Sang Buah Hati

Rina dwi apriliana
Chapter #16

Kesal

Pagi sebelum berangkat ke toko, berulang kali aku mematut diriku di depan cermin. Rasa ingin berdandan tiba-tiba datang. Padahal biasanya begitu malas. Paling hanya lisptik yang tidak akan pernah absen aku poleskan di bibir. Tapi sedari bangun tidur dan selepas mandi tadi, aku begitu ingin memoleskan berbagai skincare dan bahkan cushion ke wajahku.

"Cantik banget mau kemana sih?" Revan tiba-tiba datang dan memelukku dari belakang.

Aku berjingkat, karena tidak menyadari kedatangannya.

"Mau ke toko." jawabku singkat.

"Ke toko pake acara dandan?"

"Tapi cantik kan?"

Aku membalikkan tubuh dan menatapnya dengan senyum manja. Revan terkekeh.

"Cantik. Cantik banget malah. Tapi nggak biasanya kayak gini deh."

Bibirku mengerucut. Lalu duduk di tepian kasur.

"Tiba-tiba pengen dandan aja. Salah ya?" jawabku kemudian.

Revan tersenyum. Berjongkok di hadapanku dan mengusap pelan perutku.

"Ini pasti karena ini deh. Sehat-sehat di dalam ya adek." 

"Dan kamu juga." dia meraih tanganku lalu di kecup pelan. Aku tersipu di buatnya.

Tok..tok..tok..

"Rin, ada Arum." suara Bapak dari balik pintu sedikit mengagetkanku. Segera aku bangkit dan membuka pintu.

"Mau ketemu Arin, Pak?" tanyaku pelan. Lebih tepatnya adalah berbisik. 

"Iya. Katanya mau ngomong penting."

"Penting?"

"Sudah, temui saja. Kalau butuh sesuatu panggil Bapak." ucap Bapak dan berlalu menuju dapur.

Aku dan Revan saling pandang sesaat. Setelahnya aku bergegas merapikan baju dan kerudungku. Aku mulai beranjak keluar kamar dan sedikit mengintip Mbak Arum datang sendiri atau dengan suaminya. Setelah ku tahu dia sendiri, aku memberi kode kepada Revan untuk tidak ikut menemui. Jika dia datang sendiri dan ingin menemuiku, akan ku temui dia dengan penuh percaya diri.

"Hai, Mbak. Kapan pulang?" tanyaku sedikit berbasa basi.

Dia tersenyum terlihat kikuk. Lalu aku memberikan kode untuknya agar mengikutiku keluar rumah. Rasanya berbincang di toko akan lebih nyaman dan leluasa. Tanpa khawatir Ibu atau Bapak akan mendengar. Pun aku tidak harus menahan apapun yang mungkin saja ingin aku katakan.

"Duduk Mbak." perintahku saat pintu rolling door sudah aku buka. Mbak Arum duduk bersila di antara tumpukan kardus belanjaan yang belum aku keluarkan isinya.

"Rin, Mbak mau minta maaf ya. Maaf...banget. Jadi Mbak itu..." 

"Ah, Mbak ini kayak si Oneng deh. Istrinya Deni Bajuri tuh . Tahu kan? Minta maaf mulu kerjaannya. Kasih tindakan dong mbak. Jangan ucapan aja yang di ulang-ulang." jawabku enteng sembari berjalan kesana kemari menata beberapa jajanan anak-anak yang perlu di gantung di atas etalase. Sengaja aku memotong kata-katanya untuk memangkas waktu berbasa-basi di antara kami.

Sedikit aku melirik. Sudah ku pastikan wajahnya merah. Aku tahu betul Mbak Arum paling tidak suka jika ada yang secara terang-terangan menyerangnya. Dan bagiku, ini adalah waktu yang ku tunggu-tunggu 

Lihat selengkapnya