Setelah pemeriksaan, aku yang tadinya berniat mampir ke rumah Dita urung melakukannya. Aku meminta Revan untuk segera pulang dan kukatakan aku butuh istirahat.
Ketika suatu kabar yang tidak baik kudapat, mana mungkin aku mampu membaginya? Tidak semua orang boleh tahu kesedihan apa yang kita terima, bukan?
Aku mengenal Dita sedari SMA. Kami sangat dekat sampai detik ini walaupun sudah sama-sama berumah tangga. Selama ini, setiap bahagia yang ku kabarkan, dia ikut bersuka cita. Begitupun sebaliknya. Setiap rasa sedih yang ku bagi, akan memberikan rasa sedih yang sama untuknya. Untuk itulah aku memilih diam. Karena aku tidak tahu betul bagaimana kondisinya saat ini. Siapa tahu hari-harinya sedang tidak baik? Mana tega aku menjadikan harinya semakin buruk hanya dengan kabar tak baik yang ku terima.
"Kamu yakin apa yang di katakan dokter tadi, Van?" tanyaku setelah sekian lama diam.
Pandanganku lurus kedepan memperhatikan jalan. Tapi pikiranku berputar-putar tentang pemeriksaan. Rasanya aneh. Aku tidak merasakan gejala sakit apapun. Aku merasa semua baik-baik saja. Aku hanya merasa mual yang berlebihan. Kenapa tiba-tiba ada kista yang tumbuh bersamaan dengan janin yang ku tunggu? Apa memang kista tumbuh tanpa gejala berarti? Ah, aku semakin pusing di buatnya. Secara perlahan aku memijit pelipisku.
"Tapi itu kan masih belum fix, Sayang. Jangan panik dulu." ucap Revan tenang.
"Lagipula, dokter Rista juga bilang kan, andaikan benar itu kista dan berkembang, operasi pengangakatan bisa dilakukan saat usia kandunganmu tujuh bulan. Dan misalkan kistanya tidak berkembang, bahkan bisa di angkat bareng dengan bayi saat melahirkan. Semudah itu."
"Tapi, ngeri ah." aku bergidik. Dan Revan tersenyum kecil.
"Tidak semua kista itu membahayakan. Bukannya dokter Rista tadi bilang begitu?"
"Benarkah?" alisku bertaut saat menatapnya.
"Kamu nggak merhatiin apa yang tadi diomongin?"
Aku menggeleng lemah. Lagi-lagi aku melihat senyum kecil di bibir Revan.
"Sudahlah, harusnya hari ini menjadi hari yang bahagia buat kita. Ada bayi kecil yang tumbuh di perutmu."
Diulurkan tangan kirinya untuk mengusap pelan perutku. Sedang tangan satunya masih fokus memegang kendali kemudi.
"Harus bahagia atau sedih, aku juga bingung." lirihku.
Kudengar Revan menghembuskan nafas panjang.
"Mau cari second opinion?"
Aku menoleh cepat ke arahnya.
"Boleh. Kapan?" tanyaku cepat. Merasa ada angin segar yang mungkin saja bisa kami dapatkan.
"Tahan sebentar. Kita perlu waktu untuk mencari tahu dimana dokter yang terbaik. Lagi pula, diumur kehamilan yang masih sekecil ini, rasanya pemeriksaan juga masih akan rancu kan?"
Aku mengangguk-anguk. Setuju dengan apa yang dikatakan Revan.
"Tunggu dua minggu lagi seperti yang dokter Rista katakan. Nanti kita cari dokter yang lain untuk memeriksa."
"Yang penting kamu jaga diri baik-baik. Minum vitamin yang memang harus di minum. Dan satu lagi." lanjutnya.
Pandangan kami saling beradu saat tidak sengaja menoleh secara hampir bersamaan.