Sang Buah Hati

Rina dwi apriliana
Chapter #22

Nicu

Hatiku menghangat ketika mendengar tangis kecil dari bayi yang digendong oleh Mama. Bayi itu mengenakan bedong warna biru yang sudah ku siapkan. Sehingga aku tahu betul itu adalah anak lelakiku. 

Ya, dari hasil USG yang selalu aku lakukan, dokter memang sudah menjelaskan bahwa bayi yang ku kandung adalah kembar tidak identik berjenis kelamin lelaki dan perempuan.

Rasanya begitu sempurna, bukan? Aku mendapatkan buah hati dua sekaligus. Dengan jenis kelamin sepasang yang di idamkan banyak orang. Seolah Tuhan ingin menggantikan kehilanganku beberapa bulan lalu. Seolah dunia ingin menunjukkan inilah pelangi setelah mendung yang sempat menggelayutiku.

Aku merentangkan tangan meminta bayiku kepada Mama. Mama tersenyum. Mendekat ke arahku dengan mata berbinar. Revan membantuku mengatur posisi duduk, setelahnya Mama memberikan bayi mungil itu kepadaku. 

Aku menimangnya dengan perasaan yang entah. Hampir tidak bisa ku jabarkan. Rasa haru dan bahagia menyatu. Hingga setitik bening ikut keluar dari peraduannya. Membuatku menangis dan tersenyum dalam waktu yang sama. Mengingat betapa ini yang kunanti selama ini. Ini yang selalu ku sebut dalam do'a-do'a di sepanjang malam yang sunyi. Akhirnya aku bisa mendapatkannya.

Memandangi wajahnya menjadi kesibukkan baru yang begitu ku nikmati. Wajah mungil dengan dagu sedikit runcing seperti Revan. Tulang hidung yang tinggi dengan bibir mungil kemerahan. Aku tidak berhenti tersenyum saat menatapnya.

Beberapa menit aku menimang, aku teringat sesuatu.

"Yang satunya mana, Van?" tanyaku saat menyadari hanya satu bayi yang di serahkan. Dan perawat sudah kembali ke ruangannya.

Revan mengusap puncak kepalaku lembut. "Yang satu, bayi perempuan kita, ada di Nicu, Sayang." ucapnya kemudian.

"Nicu?"

"Iya."

"Kenapa?" keningku berkerut. 

Seingatku dua-duanya menangis saat keluar dari perutku. Seingatku juga, dokter Didik tidak mengatakan apapun selepas operasi. Hanya ucapan selamat yang kudengar tadi. Apakah ada sesuatu yang buruk?

"Kata perawat tadi, nangisnya merintih." Revan berusaha menjelaskan.

Benarkah? Ya Allah. Apalagi ini?

Aku tercenung. Beberapa rasa takut menguasai. Nicu, Arvan, kehilangan. Ah, Ya Allah. Jangan lagi. Jangan pernah terulang lagi.

"Tenang. Kondisi adek jauh lebih baik di banding Arvan dulu." Revan menepuk pundakku pelan.

"Dia akan cepat sehat, Nak." kali ini Mama yang berbicara.

Aku mengangguk kecil. Banyak bayangan yang menakutkan menghampiri silih berganti. Hingga ku rapalkan istigfar untuk menepisnya. Aku diam tidak bisa berkata-kata. Hanya mampu melangitkan do'a untuk anakku yang sedang berjuang disana. Mengaminkan segala ucapan kebaikan dan kesembuhan untuknya.

Bayi mungil dalam gendonganku menggeliat. Bayi laki-laki yang kusiapkan nama Rafandra itu, begitu anteng dalam dekapanku. 

Semakin lama, dekapanku semakin erat. Kuciumi kening hingga tangan kecilnya. Kehilangan di masa lalu, rupanya memberiku rasa takut yang berlebih. 

"Sini, biar Rafa Mama taruh di box saja ya." Mama mendekat dan mengambil alih. 

Lihat selengkapnya