Sang Buah Hati

Rina dwi apriliana
Chapter #27

Gemuruh

Lima hari di Jakarta, Reva demam. Tangisnya melengking lagi. Sulit untuk ditenangkan kembali. Bahkan semakin rewel dari biasanya.

Lelah. Aku dan Revan segera membawanya ke UGD. Sedangkan Rafa, bersama Mama di rumah.

Lagi-lagi bayi kecil itu harus merasakan tusukan jarum beberapa kali di tubuhnya, hingga akhirnya selang infus bisa terpasang.

Menangis? Pasti. Tapi kali ini tidak selama yang seringkali terjadi.

"Apa ada keluhan lain selain demam, Bu?" seorang perawat paruh baya mendekat, aku menggeleng dengan hati yang perih.

"Kita tunggu dokter visit beberapa jam lagi ya. Sekarang kita tunggu urusan administrasi selesai, dan adik Reva bisa di bawa ke kamar rawat inap."

Aku dan Revan mengangguk lemah. Sebenarnya, kembali harus berkutat dengan serangkaian pemeriksaan, membuat aku merasa jengah.

Diruang kamar berkapasitas dua orang, di sebelah brankar tempat Reva tidur dan menunggu dokter datang, aku mencoba memompa Asiku untuk Rafa di rumah. Dan hasilnya benar-benar menurun. Tapi kali ini, aku bisa menerima. Aku hanya manusia, ketika pikiran kurasa benar-benar berat, mempertahankan produksi Asi memang ku rasa susah. Mengenyahkan segala bentuk rasa frustasi juga tidak semudah itu.

Beberapa hari ke belakang, Rafa memang lebih banyak minum susu formula ketimbang Asi. Hanya Reva yang masih menempel kepadaku. 

Hatiku sedikit berisik. Ada rasa iba untuk Rafa, tapi tidak berdaya. 

Ku sudahi semuanya. Menyimpan alat pompa dalam cooler box yang selalu aku bawa kemanapun. Lalu menyimpan juga hasil pompa yang hanya mencapai 60ml kedalamnya.

"Siang, Ibu." 

Suara renyah mengalun lembut. Aku yang duduk di kursi besi sebelah tempat tidur Reva tergagap dan segera berdiri.

Seorang Dokter laki-laki yang ku perkirakan berumur empat puluh tahun, datang bersama seorang perawat di belakangnya. 

Aku memberi ruang kepadanya untuk memeriksa Reva.

"Hanya demam ya, Bu?" stetoskop mulai menyentuh dada Reva. 

"Dok, tapi dia sering menangis tanpa sebab. Dan itu berlangsung lama. Bahkan beberapa kali saya merasa tangan dan kakinya kaku."

"Oh ya?"

"Dan kenapa ya, Dok? Bola matanya selalu memandang keatas?"

"Baik, sebentar ya, Bu."

Sang dokter memeriksa mata Reva yang tertidur lelap. Kemudian, diapun dibantu perawat mengangkat Reva. Reva terbangun hanya menggeliat. Kabar baiknya, kali ini dia tidak menangis, juga tidak merespon apapun. Hanya diam dan seolah memperhatikan.

Di posisikan Reva setengah duduk dengan di sangga sang perawat. Dan sang dokter mencoba menggerakkan kepala Reva mendongak dan menunduk secara berulang. Kemudian beralih ke kaki juga tangan.

Aku diam di tempatku memperhatikan. Dalam waktu yang bersamaan, Revan datang. Entah dari mana dia sedari tadi. Membuatku menoleh sesaat, lalu beralih menatap Reva lagi.

"Ibu.." 

Terhenti. Sang dokter kembali menekan beberapa bagian tubuh Reva lagi sebelum melanjutkan ucapannya. Membuatku merasa debar yang tidak beraturan. Ku remas jari-jariku yang mulai sedikit basah.

"Kalau dari pemeriksaan saya, tengkuk lehernya memang kaku. Dan yang seperti ini, adalah gejala khas dari miningitis. Nanti akan kami buatkan rujukan ke RSUP Fatmawati untuk Ct Scan dan EEG ya." 

Aku membelalak. Hampir tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Apakah separah itu?

"Saya berikan obat kejang dan demam. Biasanya, pasien miningitis akan kejang berulang. Dan itu berbahaya. Dan dari kejang itu yang biasanya, menjadi penyebab badan kaku." 

Lihat selengkapnya