Hari demi hari berlalu terasa menjadi lebih cepat. Kegiatan yang sama, yang kami lakukan tiap harinya, sudah menjadi sebuah kebiasaan. Ya, akhirnya kebiasaan itu terasa ringan sekali untuk di lakukan.
Aku yang bolak-balik ke rumah sakit tiap tiga jam sekali untuk memberi Asi Reva. Mama yang selama 24 jam membantuku mengurus Rafa. Dan Revan yang kesana-kemari mengantarku, dan memenuhi segala keperluan yang kami butuhkan di sini.
Untuk pengeluaran, jangan ditanya. Tabungan yang kami siapkan jelas saja semakin menipis. Tapi apa mungkin kami menyalahkan keadaan? Tidak ada gunanya bukan?
Pada akhirnya, aku bisa terbiasa. Tidak ada lagi keluh. Tidak ada lagi sendu. Yang ada justru semangat yang terus tumbuh untuk Reva.
Dan hari ini, tepat enam belas hari kami disini, kabar baik itu datang. Reva di perbolehkan pulang siang nanti.
Takjub, syukur, bahagia, semuanya hadir menyatu dalam perasaanku.
"Ma, tolong siapkan keperluan Rafa ya. Aku dan Revan ke rumah sakit sekarang."
Mama mengangguk. Rafa sudah ada dalam gendongannya. Ku siapkan juga satu botol berukuran 120 ml berisikan Asi perah. Ku perkirakan itu cukup. Karena biasanya saja, ketika aku meninggalkannya selama hampir satu atau dua jam untuk membesuk Reva, Rafa hanya menghabiskan satu botol itu sampai aku kembali. Jikalau kurangpun, Mama akan memberikan susu formula untuknya.
Apalagi sekarang, menurutku aku hanya akan sebentar. Menjemput Reva, sang pejuang kecilku untuk pulang. Lalu, kami akan pulang bersama dengan suka cita.
"Aku sudah ngehubungi Mas Beni, Rin. Mungkin sekitar satu jam lagi dia sampai. Aku bilang suruh tunggu di kostan saja."
Aku mengangguk. Revan begitu cepat bertindak daripada aku memang. Dan itu menjadi salah satu hal yang ku syukuri.
Mas Beni, memang beberapa kali datang menjenguk kami. Jadi dia tahu betul dimana kami tinggal selama disini.
Aku dan Revan duduk di kursi besi di depan ruang Nicu. Beberapa perawat nantinya akan memanggil kami saat jam besuk untukku sudah tiba. Terlebih, di dalam masih ada beberapa orangtua para bayi pejuang. Kami tidak di perbolehkan masuk secara bersamaan.
"Atas nama Ibu Arini?"
Aku dan Revan berdiri hampir bersamaan dan mendekat ke ambang pintu.
"Bapak, bisa urus semua biaya administrasi di ruang depan ya."
Diserahkannya beberapa lembar kertas kepada Revan. Sedikit aku melirik, ada beberapa deretan angka yang tertulis disana.
"Mari Ibu, ikut saya untuk mempersiapkan si adek."
Aku mengangguk cepat.
Revan sudah berjalan menjauh menuju ruang administrasi. Sedangkan aku, masuk Nicu dengan dada yang berdebar. Bahagia yang membuncah. Bahkan rasa tak sabar membuatku lupa untuk mengganti sandal yang kupakai dengan sandal khusus.
"Eh, maaf, Sus." kataku dan kembali keluar.
Aku mencuci tangan seperti biasa. Dan masuk mengekor perawat tadi. Dalam box yang biasa aku lihat, Reva sudah di bedong rapi. Selang-selang yang menempel di tubuhnya sudah tidak ada.
Aku memandangnya dengan senyum. Ku usap lembut pipinya yang sedikit berisi dari sebelumnya. Bekas plester selang yang tadinya menempel di pipinya, masih terasa kasar dan memerah. Melihat itu, membuat dadaku ngilu. Kasihan.
"Di cek kembali ya, Ibu. Barang-barang adek yang mana saja. Ini sudah semua, Bu?"
Di serahkan juga satu tas besar berisi peralatan bayi. Di depan tas, ada kertas yang di tempel bertuliskan namaku.
"Oh, sudah, Sus. Boleh saya gendong anak saya?"