Setelah menimbang banyak hal, akhirnya aku dan Revan memutuskan menerima tawaran Mas Raka.
Malam hari, setelah obrolan kami dengan Bapak kemarin, Mas Raka datang ke rumah lagi. Dia memberikan segala informasi terkait pabrik yang di infokannya. Jobdesk, jadwal kerja, lingkungan kerja, gaji, bahkan segala keuntungan-keuntungan lainnya jika Revan mau bergabung. Dan itu membuat aku dan Revan tertarik.
Sempat terfikir di benakku juga, andaikan Revan sudah bekerja di sana, sepertinya akan lebih mudah untukku pulang. Karena jarak Semarang dan rumah ini tidak terlalu jauh. Dibanding dengan jarak Jakarta.
"Beneran ini nggak papa?"
Ini sudah lebih dari ketiga kalinya Revan bertanya kepadaku.
Buku rekening yang ada di tangannya di bolak balik sedari tadi.
"Kalau kita ngasih Mas Raka sepuluh juta, tabungan kita bener-bener sisa sedikit lo Rin. Nggak papa? Kamu yakin ?"
Aku yang sedari tadi menyusun baju-baju bersih kedalam lemari, mulai berhenti dan mendekat ke arah Revan yang duduk di tepi tempat tidur.
"Kalau ditanya yakin nggak, aku juga ga bisa jawab Van. Tapi rasanya, nggak ada salahnya di coba kan? Siapa tahu ini memang jalan buat kita. Lagipula, sampai detik ini kamu juga belum dapet panggilan dari manapun kan?"
Aku mendengar helaan nafas panjang. Aku tahu Revan merasa berat menggunakan uang itu. Karena tabungan itu, adalah hasil tabungan dari uang gajiku dulu sebelum hamil Arvan.
Dulu, sambil menunggu garis dua tiba, aku menyibukkan diri dan bekerja di salah satu klinik kecantikan di Jakarta dengan background pendidikan kesehatan yang ku punya. Beberapa gajiku, ku masukkan kedalam tabungan karena Revan tidak memperbolehkan aku memakainya untuk keperluan rumah tangga. Jadilah aku hanya menggunakannya untuk keperluanku dan beberapa kali kami ambil untuk program hamil Arvan dulu. Dan tabungan itu benar-benar kami jaga untuk rencana membeli rumah. Jika memang tabungan itu harus terpakai, aku tidak masalah sebenarnya. Lagipula, dengan kondisi kami sekarang, sepertinya kami akan kesulitan menentukan akan membeli rumah di mana. Di Jakarta, atau disini.
"Kita usaha buat nabung lagi kedepannya ya."
Revan meraih tanganku. Ku berikan anggukan dan senyuman kepadanya dengan antusias.
* * *
"Mas, ini bukti transfernya. Bisa Mas Raka cek ya. Dan segera tolong kabari kapan saya harus ke Semarang."
Revan mengangsurkan selembar kertas kecil bukti transfer dari ATM kepada Mas Raka.
Mas Raka mengambil dan melihat kertas itu dengan seksama. Bahkan terlihat sangat detail ketika dia memastikan deretan nomor rekening tujuan dan nominal sudah sesuai.
"Liatinnya gitu banget, Mas?" celetukku asal.
"Teliti itu perlu, Rin. Siapa tahu tadi Revan salah pencet atau gimana. Kita itu harus meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan. Biar nggak gampang ketipu." Mbak Arum berbicara panjang lebar.
Aku memutar bola mataku mendengar ocehannya. Rasanya jengah. Sebenarnya aku malas berurusan dengan Mbak Arum. Tapi bagaimana lagi? Aku tidak bisa membiarkan Revan menghadapi keduanya sendirian. Lagipula, ini untuk masa depan kami juga kan?
"Gimana, Mas? Bener kan?" Revan kembali memastikan.
"Oh, iya. Betul. Betul. Nanti tunggu kabar selanjutnya ya. Biasanya nggak sampai seminggu udah di telpon kamu pasti."
Aku dan Revan saling mengangguk. Setelahnya mereka pamit pulang. Mas Raka bilang, besok pagi dia akan kembali ke Semarang untuk mengurus berkas - berkas Revan. Dan dia menjanjikan akan segera menghubungi kami setelahnya.