Sang Buah Hati

Rina dwi apriliana
Chapter #20

Keluhan

Aku menekan pangkal hidungku secara perlahan. Memijit pelan dibagian itu, lalu beralih ke pelipis. Beberapa kali aku memejamkan mata untuk meredakan rasa nyeri yang hilang timbul di kepala. Kekhawatiran yang terus menerus membayangi membuatku hampir tidak bisa tidur semalaman. Hanya bisa terpejam sesaat, lalu terbangun dengan gelagapan. Menunggu pagi terasa waktu menjadi lebih panjang. Entahlah, Mungkin karena itu juga aku merasakan pusing kali ini.

Apalagi semalam, aku sempat sedikit berdebat dengan Revan. Menurutnya aku berusaha menyembunyikan permasalahan darinya. Tapi sungguh, bukan seperti itu maksudku. Aku hanya berusaha mencari solusi terbaik. Meredam dulu rasa khawatirnya jikalau mendengar kondisiku. Ku lakukan dulu semua usaha yang ku bisa. Setelahnya, akupun akan bercerita tanpa diminta.

Aku tahu amarahnya hanyalah sebuah bentuk kekhawatiran. Akhirnya, semua berakhir ketika aku memilih diam. Membiarkan semua amarahnya meluap. Dan dia meminta maaf setelahnya. Sedangkan aku, dengan senang hati memaafkannya. Riak-riak kecil seperti itu memang sulit sekali dihindari. Terlebih adanya jarak yang membentang diantara kami.

"Kamu kenapa? Pusing?" Mbak Indi berbisik.

Aku menatapnya sejenak. Mengangguk kecil dan mengurut pelipis lagi.

"Semalaman nggak bisa tidur, Mbak. Sekarang jadi pusing banget." keluhku.

"Apa tensinya naik?"

"Tadi di cek normal kok."

"Masih ada rembesan nggak hari ini?" dia menggeser tubuhnya menjadi sedikit menghadap kearahku.

Aku mengangguk pelan. "Lebih parah, Mbak. Tadi subuh sampai basah merembet di kaki."

"Astagfirullah.." dia menutup mulutnya saat menyadari suaranya terlalu keras hingga membuat beberapa orang menoleh ke arah kami.

"Ssttt..."

"Duh, maaf. Tapi aku takut lo Rin." digoyangkan pelan lenganku.

"Ya Allah, gimana kalau itu suatu hal yang bahaya, Rin?"

"Sudah, tenang dulu."

Aku semakin pusing di buatnya. Bukankah harusnya aku yang harusnya ditenangkan?

Detik dan menit berlalu, namaku sudah dipanggil. Aku masuk bersama Mbak Indi. Sedangkan Mas Beni memilih menunggu di luar karena merasa tidak nyaman katanya. Entah karena apa.

"Jadi ada cairan yang keluar?" tanya dokter Didik setelah aku dan Mbak Indi duduk di hadapannya.

Kami mengangguk hampir bersamaan. Aku merasakan tanganku di remas hebat. Sepertinya dia lebih gugup daripada aku. Kuberikan tepukan kecil di tangannya dan memberi senyum saat dia sekilas menoleh ke arahku.

Setelahnya, serangkaian pemeriksan aku jalani. Seorang perawat wanita membantuku. Dia menggunakan kertas lakmus seperti yang pernah aku lakukan waktu itu. Juga mengambil sample cairan yang sampai detik ini masih keluar walau tidak sebanyak tadi pagi.

Kemudian, aku di arahkan untuk berbaring dan perawat kembali mengoleskan gel dalam perutku.

"Semua aman. Ketuban masih aman disini. Kita cek detak jantung ya." dokter Didik memutar kembali alatnya di atas perutku.

Suara detak jantung menggema. Seketika rasa bahagia menelusup dan menghilangkan semua gundah. Senyum kembali tersungging seirama detak yang selalu kurindu itu.

"Bagus. Kita lihat yang satunya."

Kembali, aku mendengar detak jantung itu dengan antusias. Membayangkan keduanya di dalam sana juga sedang berjuang bersama. Walaupun ini bukan yang pertama, tapi di setiap irama jantung yang terdengar melalui monitor itu, membuat hatiku menghangat. Ada rasa haru biru bercampur syukur bahwa mereka baik-baik saja di dalam sana.

Lihat selengkapnya