Sang Buah Hati

Rina dwi apriliana
Chapter #29

Tumbuh

Hari demi hari, berlalu dengan tuntutan harus selalu mau untuk maju. Bukan berhenti di tempat dan meratapi.

Ya, setelah diagnosis dokter, ku habiskan semua amarahku kepada Tuhan melalui air mata. Setiap memandang Reva, ada rasa sakit yang tidak bisa ku jelaskan dengan kata-kata.

Hampir tiap hari aku menangis. Bahkan tidak pernah rasanya air mataku kering di setiap sujud yang ku lakukan. Setiap aku mengadu, sesak itu selalu muncul tanpa bisa ku tahan.

Mama, sudah ku ceritakan semuanya. Sabar. Hanya itu yang terucap. Satu kata yang bagiku tidak bermakna apa-apa. Entahlah. Mungkin aku belum bisa mengontrol diri.

Tapi entah mengapa, aku merasa sikap Mama terhadap Reva dan Rafa itu berbeda. Sulit untuk di jelaskan. Bahkan Revanpun berkata semua hanya perasaanku saja. Tapi sebagai Ibu, aku bisa merasakannya.

Pernah di suatu malam, aku yang masih sibuk menyuap makan Rafa, kebingungan. Kala itu, tiba-tiba saja Reva yang tadinya tidur di kamar, terdengar menangis kencang. Sedangkan aku tahu, Revan belum pulang kerja dan Mama pamit ke warung depan.

Aku mencoba berdiri, tapi Rafa menolak pergerakanku dan menjadi rewel. Kakinya menendang-nendang saat aku mencoba menggendongnya untuk menghampiri Reva.

"Kenapa, Rin?"

Mama tergopoh datang dari arah depan. Aku menarik nafas lega.

"Ma, tolong gendong Reva, Ma. Reva nangis di kamar. Arin juga lupa nggak ngasih bantal di pinggiran kasur. Takut Reva jatuh." terangku masih sambil menenangkan Rafa yang menendang-nendang, menangis, menjerit, hingga melempar mainan yang di bawanya.

"Ga papalah, Rin. Reva juga nggak bisa guling-guling. Nggak mungkinlah dia sampai ke pinggir."

Pelan. Tapi kurasakan mampu menusuk hati. Nyeri rasanya.

Tidak ada yang salah dengan perkataan Mama memang. Tapi mendengar kalimat meremehkan itu keluar darinya, rasanya seolah hatiku tercubit kecil.

"Arin masih nyuapin Rafa ini, Ma. Kasihan Reva. Udah dari tadi nangisnya. Rafa juga nggak mau Arin tinggal." pintaku.

Rafa masih duduk di pangkuanku. Sedikit tenang dengan memainkan sendok dan mangkok bekas makanan. Wajahnya penuh dengan sisa bubur tuna yang ku masak untuknya siang tadi.

Ya, hanya untuknya. Karena Reva belum mendapat ijin makan walau umurnya sudah lewat enam bulan. Ada susu khusus yang harus dia minum untuk menggantikan makan.

Sampai terapis mengijinkan Reva makan, dia akan mulai di evaluasi lagi untuk makan. Karena memang dia mempunyai kendala untuk menelan. Beberapa kali dia tersedak saat aku mencoba memberinya makan bulan lalu.

"Ma..."

"Eh, iya?" Mama tergagap.

"Reva, Ma. Masih nangis dia."

Mama diam sejenak. Selangkah menuju kamar, lalu kembali ke tempatku duduk.

Lihat selengkapnya