Puluhan tahun aku ditinggal olehmu. Puluhan waktu juga aku tidak bersama denganmu. Tahukah kamu, waktu sudah menjadi satu-satunya hal yang tidak bisa ditebak hasilnya. Hanya saja ada hal yang membuat keyakinan ini bertambah, kalau apapun yang di dapatkan dari hari ini adalah hasil dari waktu kemarin. Itu adalah hasil yang sudah sangat pasti dan akan terjadi. Sayang, kamu tahu juga kan kalau aku selalu ingat saat kamu menangis sambil mengendong anak kita di hadapanku saat kembali ke Indonesia. Padahal aku sendiri juga menangis saat aku tidak bisa berlari memelukmu.
Aku hanya bisa berbaring kemarin, pikirnya. Dia terdiam sejenak sambil menarik napas panjang. Jadi wajarkah, bila aku bilang kalau beberapa puluh tahun setelah masa Reformasi yang terjadi di Indonesia telah membuat kehidupanku berbeda. Dia juga masih ingat ketika aku berteriak bersama para rekanku sesama anggota kepolisian. Mereka berputar-putar, meluncur ke bawah, turun dari jembatan hingga berlarian kesana kemari mengejar para mahasiswa yang turun malam ini. Seperti dugaan kami, mereka adalah massa yang sudah datang dari pagi, bertahan di siang hari dan malam.
Mereka adalah elang-elang dalam wujud manusia dan pemimpin mereka adalah aku, yang tercipta dari penjelmaan ganda, sebuah hal yang mungkin bisa diasumsikan hilang sekaligus ditemukan. Manusia sekaligus burung pemangsa yang paling muda tapi terasa menua sebelum waktunya. Lalu bila dia muncul, dia tetap memilih tidak terlihat. Karena dia tidak ragu melakukan penyiksaan, meskipun ini lebih seperti dorongan sesaat ketimbang dari kecenderungan tertentu yang dimilikinya. Kematian hanya awal, itulah sebabnya dia tidak pernah terendus sekian lama. Dia bisa seakan membuat satu pembunuhan yang bisa bertahan selama bertahun-tahun.
Walaupun terkadang dia sendiri merasa kehidupan ini masih terus berjalan begitu-begitu saja. Meskipun tidak sama dengan kemarin tapi juga tidak buruk dari hari kemarin. Sama seperti diri ini, yang masih terkadang bertanya-tanya siapakah diri ini sebenarnya? Dia menarik napas panjang kembali. Dari dalam tatapannya terlihat sebuah cerita. Belakang punggungnya sudah tercipta ketersediaan dirinya untuk melakukan apapun karena telah memikul penderitaan hingga membuat dirinya berproses bahkan rela ditempa menjadi sesuatu yang baru. Sungguh, dia telah melihat dunia di luar dunia ini sendiri sejak kehilangannya dan semua itu terasa seakan baru terjadi kemarin.
Dia masih mencoba berdamai dengan dirinya sendiri. Maka setelah puluhan tahun itu, kini dia akan mengobarkan perang pada dirinya sendiri. Dia ingin bebas agar bisa keluar dari kawanannya. Namun sayang dari keyakinan itulah dia telah menjadi sebuah kenangan musim hujan yang dingin. Dia tidak pernah mendengar bisikan keraguan yang keluar dari mulutnya bahkan tidak pernah ada sekelebat bayangan. Keheningan dunia tentang kejujuran sedang menunggu diremukkan secara perlahan. Kesempurnaan dari sebuah senyuman menunggu diulangi yang mungkin saja masih bisa diselamatkan. Hingga sebuah kehidupan yang memintanya untuk segera di akhiri. Benar-benar membuat dia sudah menarik napas sesak berulang kali. Dia menyiksa dirinya sendiri.
Siksaan fisik yang ternyata ada batasnya, sebab pada akhirnya tubuh akan mengorbankan jiwa, tetapi penderitaan emosional mampu menciptakan variasi tak terbatas dan pengalihan perhatiaan paling halus pun dapat meneteskan kesengsaraan baru dari lukanya sendiri. Aliran air terdengar deras mengalir dari keran yang terbuka. Awan-awan berjalan perlahan dari balik jendela kamarnya. Memberikan semburat orange dengan birunya langit. Matahari mulai terbit lagi. Sebenarnya sudah begitu lama sejak lelaki bermata sendu mempertimbangkan kemungkinan dirinya akan tertangkap adalah ketidakmungkinan yang bisa terjadi. Sebab lelaki bermata sendu itu, tidak benar-benar ada.
Dia tidak punya teman. Dia hanya memiliki tiga anak yang bernama Kalila Dwijane Adiwongso, Emilia Dwijane Adiwongso dan Syahrial Dewanga Adiwongso. Dia tinggal di Amerika beberapa tahun belakangan ini. Dia baru akan bermukim sesekali di Indonesia kalau para anak menantu dan cucu yang dimiliki dia, benar-benar membutuhkannya bukan sekedar keputusan, seperti hari ini. Karena hari ini dia baru saja kembali dari Amerika. Dalam pesona yang ditampilkannya kepada dunia, lelaki bermata sendu ini adalah bunglon terbalik. Lelaki itu berjalan perlahan dari ranjangnya lalu berusaha meraup tetesan air yang mengalir wajahnya dengan handuk putih yang tergantung di bangku bacanya, setelah dirinya keluar dari kamar mandi. Garis wajahnya terlihat tegas walaupun sudah mengeriput disana sini.
