Pov Mama.
Pagi di kota Bekasi. Arini kudengar masih sibuk memandikan Rafa dan Reva secara bergantian. Dia terlihat keluar masuk kamar mandi dengan menggendong mereka satu per satu menuju kamarnya. Rafa memang sudah bisa berjalan, tapi dia selalu saja berlari setiap keluar kamar mandi. Hingga membuatnya berkali-kali terpeleset. Akhirnya Arini akan selalu menggendongnya setiap sehabis mandi.
Sedangkan aku, masih berkutat di depan kompor. Sesekali aku harus bergerak ke arah kulkas untuk mengambil sesuatu yang tertinggal. Namanya sudah umur, aku memang sering lupa. Ketika kulkas aku buka, aku akan diam sejenak memikirkan apa yang mau aku tuju. Dan akhirnya akan membuang banyak waktuku untuk menyelesaikan pekerjaanku.
Hari ini, aku berencana memasak sayur bayam dan ayam goreng. Semua itu kesukaan Rafa. Cucu kesayanganku. Dia bahkan sering minta tambah kalau menu ini di sajikan.
"Masak apa, Ma?" Revan datang dari arah depan. Bermaksud menyomot tempe goreng yang baru saja kuangkat dari atas penggorengan.
Tangannya terulur, dan kutampik pelan.
"Duh, cuci tangan dulu sana lo."
"Udah bersih, Ma."
Kedua tangannya di angkat keudara. Menampilkan telapak tangan yang sedikit basah.
"Tadi habis siram tanaman."
Senyumnya merekah, matanya menyipit di balik kacamatanya yang tebal. Kembali dia mengambil tempe yang tadinya urung dilakukan. Aku hanya menggeleng pelan melihat tingkahnya.
"Ayah sama anak sama saja." gerutuku.
Bagiku, Rafa memang mewarisi sifat usil dan susah di atur Revan.
"Namanya juga anaknya, Ma. Haha.."
Revan berlalu. Bayangannya hilang di pintu depan. Aku tersenyum sejenak. Teringat di masa kecilnya, Revan juga sama lincahnya dengan Rafa. Suka berlarian kesana kemari dan bernyanyi. Sedikit susah di atur dan sering membuatku marah saat semua perintahku dia abaikan.
"Ma, Arin ke warung depan dulu ya. Sabun cuci habis. Anak-anak sudah mandi semua."
Sedikit berteriak Arini keluar dari kamar dan tergesa menuju depan.
"Unda..unda.. Itut.." Rafa mengekor. Merengek sambil menarik baju Arini. Aku hanya memperhatikan dan tersenyum kecil.
"Nitip garam ya, Rin." aku mengeraskan suara karena Arini sudah berada di ambang pintu depan.
"Iya, Ma."
Arini berhenti sebentar di depan teras. Memberikan Rafa untuk di gendong Revan yang ku lihat berdiri di teras depan lurus dari pintu masuk. Sehingga aku masih bisa melihat mereka.
"Nitip juga Reva di kamar ya, Sayang."
Sayup aku mendengar teriakan Arini.
Ah, Reva. Cucuku yang ini, memang tidak terlalu dekat denganku. Revan pernah memintaku bersikap lebih hangat kepada Reva. Tapi, akupun bingung, apakah aku terlihat membedakan keduanya? Kurasa tidak. Tapi memang kami tidak sedekat itu. Entahlah.
Rafa, sudah sedari bayi waktunya lebih banyak denganku. Jadi, kurasa wajar jika kami lebih dekat. Sedangkan Reva, terlalu sering bersama Arini. Hari-harinya juga lebih banyak di habiskan di rumah sakit, juga ke berbagai pengobatan alternatif untuk terapi. Bukan berarti aku membencinya. Tidak. Hanya saja kedekatan itu belum tumbuh di antara kami.