Lagi-lagi menunggu namaku dipanggil menjadi sesuatu yang mendebarkan. Entah kenapa, aku sering merasakan ketakutan yang berlebih jika itu adalah persoalan tentang kesehatan. Terlebih aku tahu ada makhluk kecil yang sedang berkembang bersamaku. Aku pernah merasakan kehilangan hingga duniaku seolah terhenti. Maka kali ini, sekuat aku bisa, aku akan berusaha melakukan apapun untuk menjaga hingga dia terlahir sehat nanti.
Aku melirik jam yang melingkar di tangan kanan, angka digital menunjukkan pukul sepuluh lewat empat puluh, tapi dokter belum juga datang. Sedangkan antrian sudah mengular.
Beberapa wanita dengan perut membesar mulai terlihat tidak nyaman duduk dan beberapa ada yang memilih berjalan kesana kemari.
Aku melirik sekilas kearah Revan yang bersandar di kursi sebelahku. Tangannya bersedekap. Matanya terpejam. Entah dia memang benar-benar tertidur, atau hanya memejamkan mata. Karena memamg rasanya lelah dan penat sekali disini.
Kami berangkat dari rumah sedari jam enam dini hari tadi. Kami memperhitungkan waktu perjalanan yang akan kami tempuh dan nenghindari penatnya antrian panjang. Tapi nyatanya sama saja. Kami sudah menunggu di sini lebih dari dua jam.
Selang beberapa menit, ruang dokter sudah mulai dibuka. Beberapa perawat sudah mulai keluar masuk dan memanggil nomor antrian. Semakin mendekati nomor antrianku, rasanya jantungku berdetak lebih cepat.
Detik demi detik berlalu, akhirnya aku sudah berada di sini. Di ruang bercat nuansa putih. Aku sudah terbaring di ranjang pasien dan seorang perawat muda sudah mengoleskan gel di atas perutku. Tidak lupa dia memberikan selimut untuk menutupi bagian bawah pusar hingga kaki. Kemudian dokter yang kutahu namanya adalah dokter Didik mendekat.
Dokter ini memang sedikit berbeda dengan dokter Arista. Dokter Didik lebih banyak diam tanpa berbasa basi berlebihan. Tapi secara gerak geriknya aku bisa menilai bahwa beliau selalu cepat dalam bekerja.
"Oke. Benar, ini ada kantong kehamilan. Janinnya tumbuh berkembang bagus." ujar dokter Didik yang masih fokus dengan monitor.
"Apa benar ada kista, Dok?" tanyaku pelan karena sedikit ragu.
"Kista?" kening dokter Didik berkerut. Menatapku sesaat lalu beralih menatap monitor lagi.
"Kata siapa ada kista?"
Jantungku semakin bertalu. Apakah akan ada kabar baik?
"Beberapa minggu yang lalu kami periksa di dokter lain, katanya ada kista dok " Revan mencoba menjelaskan. Di sodorkannya pula hasil USG dan beberapa keterangan adanya kista di rahimku.
Dokter Didik diam. Menatap kertas yang di berikan Revan. Detik berikutnya, dia memberikan kertas tersebut kepada perawat yang berdiri di belakangnya. Kemudian kembali fokus memutar-mutar alat di atas perutku. Matanya fokus pada layar monitor bewarna hitam dan putih.
"Saya tidak menemukan kista di sini."
Aku memandang monitor yang terletak di depanku dengan seksama.
"Kista apa? Wah, ngaco dokternya tuh." ucapnya.
"Justru saya menemukan dua kantong kehamilan disini. Kalian lihat?"
"Dua?"
"Iya, Ibu."
"Ini artinya ada dua janin di perutmu. Dan masing-masing dari kantong ada janin yang perkembangannya cukup baik sejauh ini."