Sang Buah Hati

Rina dwi apriliana
Chapter #8

Bangkit

Setelah 40 hari kepergian Arvan, aku kembali melakukan aktivitasku. Lukanya memang belum sepenuhnya sembuh, tapi hidup tidak boleh hanya sampai disitu. Beberapa kali aku memimpikan Arvan. Pun pernah juga di suatu ketika aku merindu, tapi dia tidak mampir dalam lelapku. Tidak apa. Akhirnya aku bisa, karena mulai terbiasa. 

Asiku benar-benar berhenti beberapa hari setelah dari makamnya. Kali ini tanpa ratapan. Dan hatiku benar-benar menjadi tenang.

Ku kemas semua kenang. Alat pompa dan beberapa keperluan yang tadinya untuk Arvan sudah ku kemas dan letakkan di sebuah lemari di dalam kamar. 

Beberapa kali orang-orang bertanya, mengapa aku tidak memberikan beberapa perlengkapan bayi ke orang lain saja, supaya tidak teringat-ingat. Rupanya mereka belum tahu, kehilangan tidak melulu tentang bagaimana kita menghilangkan kenangan. Berbaur dan menerima kenangan justru akan membuat tegar lebih tertata. Biar saja ku simpan semuanya. Tidak menutup kemungkinan ada adik Arvan yang akan hadir dalam hidupku, bukan? Aku tidak ingin berhenti. Hanya berjeda, lalu bangkit kembali.

Pagi ini, aku mulai disibukkan dengan beberapa barang yang mulai datang. Gula pasir kemasan dua puluh lima kilogram. Beberapa sabun, shampo, juga beras dan beberapa barang lainnya.

 Toko sembako yang kami rencanakan, sudah mulai di realisasikan, walau belum kami buka hari ini. Kami menempati bangunan berukuran 5 x 5 meter yang terletak di sisi kiri rumah orangtuaku.

 Dulunya, bangunan itu juga dipakai Bapak untuk toko sembako. Tapi lama tutup saat Mas Beni memutuskan membuka toko baru di depan rumahnya karena menurutnya bangunanya tidak sesuai keinginan, sedangkan aku ikut Revan ke Jakarta setelah menikah.

 Waktu itu, setelah Mas Beni menikah, Bapak memberi tanah samping kanan rumah bekas kebun untuk dibangun sebuah rumah. Sepetak kecil di depannya, di bangun ruang berukuran 4 x 4 meter untuk di gunakan istrinya berjualan kosmetik dan bensin eceran. Jadilah bangunan ini ngangur pada akhirnya.

Memang butuh sedikit renovasi. Di cat kembali, dan mengganti pintu kayu menjadi rolling door. Dan itu sudah selesai. Bahkan sekarang toko sudah mulai terlihat terisi beberapa sembako walau belum lengkap.

 Waktu aku memberitahu Bapak niatanku untuk membuka toko kembali, Bapak sangat antusias. Kurasa dengan begitu aku akan lebih dekat dengannya. Bagaimanapun, aku anak perempuan Bapak satu-satunya. Saat aku memutuskan ikut pergi ke Jakarta, Bapak mengijinkan. Tapi aku tahu ada sisi di hatinya yang berat melepas tapi tidak terungkap .

Kata Bapak waktu itu, biar aku bisa betah di desa sambil momong anak. Ya, walaupun semuanya tidak sesuai rencana. Tapi setidaknya masih bisa berjalan dengan baik. 

"Rin, sibuk?" 

Aku mendongak. Menghentikan kegiatan mengemas gula kedalam plastik kemasan satu kilogram.

Mama melepas alas kakinya, lalu masuk. Kemudian duduk di depan tumpukan barang-barang yang tergeletak di depanku.

"Kenapa, Ma?" 

"Kayaknya Mama mau pulang hari ini atau besok deh, Rin. Nggak papa kan?" tanya Mama lembut.

"Nggak papa sih, Ma. Tapi kenapa buru-buru sekali?" alisku menyatu.

"Rasanya Mama kepikiran ninggalin rumah lama, Rin. Kamu disini dulu nggak papa. Biar sementara Mbak Otih yang nemenin Mama." terbesit senyum teduh di bibir Mama.

Mbak Otih. Dia adalah kakak satu-satunya Revan. Dia sudah berkeluarga dan tinggal agak jauh dari rumah Mama. Karena kesibukannya dan suaminya bekerja, memang sedikit susah dia membagi waktu untuk sekedar datang kerumah untuk menengok Mama. Padahal kadang, Mama begitu kangen dengan Kinan, cucu satu-satunya. Itu juga yang membuat Mama begitu mendambakan anak dariku dan Revan. Tapi mau bagaimana lagi. Akhirnya kita harus menerima segala kondisi berbeda dari perencanaan yang kadang sudah kita susun rapi.

"Mama yakin nggak papa kalau Arin di sini dulu, Ma?" kuulurkan tanganku yang sebelumnya ku bersihkan dengan kain bersih yang sudah ku siapkan. 

Aku menggenggam tangan Mama. Meminta ijin lebih tepatnya.

Mama menggeleng pelan. "Ibumu juga masih sakit kan? Nggak papa, di temenin aja dulu." 

Lihat selengkapnya