Sang Buah Hati

Rina dwi apriliana
Chapter #7

Rindu

Dalam hening, detak jam dinding terdengar tajam. Suasana masing sepi. Selepas azdan subuh tadi, aku mengatakan kepada Revan kalau hari ini aku ingin pergi ke makam Arvan. Tapi sepertinya dia masih menimbang sesuatu. Aku masih menunggu jawaban Revan untuk permintaan yang ku utarakan.

"Bagaimana? Boleh?"

Sedikit ku goyang lengannya. Dia duduk bersandar pada dinding kamar. Tangannya bersedekap dan diam sedari tadi.

"Aku hanya ingin menengok, Van. Apa yang salah?" sedikit suaraku bergetar.

Aku begitu antusias saat terbangun tadi. Ada debar bahagia membersamai rasa rinduku yang seolah akan bersambut. Tapi justru, aku merasa dia tidak mengijinkan.

Semalam, aku mendapatkan mimpi yang aneh. Saat aku sedang duduk diteras depan. Kulihat anak lelaki berlarian kecil tersenyum ke arahku. Dia kira-kira berusia 2 atau 3 tahun. Tapi wajahnya seolah tidak asing bagiku.

Beberapa saat aku melihatnya bermain berlari kesana kemari. Aku memanggilnya untuk mendekat. Dengan senyum mengembang dia berlari ke arahku. Gigi-gigi putihnya bersih dan rapi. Tubuh gemuk, hidung mancung dan kulit putih, seolah aku mengenalnya sebelumnya.

Ku takup wajahnya dengan kedua tanganku. Lalu dia memelukku erat. Dan aku merasakan kebahagiaan yang tidak bisa kuutarakan.

Kemudian, aku bangun dengan nafas menggebu dan dada yang bergemuruh. Rindu yang begitu kuat menyusup lekat. Arvan, apa yang ada di dalam mimpiku itu Arvan?

"Kamu belum selesai nifas, Rin. Memang nggak papa?" Revan mulai berbicara. Membuatku sedikit terkesiap karena hanyut dalam lamunan.

"Masalahnya dimana?"

"Entahlah, tapi aku sedikit ragu orang-orang sini akan mengijinkan."

"Van, andai kamu tahu, mimpiku semalam seolah nyata. Anak itu... seperti Arvan. Dia memelukku." pandanganku dengan Revan bertaut.

"Apa menurutmu, mungkin saja Arvan juga ingin aku datang ke makamnya?" lanjutku.

"Rin, jelas-jelas Arvan masih bayi. Nggak mungkin dong dalam hitungan hari dia sudah berumur beberapa tahun?"

"Bagiku nggak ada yang nggak mungkin, Van. Karena aku selalu berdoa bisa bertemu dengannya walau hanya dalam mimpi." kuhembuskan nafas panjang.

" Walau nggak mirip dengannya saat kami berpisah, tapi mungkin bisa dengan kehadirannya dalam wujud yang lain."

Aku berdiri dari dudukku. Meninggalkan Revan yang kurasa dari ekor mata masih memperhatikanku. Sebenarnya aku ingin marah. Tapi lagi-lagi aku sadar, bahwa semua punya aturan.

Di ruang makan aku duduk sejenak. Mengambil segelas air putih dan meminumnya perlahan. Kemudian, aku teringat. Tadi malam aku tidak memompa Asi. Dan aku tidak merasakan apapun. Biasanya, aku akan merasakan rasa tidak nyaman saat aku lupa memompa Asi.

Bergegas aku mengambil satu set alat pompa asi dan apron. Ku rangkai dengan cepat dan segera kulakukan kegiatan yang hampir tiap 2 jam sekali ku lakukan ini. Sampai beberapa detik berlalu hingga sampai di menit ke 30, aku mulai mengecek hasil perahan Asi yang di dapat. Ternyata benar-benar menurun. Jika biasanya aku akan mendapatkan 60ml walau hanya 15 menit memerah, sekarang aku hanya mendapatkan tidak lebih dari 10ml dengan waktu 60 menit.

"Ya Allah, apa ini akan segera berakhir?"

Sebak kembali kurasa. Aku merasakan kehilangan yang berulang. Padahal, aku merasa dengan memompa Asi dan mendapatkan yang cukup melimpah, aku juga merasakan bahagia yang entah datang dari mana. Aku tahu semua ini akan berakhir. Tapi aku tidak menyangka akan secepat ini.

Jika akhirnya terhenti, apa kamu baik-baik saja, Nak?

"Kenapa, Rin?"

Aku mendongak melihat sumber suara. Revan sudah berdiri di sampingku.

"Kenapa?" tanyanya lagi.

Lihat selengkapnya