Sang Buah Hati

Rina dwi apriliana
Chapter #12

Amarah

Pagi ini, aku merasa kepalaku sedikit berputar sejak bangun tidur tadi. Ditambah perut terasa tidak nyaman. Mual, terasa perut di aduk-aduk, tapi tidak bisa muntah. Ingin istirahat, tapi kepala berputar hebat.

"Kenapa, Sayang?"

Revan menempelkan tangan kanannya di atas keningku.

"Nggak demam sih.." lanjutnya.

"Tapi muter banget rasanya." keluhku.

Aku mengambil selimut di sebelahku dan menaikkan sebatas dada. Lalu mengambil bantal kecil untuk menutup sedikit wajahku.

"Tolong buatkan teh hangat ya." pintaku.

"Baik, Sayangku." Revan segera berlalu dari hadapanku setelah sebelumnya mencoba mengacak rambutku tapi ku tutup dengan bantal.

Aku rasa ini karena aku terlalu berlebihan memikirkan masalahku dengan Mbak Arum dan suaminya.

Setelah kepergian Mbak Arum hampir dua minggu yang lalu, membuat hari-hariku berubah. Bahkan selama hampir satu minggu aku tidak ke toko seperti biasa. Hanya Bapak dan Revan yang mengurus toko secara bergantian. Atau jika Mas Beni dan istrinya tidak sibuk, mereka juga ikut membantu. Aku bukan sedang meratapi uangku yang di bawa kabur olehnya. Hanya saja, setiap menuju ke toko dan harus melewati rumahnya, aku selalu merasa amarahku memuncak. Luapan amarah yang selalu berusaha ku tahan. Emosi yang tidak bisa aku lepaskan. Justru itu selalu membuatku sakit kepala. Bahkan kadang nyeri di bagian dada. Karena itulah aku berusaha untuk meredam semuanya. Sedikit menghidari titik penyebab, supaya akibat yang ku dapat tidak berlebihan.

Ibu, belum tahu apapun. Aku meminta kepada semuanya untuk merahasiakan semua ini kepada Ibu. Dan semuanya setuju.

Beberapa hari kebelakang, Revan masih berusaha menghubungi Mas Raka, tapi tetap tanpa ada jawaban. Nomor Mbak Arum pun juga tidak bisa aku hubungi. Kami sama sekali tidak bisa mendapatkan jejaknya. Berulang kali aku mencoba menghubungi kerabat yang kuyakini tahu dimana Mbak Arum berada saat ini. Tapi belum menemukan hasil. Seolah mereka bagai di telan bumi. Hingga akhirnya aku mulai berhenti untuk mencari tahu. Mencoba berfikir, mungkin saja uang yang di bawanya pergi memang tidak bisa aku miliki. Mencoba menata ikhlas lagi. Toh, uang bisa di cari. Hanya saja memang perlu usaha yang lebih.

Bapak adalah satu-satunya orang yang paling giat mengusut kasus ini. Mencari informasi kemana saja, menghubungi siapa saja yang dia anggap bisa membantu. Berulang kali Bapak juga meminta maaf kepadaku dan Revan, karena menurutnya, keputusannya waktu itu yang memintaku untuk mencoba malah membuatku kesusahan seperti ini. Tapi, aku mana mungkin bisa menyalahkan Bapak? Waktu itu tidak ada yang tahu hal ini akan terjadi bukan? Apalagi jika diingat, Mbak Arum dan Mas Raka adalah bagian dari keluarga kami. Siapa yang menyangka bahwa mereka bisa tega melakukan tindakan seperti ini. Bahkan Bude Sri dan para kerabat juga emosi ketika tahu apa yang terjadi.

Aku tahu Bapak pun juga sebenarnya ingin yang terbaik untukku dan Revan. Melihat Revan mendapat pekerjaan, aku dan keluarga kecilku hidup nyaman dan tidak kekurangan. Jika akhirnya begini, yang harus disalahkan ya Mbak Arum dan Mas Raka. Tidak ada yang lain.

"Teh siap..." Revan masuk membuatku mencium aroma teh yang menyegarkan.

"Yuk diminum dulu." lanjutnya sambil membantuku untuk duduk bersandar.

Aku meraih gelas yang masih menyembulkan uap tipis. Meresap aroma teh yang menguar, lalu merasa mual kembali.

"Kok tiba-tiba pengen tehnya di campur lemon ya Van?"

"Hah?"

"Iya. Lemon. Kayaknya jadi seger deh."

"Tapi kamu mual-mual begini lo, Rin. Kayaknya asam lambungmu naik lagi. Nggak papa kalau minum lemon?" Revan memandangku lekat.

"Em.. Tapi pengen. Gimana dong?" aku memberikan ekspresi memelas di hadapannya.

Revan menghembuskan nafas panjang. Lalu beranjak sambil membawa gelas yang tadi berpindah di tanganku.

Tidak lama, dia datang lagi dan memberikan gelas yang sama kepadaku.

Hatiku rasanya menghangat, bahagia yang entah datang dari mana. Segera aku menyesap sedikit demi sedikit teh bercampur perasan lemon. Aku merasakan bahagia tanpa sebab yang tiba-tiba menyusup dan menghangatkan perasaan. Entahlah. Ini aneh sekali.

"Oiya, aku tadi sudah berusaha ngehubungi pihak PT yang dikatakan Mas Raka kemarin."

"Hah? Lalu?" aku meletakkan gelas ke atas nakas samping tempat tidur. Pembahasan tentang Mas Raka lebih menarik untukku.

"Mereka bilang, memang ada lowongan, tapi nggak ada tuh yang harus bayar jutaan begitu. Dan Mas Raka itu ternyata juga sudah bukan karyawan disana sejak dua bulan yang lalu, Rin."

Lihat selengkapnya