Aku berulang kali mematut diriku di depan cermin. Selain makeup yang sudah ku poleskan sedari tadi, Ini sudah ke tiga kalinya aku mengganti jilbab yang kurasa tidak sesuai dengan baju yang ku kenakan.
"Ayo dong. Keburu telat." Revan berteriak dari depan kamar. Membuat pergerakanku semakin cepat dalam mempersiapkan diri.
"Emangnya Mama sudah siap? Coba tanya Mama gih." ucapku saat sudah berdiri di sampingnya.
Revan menepuk kening. "Duh, kenapa para wanita begitu lama sih saat berdandan?"
Dia berjalan gusar ke arah kamar Mama. Mulutnya tidak hentinya menggerutu dengan sesekali menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Aku hanya tersenyum kecil, lalu masuk kembali kedalam kamar untuk melanjutkan aktivitasku yang kurang sedikit lagi rampung.
"Ayok. Aku siap." kataku dan berjalan anggun menuju ruang tamu.
Revan masih sibuk mengetuk pintu kamar Mama. Tapi Mama masih belum juga keluar. Mungkin dia lelah. Akhirnya dia duduk di sebelahku dan diam. Tangannya bersedekap dengan muka di tekuk. Sangat tidak menyenangkan.
"Ini kalau kena macet kita telat deh nyampe sana."
Lagi-lagi dia menggerutu. Aku hanya tersenyum saja melihatnya. Sebenarnya, masih ada waktu satu jam lagi. Hanya saja Revan tidak tahu akan hal itu.
Untuk mengantisipasi bangunnya yang kesiangan karena memang ini hari libur, aku mengatakan kepadanya bahwa acara akan di mulai pukul delapan. Tapi sebenarnya, pukul sembilan lewat juga masih bisa kekejar melihat penampilan anak-anak.
"Ayok."
Suara sandal kayu yang dikenakan Mama membuatku dan Revan menoleh. Suaranya membahana memenuhi ruang.
"Ma, ini cuma acara pentas seni anak TK, loh. Nggak berlebihan?" Revan meraup mukanya kasar. Matanya menatap Mama naik dan turun.
"Berlebihan gimana? Masak pake sandal tinggi aja dibilang berlebihan? Biar semua orang tahu, cucu-cucuku punya nenek yang gaul."
Dada Mama membusung. Aku tersenyum geli.
"Lagian sesuai sih. Gamis yang panjang gini, kalau nggak dikasih sandal tinggi pasti jadi nyeret. Malah kawatir keinjek. Ini udah cocok sih." aku membela.
"Tapi rasanya aneh deh. Biasa juga Mama pakai celana kulot panjang."
"Sudah, ayok ah."
Segera aku menggandeng lengan Mama dan bergegas menuju mobil.
Ya, mobil yang akhirnya bisa kita beli justru di saat masa terapi Reva sudah berakhir.
Sempat berfikir, mengapa tidak sedari dulu Allah memberikan rejeki lebih kepada kami untuk membeli sebuah mobil. Di setiap terapi, Reva harus bolak balik menahan dinginnya hujan dan angin, juga teriknya matahari di setiap perjalanan kami.
Tidak apa. Mungkin saja Tuhan ingin melihat bagaimana usaha lebih kami saat ujian itu kami dapati, kan?
Mobil yang di kendarai Revan melaju pelan. Membelah kemacetan kota yang tidak pernah sepi kurasa.