Satu minggu Revan di Jakarta, aku masih di sibukkan dengan kegiatan mengurus rumah, Ibu, juga toko.
Dua hari yang lalu, akhirnya toko mulai aku buka. Aktivitas yang padat membuatku hampir tidak sempat memikirkan hal-hal yang akan menyiksa pikiran. Justru aku menyukai hal ini.
Ibu, sekarang sudah mulai belajar berjalan menggunakan walker. Perkembangan yang membuatku sangat terkejut sebenarnya. Karena seolah-olah sangat cepat di waktu yang singkat. Ibu bahkan sudah bisa beraktivitas menuju kamar mandi sendiri sekarang.
Kursi roda yang biasa dipakai masih aku letakkan di sudut kamarnya. Siapa tahu Ibu membutuhkannya sewaktu-waktu.
"Rin, beli beras satu kilo ya."
Aku mendongak. Wajah mbak Arum terlihat dari balik etalase. Gegas aku berdiri. Meskipun dia seringkali menjengkelkan, tapi tidak pernah terbesit dalam benakku menaruh dendam dan ingin membalasnya. Semuanya ku anggap angin lalu saja.
"Oke, Mbak."
Segera aku mengambilkan beras yang sudah aku kemas dari dalam kardus.
"Empat belas ribu ya, Mbak."
"Nih." Mbak Arum menyodorkan selembar uang bersamaan denganku menyerahkan beras yang ku masukkan ke dalam kantong plastik hitam.
"Kembaliannya nggak usah. Udah. Makasih ya..."
Mbak Arum bergegas berlalu dengan tangan melambai ke udara. Dia tersenyum manis melihatku.
Aku masih diam, melihat lembaran uang dua puluh ribuan di tangan. Bingung.
Kenapa Mbak Arum bisa mendadak baik begitu? Biasanya selalu ada bahan obrolan tidak penting yang diucapkannya. Sedikit merunut ke belakang, memang setelah obrolan kami saat keberangkatan Mama satu minggu yang lalu, aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Pun dia juga tidak pernah ke rumah atau ke tokoku untuk mencari gara-gara seperti biasanya. Sisi hatiku berkata ada yang sedikit mengganjal dengan perubahan sikapnya. Tapi bisa saja dia memang sedang berusaha berubah, bukan?
Drrttt....
Suara getar handpone mengagetkan.
Aku sedikit tersentak. Segera memasukkan uang dari Mbak Arum ke dalam laci etalase. Lalu secepatnya menyambar ponsel yang tergeletak di atas meja. Nama Revan terpampang di layar yang berkedip-kedip.
"Assalamualaikum, iya Van?"
"Waalaikumsalam. Rin, bisa tolong minta nomer Mas Raka? Kirim ya."
"Mas.. Raka?" aku sedikit mengingat-ingat.
"Iyap."
"Untuk?"
Aku mengernyit. Kenapa tiba-tiba Revan tanya tentang Mas Raka?
Mas Raka, dia suami Mbak Arum yang setahuku kerja merantau di Jawa Tengah. Untuk pastinya aku tidak begitu paham. Yang aku tahu, Mas Raka memang jarang pulang.
"Tadi ada pesan nih, katanya sih dari Mas Raka. Untuk memastikan aja. Bener atau nggak. Kamu punya nomernya?"
"Duh, enggak sih Van. Apa penting banget? Perlu aku tanya ke Mbak Arum?"
Hening sejenak. Sepertinya Revan sedang menimbang sesuatu di ujung sana.