Sang Buah Hati

Rina dwi apriliana
Chapter #13

Pelangi

Jam menunjukkan pukul empat dini hari. Dan ini sudah lebih dari ketiga kalinya aku bolak balik ke kamar mandi karena merasa mual yang berlebihan. Aku memang mempunyai riwayat maag. Asam lambungku akan cepat naik saat memakan makanan pedas atau asam yang berlebihan. Tapi seingatku, aku tidak salah makan semalam. Bahkan aku tidur lebih cepat karena merasa sedikit lemas.

Dengan tertatih aku keluar kamar mandi. Revan sudah menungguku diluar dengan wajah cemas. Kulihat tangannya yang bersedekap segera menyambutku ketika pintu sudah terbuka lebar.

"Kayaknya kita butuh periksa deh. Asam lambungmu sepertinya naik lagi. Tapi ini lebih parah dari biasanya."

Dia mengusap pelan punggungku. Membuatku ingin mengeluarkan lagi isi dalam perutku. Walaupun sebenarnya tidak sepenuhnya bisa ku keluarkan. Hingga rasa yang tersisa adalah pahit, panas dan nyeri di bagian tenggorokan dan perut.

Aku masuk kembali kedalam kamar mandi. Ini adalah rasa mual yang sangat berlebih selama aku menderita sakit maag selama ini. Kali ini Revan ikut masuk dan memijat tengkuk leherku.

"Besok periksa ya." ucapnya lirih.

Aku hanya mengangguk kecil. Sedikit terengah-engah. Setelah ku bersihkan mulut hingga wastafel, kami melangkah keluar kamar mandi perlahan dan Revan memapahku. Aku bisa merasakan kekhawatirannya.

"Kamu nggak usah berlebihan mikirin masalah Mbak Arum ya." ucapnya lagi saat kami sudah masuk ke dalam kamar.

Aku duduk bersandar di tepian kasur. Menggeleng pelan berusaha menepis anggapannya bahwa aku terlalu memikirkan masalah kami. Padahal, aku sudah berhenti untuk tidak memperpanjang masalah itu.

"Minum, tolong." sedikit ku angkat tanganku untuk menunjuk sisi kiri Revan. Ada botol minumku yang tergeletak di sana.

Dia mengangsurkan botol minum yang selalu ku bawa kemanapun aku pergi itu. Lalu, mencoba meneguknya secara perlahan. Mulutku benar- benar terasa pahit. Bahkan tenggorokan terasa terkunci. Aair mineral yang mengalir perlahan sedikit memberi rasa nyaman di tenggorokan.

"Aku udah berhenti memikirkan apapun tentang wanita itu. Kamu tahu kan?" ucapku kemudian.

Aku memang sudah bercerita banyak hal kepada Revan. Termasuk tentang Mbak Arum yang secara tiba-tiba menghubungiku kemarin sore. Juga ku ceritakan bagaimana emosi yang ku tahan selama ini bisa lolos sesuai tempatnya.

"Iya, sudah." dia berusaha menenangkan.

Revan mulai memijit telapak kakiku. Dia menekan dengan lembut tapi kuat di bagian atas tulang pergelangan kaki bagian dalam. Dengan gerakan melingkar, dia menekan titik itu selama beberapa menit dan berpindah di kaki yang satunya. Entah teknik memijat darimana yang dia dapatkan ini. Tapi rasanya sedikit membuat rasa nyaman.

"Perlu obat? Atau mau istirahat aja?" tanyanya tiba-tiba.

"Obat, boleh." jawabku sedikit pelan. Rasanya tenagaku banyak tersita karena mual muntah yang berlebihan tadi.

Revan beranjak dari duduknya dan membuka lemari pakaian. Aku menyimpan kotak obat di dalamnya.

"Ini?" dia mengangkat obat dengan kemasan silver dan tulisan pink yang tinggal beberapa butir.

Alisku bertaut. Mengingat-ingat sesuatu.

"Coba tolong bawa sini."

Revan memberikan obat tadi kepadaku, lalu dia duduk kembali di posisinya semula.

"Ini..."

Lihat selengkapnya