Sang Buah Hati

Rina dwi apriliana
Chapter #21

Yang dinanti

Selang infus sudah terpasang di tangan kiri. Beberapa menit yang lalu, beberapa perawat juga menempelkan dua piringan kecil ke perutku menggunakan ikat pinggang elastis. Setelahnya aku diminta miring ke sisi kiri hingga pemeriksaan selesai. Beberapa kali aku menggigit bibir, atau menarik kuat ujung sprei saat aku merasakan perutku mengencang, atau sensasi kram di perut bagian bawah terasa begitu kuat. Sebenarnya beberapa hari terakhir aku sudah merasakan sensasi itu beberapa kali. Tapi rasanya tidak sekuat hari ini. Sekitar 20 menit berlalu. Hasil pemeriksaan berupa grafik yang tergambar dalam selembar kertas putih panjang, dibawa seorang perawat lain yang baru datang.

"Memang sudah ada kontraksi ternyata, Bu." ucap si perawat yang hanya ku balas dengan anggukan.

Mbak Indi masih setia mendampingi. Sedang Mas Beni kulihat sibuk dengan ponselnya. Saat aku bertanya kepadanya, dia hanya memberi tanda bahwa sedang sibuk berbicara di telepon.

"Mas lagi ngehubungi Bapak." ucap Mbak Indi kemudian. Dia memperhatikanku ternyata.

"Suruh bilang, nggak usah panik. Tolong minta Bude Sri temani Ibu juga." pintaku. Mbak Indi mengangguk. Lalu beranjak mendekati Mas Beni yang masih mondar mandir diujung ruang.

Disaat seperti ini aku justru memikirkan kondisi Ibu. Khawatir Ibu cemas. Khawatir Ibu tidak meminum obatnya dan tidak makan karena memikirkan aku. Segala kekhawatiran yang muncul silih berganti.

Aku mencoba mengubah posisi saat semua alat sudah di lepas. Terlentang beberapa detik, lalu kembali miring ke sisi kiri saat merasa nafasku di tekan hingga merasa sesak. Ku minta Mbak Indi meletakkan satu bantal di bagian bawah perutku. Juga meninggikan bantal di kepalaku. Tidak berselang lama, perawat yang sama datang lagi dan mengambil sample darahku. Aku tahu, sebelum operasi butuh serangkaian penanganan terlebih dulu. Dan aku sudah melaluinya dulu. Jika dulu yang kurasakan prosesnya begitu cepat dan terburu-buru, tapi kini lebih teratur dan tersusun.

Sudah sampai sore, aku belum juga menghubungi Revan. Bukannya lupa. Tapi aku sampai tidak bisa memikirkan apapun karena semua keluhan yang kurasakan hilang timbul tidak berjeda lama. Setiap ingin menghubunginya, perutku mengencang hebat. Hingga bekas operasi beberapa bulan lalu, kurasakan teramat nyeri.

"Aku sudah ngabarin Revan. Dia pulang besok." Mas Beni datang dan duduk di kursi samping tempat tidur.

Aku hanya mengangguk. Merasakan Mbak Indi mengusap pelan punggung hingga ke pinggang, rasanya nyaman sekali.

"Mas beli makan dulu ya, Dek."

Aku tahu kali ini Mas Beni berkata kepada Mbak Indi. Karena denganku, Mas Beni selalu memanggil nama. Bukan panggilan adek atau apapun itu.

"Kalau ngantuk tidur, Rin. Istirahat."

Sayup aku mendengar suara Mbak Indi. Usapan lembutnya benar-benar membuat rasa ngantuk datang. Aku terpejam sesaat setelahnya.

Aku membuka mata saat sebuah suara pelan membangunkanku. Rupanya aku benar-benar tertidur tadi. Sedikit merasa segar rasanya. Aku mengerjap, melihat siapa yang menggoyangkan sedikit bahuku. Mbak Indi rupanya. Dikatakan olehnya bahwa kamar yang harus ku tempati sudah siap.

Menurut jadwal, operasi akan di lakukan besok jam satu siang. Dan aku diminta berpuasa mulai besok jam lima pagi. Aku mengangguk, menurut.

Rasanya tidak sabar menunggu esok. Bertemu dengan dua buah hati yang menemaniku kemanapun selama delapan bulan terakhir. Yang gerakan kecilnya terasa menekan hebat saat mereka bergerak secara bersamaan. Seolah sedang saling tendang di dalam sana. Lucu memang. Aku mengusap perlahan perut besarku naik turun.

Merasakan pertumbuhan mereka di dalam sana, memang sesuatu yang ku nikmati selama ini. Rasa sesak nafas, payah, nyeri, itu akan segera menjadi cerita indah yang tersimpan dalam memori.

Dan kurasa, kini memang mereka harus segera di keluarkan. Dokter berkata, mereka sudah boleh dilahirkan. Jadi rasanya, aku tidak perlu cemas dengan apapun nantinya.

"Bolehlah, bawa juga baju gantiku." aku menoleh ke arah pintu. Mencari sumber suara.

"Kenapa, Mbak?" tanyaku saat ku tahu Mbak Indi berdiri di ujung sana.

Kami sudah berada di ruang lain. Kamar berkapasitas 1 orang ini, termasuk besar. Dilengkapi kamar mandi dalam, sofa dan meja, juga kasur kecil di sisi ranjangku.

"Mas Beni mau pulang sebentar, Rin. Mau ambil baju. Sekalian ambil perlengkapan bayi. Sudah di siapin kan?"

"Oh, sudah. Ada di kamar di lemari pojok." ucapku menerangkan.

Aku memang belum mempersiapkan apapun saat berangkat tadi. Ku pikir, masih ada waktu beberapa minggu lagi. Siapa sangka sekarang justru aku harus bermalam di sini.

Lihat selengkapnya