langsung dari kamu." aku mengangguk.
"Mau cerita?" lanjut Mama.
Kuhembuskan nafas yang terasa berat menghimpit dada. Harus menceritakan kembali kejadian demi kejadian yang membuatku merasakan kehancuran. Mengingat-ingat lagi memori yang ingin aku musnahkan kalaupun bisa.
"Bagaimana?"
Tangan Mama mengulur pelan menepuk punggung tanganku. Aku menatap wajah Mama.
Selama aku menjadi istri Revan, yang kutahu Mama termasuk pendiam, tidak banyak bicara dan berdiskusi. Tapi dia selalu saja memikirkan hal-hal secara berlebihan. Itulah yang membuatku dan Revan selalu berhati-hati dalam melakukan apapun.
"Jadi waktu itu, saat Revan telepon Mama, Arin sudah di klinik bidan Ma. Bidan juga sudah melakukan segala pemerikaan dan pertolongan kepada Arin. Tapi pembukaan macet di pembukaan tiga."
Aku diam sejenak. Mengatur deru nafas yang membuat dadaku tidak nyaman.
"Sampai jam sebelas malam, ketuban Arin pecah. Dan sudah berwarna sedikit keruh. Arin sudah ngomong ke Bidan buat di rujuk saja. Demi keselamatan Arvan. Tapi Bidan malah menunda-nunda." kesal yang waktu itu kurasakan seolah menyusup kembali.