Sang Buah Hati

Rina dwi apriliana
Chapter #18

Ibu

Hari-hari menjadi terasa begitu berat ku lalui. Kepalaku selalu berputar setiap bangun di pagi hari. Mual muntah yang sempat mereda kini muncul lagi. Bahkan setiap kali aku mencoba untuk makan, pasti akan keluar kembali. Seolah perutku tidak mau menerima apapun yang masuk.

Apalagi di saat harus meminum vitamin dan susu. Butuh banyak usaha untuk itu. Tapi aku berusaha keras memaksa untuk makan, minum vitamin dan susu. Semua ini ku namakan hak anakku. Tanggung jawabku yang menginginkannya hadir dalam duniaku. Ini bukan suatu pengorbanan. Memberikan yang terbaik untuknya adalah sebuah keharusan.

Terkadang, aku akan makan beberapa suap saja tetapi sesering ku bisa untuk menghindari mual muntah datang, atau susu ku campur dengan beberapa es batu supaya memberikan rasa segar. Kadang juga, setiap selesai minum vitamin aku akan menggunakan beberapa buah-buahan segar untuk meredam rasa tidak nyaman. Dan sejauh ini itu cukup efektif.

Aku hampir tidak sempat ke toko beberapa hari terakhir. Revan yang menangani semuanya. Pernah Bapak bertanya kenapa aku lebih sering di kamar, ku katakan bahwa aku selalu merasa pusing.

"Kamu tenang, uang yang di bawa Arum bakal di cicil mulai bulan depan ya." kata Bapak waktu itu.

"Bapak juga sudah membuatkan surat. Ada tanda tangannya, Raka, Bapak dan perangkat desa di atas materai. Hitam di atas putih itu kuat. Dia nggak bakal bisa lari lagi."

Walaupun sedikit kaget dengan tindakan yang dilakukan Bapak. Tapi aku patut bangga Bapak mampu bertindak jauh lebih baik dari apa yang ku pikirkan. Jadi ku iyakan saja.

Mungkin Bapak merasa aku terlalu memikirkan uang itu sampai sering merasa pusing. Setelahnya, Bapak tidak pernah bertanya apapun lagi saat tahu aku tidak ke toko dan tidak melakukan aktivitas seperti biasa.

"Rin, boleh Ibu masuk?"

Pintu kamar memang tidak ku tutup rapat. Dari sela-selanya aku bisa melihat Ibu sudah berdiri disana dengan tongkatnya.

Aku segera beranjak untuk membuka pintu untuk Ibu. Sempat sedikit pusing saat gerakan yang kulakukan terasa terlalu cepat. Tapi mereda saat aku berdiam sejenak dan mengatur nafas.

"Ibu perlu sesuatu?"

Aku menggandeng tangan Ibu. Menuntunnya masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi kasur.

Ibu menggeleng pelan. Sedikit tersenyum kepadaku.

"Kamu baik-baik aja?" tanyanya.

"Baik dong, Bu. Kenapa?"

"Kamu kelihatan lemes terus-terusan."

"Aman kok, Bu. Tenang ya."

"Tapi Ibu juga sering dengar kamu muntah-muntah."

"Arin cuma butuh istirahat, Bu."

Aku bergelayut manja di lengan Ibu. Rasanya nyaman sekali. Walau aku sudah sebesar ini, aku merasa selalu ingin bermanja kepada Ibu seperti di waktu kecil. Ibu mengusap pelan pipiku.

"Rin, apa kamu isi?"

"Arin kenapa?"

"Apa kamu hamil?" Ibu mengulang lagi maksud pertanyaannya.

Aku membenarkan posisi dudukku. Menatap Ibu dan tersenyum.

Sedikit bimbang, haruskah aku jujur? Atau tetap menyembunyikan kabar baik ini terhadap Ibu?

Beberapa detik aku berfikir. Menimbang baik buruknya. Kemudian mengangguk pelan.

"Alhamdulillah..." lirih Ibu berucap dan tersenyum. Di usapnya lenganku naik turun.

"Sehat-sehat ya."

"Ibu juga yang sehat ya. Supaya nanti saat cucu Ibu lahir, Ibu bisa gendong mereka."

"Mereka?"

Aku mengangguk dengan antusias.

Lihat selengkapnya