Hari-hari kulalui dengan banyak pertanyaan. Hampir satu bulan, sudah beberapa kali aku mencoba membawa Reva ke dokter karena tangisannya itu, tapi berulang kali juga dokter berkata semua baik-baik saja. Lalu bagaimana lagi?
Akhirnya aku harus mengambil tindakan. Berat memang, tapi aku tidak punya pilihan. Membiarkan Reva di sini, sama saja menghambat proses untuk mencari tahu sebenarnya apa yang terjadi dengan dirinya. Walaupun beberapa dokter tidak mengatakan apapun perihal ada sesuatu yang tidak beres dengannya, tapi hatiku berkata berbeda. Dan rasanya begitu tidak nyaman.
Bagaimana mungkin seorang bayi yang seringkali menangis dalam waktu yang lama, beberapa bagian tubuhnya yang kurasa kaku, dan sorot matanya bagiku tidak wajar, dikatakan baik-baik saja?
Bisa jadi dia merasakan sakit, atau rasa tidak nyaman dalam tubuhnya, kan? Hanya saja kita tidak bisa memahaminya. Dia terlihat baik-baik saja saat tenang. Tapi saat tangisnya datang, pandanganmu akan berbeda.
"Nggak papa, Ibu baik-baik saja. Kalaupun kamu mau berangkat ke Jakarta bareng suamimu besok. Berangkat saja, Nak." Ibu mengusap pelan punggungku. Membuatku semakin kalut.
"Gimana dengan Ibu? Siapa yang bakal ngingetin Ibu minum obat? Masakin makanan?"
"Arini.."
Ibu meraih jemari yang kuremas sedari tadi. Pikiranku kacau. Memikirkan Reva saja sudah cukup menyita perhatianku, di tambah harus memikirkan meninggalkan Ibu lagi. Disaat beliau sudah terlihat sehat dan bahagia bersama cucu-cucunya hampir satu bulan terakhir.
"Ibu baik-baik saja. Ada Indi dan Beni di sini yang bakalan jagain Ibu. Kamu juga bisa telepon setiap waktu, kan?" seulas senyum terukir di bibirnya.
"Rin, saat sudah menikah, tanggung jawab utamamu bukan lagi kepada Ibu. Ada suami, juga anak-anakmu yang lebih penting. Ibu tidak mengharuskan kamu memilih, hanya memintamu memprioritaskan mana yang lebih penting." suara tenang Ibu mengalun pelan dan aku terpaku.
"Lagipula, kalaupun nantinya Reva benar-benar sehat, kamu bisa pulang sesukamu, kan?"
Aku menggigit bibir. Rasanya berat. Ingin memilih, tapi aku seolah terhimpit dan tidak bisa bergerak.
"Pokoknya Ibu harus sehat terus ya." suaraku mulai bergetar.
"Pasti dong."
"Obatnya jangan lupa. Makannya di jaga. Ibu harus sehat."
"Iya, Nak. Pergilah dengan keyakinan, bahwa semua akan baik-baik saja. Sekarang, Reva lebih butuh di utamakan. Jangan di rasa berat. Ibu ini baik-baik saja."
Aku menghambur dalam pelukan Ibu. Teringat kembali ketika seminggu setelah ijab kabul, dan aku harus berangkat ke Jakarta. Waktu itu, dikamar yang sama, akupun juga merasa berat. Tapi lagi-lagi Ibu juga meyakinkan. Lalu, beberapa bulan berikutnya, Ibu sakit.
Awalnya, saat lebaran pertama aku pulang, aku tahu tekanan darah Ibu sering tinggi. Sering merasa pusing. Lalu, beberapa bulan setelahnya, aku mendapat kabar Ibu sroke ringan. Beberapa kali ku lakukan perjalanan pulang pergi dengan jarak yang tidak dekat. Hingga membuatku memutuskan kembali lagi ke sini beberapa bulan lalu saat mengandung Arvan.
Lalu sekarang, ketika kulihat Ibu tetamat sehat, aku harus pergi lagi. Rasa trauma masa lalu, seolah berkelibat berulang di pelupuk mata. Dan berusaha kuat ku enyahkan.
Andaikan saja di kota ini ada fasilitas kesehatan yang memadai, aku tidak akan sebingung ini.
"Arin akan sering pulang ya, Bu."
"Iya. Yang penting cucu-cucu Ibu sehat dulu."