Sang Buah Hati

Rina dwi apriliana
Chapter #30

Sebuah Hati

Dua tahun sudah berlalu.

Rafa, sudah sangat cerewet dan aktif. Semakin banyak hal yang membuat kami takjub dengan tingkahnya. Kosa kata yang mampu dia ucapkan sudah banyak. Bahkan dia sudah bisamerangkai beberapa kata menjadi sebuah kalimat pendek. Juga menyanyikan sebuah lagu anak-anak dengan cukup lancar. Berulang kali dia meminta untuk sekolah. Dan berulang kali juga aku memberikan alasan penundaan untuknya.

Dia masih dua tahun lebih. Menurutku terlalu dini untuknya jika harus di masukkan ke taman bermain. Walaupun aku tahu, ada sekolah khusus untuk anak seusianya, tapi kurasa waktunya belum tepat.

"Biar nanti Arin cari-cari permainan yang menarik sajalah, Ma. Banyak kok kegiatan yang bisa di lakukan dirumah. Sekalian untuk melatih motorik halusnya dia. Kayaknya dia cuman lagi bosen aja di rumah." ucapku.

Mama yang begitu menyayangi Rafa memang selalu ingin meloloskan semua permintaannya. Termasuk menyuruhku memasukkannya ke sebuah sekolah khusus anak usia dini dengan biaya yang tidak sedikit.

Mungkin Mama kurang peka. Bahwa tabungan yang aku dan Revan kumpulkan tidak pernah bertambah banyak. Karena berbagai kebutuhan terapi juga pengobatan Reva. Apalagi aku masih belum bisa bekerja lagi, karena masih fokus untuk mengejar keterlambatan Reva.

Jadi, Selagi masih bisa di tunda, mengapa harus terburu-buru, kan?

"Ah, iya. Pasti dia bosen di rumah main sendiri." ada helaan nafas Mama yang kudengar.

"Harusnya sih nggak sendiri ya, Ma. Ada Reva." 

"Tapi Reva juga belum bisa di ajak lari-larian. Anak seumuran dia lagi seneng-senengnya lari, Rin. Lihat tuh, cucu Oma aktif sekali. Pinter."

Aku diam saja. Hanya pandanganku yang akhirnya mengikuti arah telunjuk Mama. Rafa asyik sekali berlari ke sana kemari. Sesekali melompat di dalam trampolin. Kemudian beralih berseluncur dengan tertawa riang. Mulutnya sesekali menirukan lagu balonku yang sering kami putar di rumah. Lalu,memanggilku juga Mama untuk mendengarkan nyanyiannya.

 Sedangkan Reva, duduk memainkan bola bersama Revan. Dia berusaha sekali untuk mengambil dan menggenggam beberapa bola yang di letakkan ayahnya di hadapannya. Walau sesekali bola kecil yang di ambilnya terjatuh. Tapi dia tetap tertawa. Reva memang masih kesulitan menjimpit benda-benda kecil. Benda yang di genggamnya saja, seringkali jatuh. 

"Rafa lincah banget ya, Rin."

Tatapan Mama lurus kedepan. Binar matanya penuh rasa bangga. Antusias yang di berikan menanggapi tingkah Rafa memang belum pernah aku lihat tertuju kepada Reva.

Aku mendesah pelan. Akhirnya aku terbiasa. Mama yang selalu lebih terlihat sayang berlebih kepada Rafa, ku anggap karena memang terlalu sering bersamanya. 

Lalu, Mama yang selalu membandingkan Rafa dengan Reva, ku anggap itu tanpa kesengajaan. 

Aku masih memperhatikan dua buah hatiku yang bermain di hamparan taman di tengah kota. Revaku tumbuh menjadi anak yang cantik dan ramah. Sekilas, saat melihat dia berpose di dalam foto, orang tidak akan mengira dirinya mengidap cerebral palsy. Hanya saja, saat bertemu. Tanda-tanda itu akan nampak.

 Memang benar, dusianya yang ke dua tahun, dia masih belum bisa berjalan. Tapi sekarang, dia bisa bergerak kesana kemari dengan beringsut-ingsut secara perlahan. Dan gerakannya terlihat lebih lincah dari biasanya. Hanya saja, kepalanya masih sering meneleng di satu sisi. Terkadang juga mendongak di tiap gerakannya. Tapi dia sudah mampu berucap satu atau dua patah kata dengan terbata untuk mengutarakan maksudnya. Harusnya aku bersyukur akan hal itu, kan?

Aku menekan dadaku perlahan. Diam-diam menghela nafas. Tiba-tiba saja aku merindukan Ibu.

Ibu yang begitu sayang keduanya tanpa beda. Ibu yang seolah menerima Reva tanpa memandang bagaimana keadaannya. 

Andai aku tidak mengejar jadwal fisioterapi Reva yang dilakukan setiap tiga kali dalan seminggu tanpa jeda, aku akan memilih pulang bersama Ibu.

Tapi bagiku, kondisi Reva harus di perjuangkan. Dia harus bisa mengejar semua keterlambatannya sebelum usianya tiga tahun.

"Nggak papa ya, Bu. Arin cuma bisa pulang setiap lebaran aja." selalu itu yang ku ucapkan.

Dan Ibu selalu tersenyum. Teduh sekali. Kemudian akan menenangkan semua kegelisahan yang kurasakan.

Ah, Bu. Arin rindu.

Lihat selengkapnya