Sejak Revan berangkat ke Jakarta bulan lalu, aku memutuskan membuka toko hanya setengah hari saja. Ku tutup setelah adzan dzuhur berkumandang. Aku benar-benar merasa kepayahan jika harus kesana kemari mengurus toko. Padahal untuk membeli barang-barang yang habis, aku sudah meminta bantuan Mas Beni. Lalu, jika toko rame, Bude Sri juga sudah ikut membantu. Tapi tetap saja rasanya lelah sekali.
Perutku terlihat sudah membesar padahal bulan ini baru akan menginjak usia kehamilan yang ke lima. Tapi yang kurasa seolah sudah memasuki usia tujuh bulan. Perut yang sudah membesar, rasa tak nyaman di perut bagian bawah yang sesekali datang, bahkan untuk berjalan dari rumah-ke toko-kembali ke rumah lagi, nafasku sudah terengah-engah.
Beberapa kali bahkan para tetangga yg bertanya tidak percaya saat ku katakan usia kehamilanku yang sebenarnya. Mereka memang belum tahu ada dua bayi dalam perutku. Dan akupun tidak menjelaskan terlalu jauh.
Setelah menyelesaikan kewajibanku kepada Sang Khaliq, aku berencana untuk menyusun beberapa baju-baju yang sudah tidak terpakai. Menyisihkannya ke tempat berbeda supaya ada sisa ruang di lemari untuk pakaian anak-anak nantinya.
Saat aku berdiri, tiba-tiba aku merasa ada yang merembes dan membuat celana dalamku basah.
Segera aku ke kamar mandi. Mengganti semua, lalu berhenti sejenak di ruang makan.
Jantungku berdetak hebat. Rasa khawatir datang.
"Apa ini ketuban?" lirihku.
Aku menggeser kursi. Duduk termangu dan berfikir. Mencoba mengamati apakah ada rembesan lagi yang keluar.
Begitu aku berdiri, lagi-lagi kurasakan celana dalamku basah kembali. Tapi kali ini lebih sedikit jika dibandingkan yang pertama tadi.
Aku menoleh ke arah jam dinding. Jam menunjukkan pukul satu. Tidak mungkin jika aku periksa ke dokter Didik sekarang, waktu prakteknya sudah selesai hari ini.
Perlahan aku masuk kamar. Sempat berpaspasan dengan Bapak dan Ibu yang sedang menonton Tv. Tapi aku diam saja. Mereka sudah paham, jika di kehamilanku kali ini, aku lebih banyak beristirahat. Karena sering sekali secara tiba-tiba perut bawahku, bekas operasi beberapa bulan yang lalu terasa sedikit nyeri. Pernah aku bertanya kepada dokter tentang keluhan itu. Dan menurutnya memang itu adalah hal yang wajar. Karena jarak kehamilanku dan operasi sebelumnya memang terlalu pendek. Jelas saja, luka yang tidak terlihat masih belum sepenuhnya membaik. Apalagi sekarang harus menampung dua bayi di dalamnya.
Di kamar, aku makin gelisah. Aku punya rasa trauma yang belum hilang. Sekelebatan bayangan masa lalu muncul lagi. Sewaktu itu, air ketubanku pecah, dan bayiku tidak baik.
Rasa was-was merajai hati. Jika ini adalah ketuban, apa akan baik-baik saja? Sedangkan usianya baru lima bulan.
Aku menimbang banyak hal. Harus menghubungi Revan atau tidak. Beberapa menit kemudian, akhirnya kuputuskan menghubungi Mbak Indi. Ku minta untuk datang dan segera masuk ke kamarku saja. Aku butuh teman untuk membantuku berfikir.
"Kenapa, Rin?"
Aku menoleh saat secara tiba-tiba seseorang masuk ke dalam kamar tanpa mengetuk. Segera dia menutup pintu dari dalam dan duduk di sebelahku.
"Ini, kayak ada yang rembes. Aku takut ketuban." jawabku memelankan suara.
Mbak Indi membelalak. Mungkin dia terkejut. Seketika dia berdiri dan berjalan kesana kemari. Tangannya mengetuk-ngetuk kepala secara berulang. Dia terlihat bingung. Aku tahu. Akupun merasakan hal yang sama.
"Periksa ke bidan gimana? Ayok." ajaknya kemudian.
"Ke bidan?"
"Besok kita ke dokter. Tapi kali ini ke bidan aja dulu. Apa mau didiemin aja?"
Aku diam. Belum juga menemukan jawaban. Tapi tiba-tiba aku teringat. Entah kapan, aku pernah membaca sebuah artikel di Google, bahwa kita bisa mengecek sendiri dari rumah, rembesan yang keluar selama hamil adalah air ketuban atau tidak.
"Sebentar, Mbak."
Aku mengotak atik ponselku.
"Gimana kalau kita cek pakai ini, Mbak?"
"Apa ini?"
"Semacam alat buat ngecek air ketuban gitu."
"Oh, kertas lakmus."