Sang Buah Hati

Rina dwi apriliana
Chapter #10

Penawaran

Aku, Revan, dan Bapak masih menikmati sarapan di meja makan. Sedangkan Ibu sudah lebih dulu selesai, dan sudah aku antar ke kamarnya. Karena Ibu masih masa pemulihan, Ibu sering merasa pusing jika terlalu lama duduk tegak tanpa sandaran.

Pagi tadi, aku membuatkan menu nasi goreng dan telur ceplok. Khusus untuk Ibu, ku buatkan sayur sop brokoli dan daging ayam. Juga buah pisang yang aku tahu aman untuk penderita hipertensi. Mengingat beberapa hari terakhir ini Ibu sering mengeluhkan rasa tidak enak dan nyeri pada bagian ulu hati, juga terkadang mual, aku lebih berhati-hati untuk menyajikan makanan untuknya. 

Aku menuang air ke dalam gelas Bapak, lalu Revan. Kulihat makanan dalam piring mereka sudah hampir habis. Begitupun dengan makanan yang ada di depanku. Perlahan aku meletakkan sendok dan melihat Bapak yang masih sibuk dengan makanannya.

"Em.. Pak, menurut Bapak, Mbak Arum sama Mas Raka itu gimana?" aku memulai pembicaraan.

"Raka suaminya Arum?" Bapak mengernyit sesaat, dan aku mengangguk cepat menandakan ucapan Bapak benar.

"Ya kalau menurut Bapak sih, mereka baik. Walaupun, omongannya Arum itu kadang suka ceplas-ceplos. Tapi sejauh ini Bapak rasa nggak ada masalah sama mereka sih, Rin." 

Aku mengangguk-angguk kecil meresap keterangan Bapak. Sedangkan Revan ku lihat sekilas hanya mendengarkan saja tanpa ekspresi berarti. Sesekali dia masih menyuap makanannya, sesekali memandangku dan Bapak.

"Lagian ya, Rin." Bapak meneguk air di depannya terlebih dulu.

"Arum itu kan anaknya Mbak Yastri, Mbak Bapak. Budemu. Ya walaupun beda Ibu dengan Bapak, tapi keluarga mereka baik kok. Mungkin karena Arum pernah merantau ke Kalimantan sana atau gimana, Bapak juga nggak paham kenapa dia jadi ceplas - ceplos dan suka usil sama urusan orang gitu. Padahal dulunya dia anak yang baik."

"Apalagi, selama kamu di Jakarta, Arum juga beberapa kali ngirim makanan untuk Bapak dan Ibu." 

"Oh ya?"

Bapak Mengangguk cepat. "Kalau Masmu atau istrinya lagi ada acara gitu, juga biasanya Arum yang bantu Ibumu ambilkan ini itu. Juga mijit-mijit kaki." lanjut Bapak.

"Kalau menurut Bapak ya Rin, tidak selamanya orang yang penampilan luarnya berantakan itu dalamnya juga sama berantakannya. Ya, kayak si Arum itu. Dari luar omongannya kadang nyelekit, tapi sejauh Bapak kenal dia, dia baik kok."

Aku mengangguk. Lalu kembali menyelesaikan makan. Suasana kembali hening. Yang terdengar adalah dentingan piring, sendok dan garpu yang beradu.

Beberapa menit berlalu, sendok dan garpu sudah di letakkan di atas piring masing-masing. Air dalam gelas masing-masing juga sudah tandas. Aku mulai membereskan beberapa piring kotor. Berdiri dari dudukku dan menumpuk beberapa piring menjadi satu supaya mudah di bawa ke dapur. 

"Memang kenapa? Kok tiba-tiba tanya soal Arum dan keluarganya? Ada masalah?"

Aku menghentikan kegiatan. Kembali duduk dan menatap Bapak.

"Itu Pak. Kemarin Mas Raka ngirim pesan ke Revan. Nawarin kerjaan. Menurut Bapak gimana?" 

"La menurut kamu gimana, Van? Kamu yang akan ngejalani to ?" pandangan Bapak beralih ke Revan. Pun aku yang ikut memandangnya lekat.

"Masih belum tahu sih, Pak. Soalnya juga belum jelas ini kerjaannya apa." jawabnya cepat.

"O.. Yasudah, nanti panggil Arum kesini, Rin. Sekalian sama Raka. Kayaknya kemarin dia pulang. Kita obrolin bareng-bareng di sini."

"Iya Pak." jawabku disertai anggukan setuju dari Revan.

Ini memang yang ku mau. Bermusyawarah antara aku, Revan, Mas Raka juga Mbak Arum memang perlu. Lebih perlu lagi ada Bapak di antara kami berempat. 

Lihat selengkapnya