Sang Buah Hati

Rina dwi apriliana
Chapter #24

Tekad

"Gimana ini, Van? Bahkan udah dua jam lebih aku mompa. Dapetnya cuma sigini." suaraku sedikit bergetar. Ku angkat botol yang sedari tadi aku genggam. Yang dalam detik demi detiknya ku amati tiap tetes yang masuk kedalamnya.

Botol kutekan kuat setelah ku letakkan. Rasanya teramat frustasi. Ada sebuah keharusan tapi tidak mampu ku lakukan. Sedikit merutuki diri sendiri. Siapa yang salah? Aku? Atau keadaan yang tidak berpihak kepadaku?

Jika kalian merasa usahaku kurang. Aku sudah mencoba melakukan banyak hal. Minum Booster Asi berbagai merk. Makan sayuran apapun. Bahkan ketika kurasa rasanya aneh sekalipun, tetap akan ku telan dan habiskan. Pijat laktasi yang di lakukan oleh tenaga profesional juga sudah ku lakukan. Demi siapa? Mereka. Anak-anakku.

Sudah sedari keluar dari ruang Nicu, aku berusaha memompa Asiku. Tapi hasilnya tetap kurang. Asi yang ku perah dengan waktu lebih dari dua jam, hanya mendapatkan tidak lebih dari 50 ml. Aku kalut. Lalu, apa yang harus aku lakukan? Sedangkan dua-duanya benar-benar membutuhkannya. Ah, ya. Terutama Reva. 

Pikiranku berputar-putar tentang kalimat yang seolah ku dengar secara berulang. 

Asiku harus berlebih. Aku harus menyerahkan Asi perah minimal 60ml setiap tiga jam sekali. 

Aku menekan kepalaku. Mencengkeram kuat dengan sebak yang sudah di iringi dengan air mata. 

"Sayang..." 

Revan sepertinya belum mampu mengolah kata untuk menenangkanku. Karena memang kenyataannya serumit itu. Dia hanya meraih tanganku. Meremas sesaat, seolah ingin memberi kekuatan lebih. 

Pihak Rumah Sakit memang memperbolehkan penggunaan susu formula di saat kondisi sang Ibu tidak memungkinkan untuk memberi Asi. Dan sejauh ini, ditengah usahaku memenuhi Asi mereka, Rafa sudah beberapa kali di bantu dengan susu formula untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan Reva, dokter masih menyarankan untuk memberikan Asi. Terlebih dengan kondisinya yang selalu naik turun tiap menit, dokter sangat menyarankan pemberian Asi untuk menunjang kondisinya.

"Gimana kalau kita cari donor Asi, Rin?" 

Aku mengangkat wajah dan memandang Revan yang duduk di depanku. Kata-katanya seolah air segar di tengah kerongkongan yang terasa kering. Ku usap air mata yang berhamburan. Lalu menoleh ke arah sisi yang lain. Mama juga memandangku lekat. Kami bertiga saling menggenggam setelahnya.

Baiklah. Baiklah jika harus lebih kuat lagi untukku berjuang mengejar pelangi. Akan kulakukan itu. Dan tidak akan menyerah, sekalipun dipaksa untuk berhenti.

Aku mulai mengetik beberapa kata dalam ponselku. Membuat story WhatsApp dengan informasi butuh donor asi untuk bayi perempuan. Ya, ku fokuskan ini untuk Reva.

Segala bentuk informasi datang di beberapa menit setelahnya. Ponselku bergetar secara berulang.

(Rin, kenapa?)

(Rin, are you okey?)

(Rin, ada apa?)

(Kamu di rumah sakit mana, Rin?)

(Rin, kenapa sampai begini?)

Aku membuka satu persatu pesan yang masuk. Tapi tidak semuanya bisa ku balas dalam waktu bersamaan. Aku sedang tidak bisa bercerita banyak. Aku hanya ingin mendapatkan informasi valid dan memang ku butuhkan saja.

Hinga akhirnya, aku membuka pesan dari Dita. Ya, Dita. Teman baikku itu kebetulan berada di Jakarta karena ada acara di keluarga suaminya. Andaikan tidak, sudah kupastikan dia akan menyusulku kesini dan ikut memberikan kekuatan untukku. Ikut menyumbangkan solusi ketika aku tidak bisa berfikir.

( Rin, Sesilia juga punya bayi. Seingatku bayinya sama. Perempuan. Apa perlu aku hubungi dia?)

Punggung kuangkat tegak. Sepertinya ada harapan.

(Boleh, tolong minta nomernya ya.) 

Ketikku cepat. Dan tidak berselang lama, aku mendapatkan pesan baru dari nomor yang tidak ku kenal.

(Hai, Rin. Kebetulan aku punya banyak stok Asi perah. Kirim alamat, aku kirim secepatnya. Sesilia.)

Lihat selengkapnya