Sang Buah Hati

Rina dwi apriliana
Chapter #23

Kalut

Aku melepas kaos kaki Rafa. Menggelitik telapak kaki mungilnya secara berulang-ulang. Dia menggeliat. Tapi kembali tertidur setelahnya.

Revan mendekat. Menciumi wajah buah hati kami dengan gemas. Berharap dia terbangun atau menangis. Ya, kami memang berharap dia menangis sehingga aku bisa memberinya Asi. Ini sudah lebih dari dua jam dari pemberian Asi yang sebelumnya. Dan kami masih belum bisa membangunkannya. Apa semua bayi memang seanteng ini? 

Semalaman, aku sampai tidak bisa tidur. Di sela-sela mengganti popok dan berusaha memberikan Asi kepada Rafa, kuhabiskan waktuku berselancar di dunia maya untuk mencari tahu tentang semua artikel yang membahas bayi baru lahir. Beberapa bahkan sudah ku praktekan tapi hasilnya masih nihil. Rafa sangat susah di bangunkan untuk menyusu. Andaikan kupaksa sekaligus, ku jejalkan puting kedalam mulut kecilnya, dia tidak menghisap kuat. Hanya sebentar-sebantar, dan lepas. Dia tidur lagi.

Aku membuang nafas sedikit kasar. Merasa semua usaha tidak mendapatkan hasilnya.

"Sabar." Revan menepuk bahuku pelan.

Aku mengalihkan pandangan. Mama masih terlelap di sofa. Padahal semalam, sudah ku minta untuk tidur di kasur sebelah ranjangku saja. Tapi Mama menolak. Beliau bilang, lebih nyaman tidur di sofa sehingga bisa lebih dekat dengan box Rafa. 

Dari balik jendela kaca belakang, ku lihat langit masih nampak sedikit gelap, padahal jam udah menunjukkan pukul enam pagi. Aku mengintip sebentar dari pintu kamar di bagian belakang yang mengarah ke arah kantin dan mushola. Suasana masih sepi. 

"Aku jalan ke belakang sebentar ya, Van. Cari angin segar." ijinku pada Revan yang masih berusaha membuat Rafa menangis.

 Dia menatapku sekilas, "Hati-hati ya." ucapnya kemudian.

Aku mengangguk. 

Membuka pintu, aku disambut oleh hawa dingin yang terasa mencekam. Baru aku sadar, cuaca cerah sedang terhalang oleh kabut tebal. Aku merapatkan jaket. Hawa dingin di tengah musim kemarau memang lebih terasa menusuk tulang. 

Caesar kali ini, aku merasa lebih mudah berjalan dan bergerak setelah beberapa jam tindakan. Rasa nyeri tidak begitu menyiksa seperti caesar yang pertama. Mungkin ambang batas sakitku yang terlalu tinggi, atau aku sudah terbiasa. Entahlah.

Aku menarik nafas panjang. Berusaha menghirup banyak udara hingga seolah aku merasakan dinginnya udara menemuhi ruang-ruang di paru-paruku.

"Ya Allah, bolehkah kali ini aku meminta lagi? Anak-anakku butuh Asi. Asi yang bisa cukup untuk keduanya." lirihku. 

Aku menekan dada perlahan. Rasanya aneh. Ada sesak yang menelusup. Tiba-tiba saja ada rindu yang menyeruak. Masuk menguasai perasaanku untuk menemui Reva. Ya, aku sudah menyiapkan sebuah nama untuk anak cantikku yang sampai detik ini belum juga bisa aku temui. Bagaimana wajahnya? Bagaimana kondisinya? 

Revania, nama yang ku dapat dari bahasa sansekerta yang berarti kuat. Semoga menjadi doa baik juga untuknya.

"Gimana, apa dipaksa saja?" tanyaku saat aku sudah masuk kamar.

Kulihat Rafa sudah berada dalam gendongan Mama. Dia tampak menggeliat kecil. 

"Coba di susuin langsung aja, Rin." ucap Mama.

Aku mendekat ke arah Mama. Duduk di sebelahnya. Revan memberi beberapa bantal di pangkuanku. Sedangkan Mama membantu memposisikan Rafa supaya mudah untuk menyusu. 

Menit dan detik berlalu. Tapi lagi-lagi usaha kami belum menemukan hasil. Meski sudah ku paksa, tetap sama. Mulutnya menutup. Dia kembali tertidur di pangkuanku. 

Sedikit frustasi rasanya. Tapi ini baru permulaan bukan? Menjadi seorang Ibu butuh usaha yang lebih panjang lagi. Lebih kuat dari pada ini.

Pintu di ketuk pelan dari luar. Kami bertiga menoleh serentak ke arah pintu. Dengan segera aku merapatkan kemeja yang sedikit terbuka.

"Pagi, Ibu Arini.. " seorang perawat datang. Lagi-lagi ku lihat alat tensimeter di tangannya.

Aku berdiri. Menyerahkan dulu Rafa dalam pangkuan Mama, lalu menuju tempat tidur dan duduk disana.

Lihat selengkapnya