Begitu juga dengan rambutnya yang sudah memutih dengan sempurna. Sambil menggenggam handuk tersebut. Lelaki itu kembali berjalan dan kini dia berdiri di depan jendela. Dia terdiam bersamaan dengan mentari yang baru saja terlihat terbit. Dari kejauhan kedua mata yang kini memiliki kantong mata di sekitar kelopak bawah itu melihat beberapa sangkar burung berwarna hitam yang terbuat dari besi. Jika tidak salah lihat semua sangkar yang tergantung itu berjumlah 10, sepertinya begitu. Karena di umur segini semua sudah mulai terkalahkan. Walaupun ia sudah memiliki ketiga anak yang juga sudah memiliki pasangannya, dan semua pasangan dari ketiga anaknya bisa diandalkan olehnya.
Walaupun terkadang Tomas Wijaya yang menjadi pasangan Kalila terlalu perfeksionis, Sena Abdullah pasangan Emilia yang terkadang terlihat arogan dan Ratunia Srashaisa, pasangan Dewa yang begitu pendiam. Sungguh, memiliki mereka ternyata tidak membuat dirinya bahagia. Karena mereka selalu saja menciptakan drama yang terkadang membuat kepalanya pusing tujuh keliling. Belum lagi kalau mendadak para cucunya, Deffa Siandra, Tata Giona, Anggrek Nugraha dan Ally Jane, juga menciptakan drama. Dunianya sudah seperti di dalam neraka. Namun betapa beruntungnya ia karena giginya masih utuh dengan sempurna kalau tidak, dia tidak akan bisa menikmati makanan favoritnya.
Apalagi kalau bukan ayam panggang dan kambing guling. Burung-burung lovebird dan perkutut yang dipelihara oleh anak-anaknya, terdengar bersuara. Lelaki itu tersenyum. Dia menyukai suara nyanyian dari burung-burung tersebut. Tak berapa lama lelaki itu kembali duduk di ujung ranjangnya. Dia terdiam. Semilir angin yang mencoba menembus jendela kamar, sudah jelas terasa menyapa kulit keriputnya. Dia meringis sesaat. Suara pendingin ruangan yang baru saja dimatikan olehnya juga sudah beberapa menit lalu, ternyata masih saja terdengar berdecit.
Lelaki itu terlihat agak terganggu dengan suara tersebut. Sungguh berisik. Padahal seingetnya, dia sudah bilang pada cucunya yang berdatangan ke kamar ini kemarin. Namun entah mengapa sampai saat ini belum ada yang datang untuk mengganti bahkan memperbaiki AC tersebut. Karena selain mengeluarkan suara. Kadang masih terasa menghembuskan udara dingin padahal sudah dimatikan. Membuat suasana semakin mengharuskan dirinya untuk segera bangun dari tidur. Kini pria itu sudah terduduk di ujung kasur tanpa melakukan apapun dengan menggunakan piyama yang terkancing tidak sesuai runutan lubangnya.
Karena baru dia saja mendobel piyama lainnya di dalamnya, beserta sarung yang melilit di tubuhnya dengan celana panjang piyama yang tidak terlipat melebihi mata kaki. Ditambah selimut besar. Dia sangat tahu, kalau penampilan sudah tidak karuan. Dan dia sama sekali tidak peduli. Karena saat ini pun, dia telah menutupi seluruh tubuhnya sendiri dengan selimut tersebut selama beberapa menit. Namun rasa dingin tetap saja tidak mau pergi. Dia menggigil kedinginan. Delapan puluh tahun, pikirnya. Sedetik kemudian, pria itu menggaruk-garuk dahinya. Dia terlihat sedang berpikir dan dia ragu pada perasaan tentang AC tadi.
Apa belum ya? Desisnya.
Sedetik kemudian dia melirik speaker smarthome di atas meja kerja. Disana juga terpajang fotonya saat masih menggenakan seragam dinas sebagai anggota kepolisian RI bersama sahabatnya, Ricky Ananda dan Kapolres Fabian Syailendra, yang saat itu menjabat dalam kesatuaannya. Dalam foto itu, name tag yang dikenakannya juga masih jelas terbaca. Narendra Adiwongso, itulah nama dari lelaki bermata sendu itu. Dia keturunan asli dari Surabaya yang selalu ditakuti siapapun saat sedang melakukan tugas negara dan bagi siapapun yang mengenalnya.
Bayangkan saja, hanya dengan sekali berbicara saja, semua orang takut dengannya dan mungkin karena itu juga nama ditambahkan ‘Cak’ oleh orang-orang yang memanggilnya. Seperti yang dilakukan oleh dua ajudannya, Bagaskara Tjakra dan Reza Pahlevi. Namun sekali lagi ketika mereka tidak mengetahui Cak Rendra, dia akan memberikan sebuah pesona warna warni selalu membalut kesehariaannya. Yang paling banyak memiliki humor jail. Rambut dan janggut putihnya terlihat sempurna, karena sudah terpangkas rapi. Dia bangga dengan tongkat hitam keemasan miliknya yang selalu dibawa kemana-mana seakan menunjukkan dirinya adalah orang penting. Padahal sebetulnya tidak, dia memang butuh tongkat itu untuk membantunya berjalan.
Dia menyukai suspender merah dan rompi dengan rancangan tak biasa. Terkadang dia bisa hanya mengenakan pakaian wol pada musim hujan dan linen katun pada musim panas. Dengan corak-corak warna warni. Dia mampu memainkan piano dan sangat suka sekali membaca buku. Dia adalah sahabat terbaik dari perpustakaan Nasional Indonesia, anggota dan pengunjung tetap dari komunitas jurnalis serta donatur yang begitu royal. Dia adalah duda yang paling bahagia serta setia pada kenangan akan mendiang istrinya. Karena hanya sampai pada taraf membatasi diri dengan hanya menggoda para janda yang tak begitu kesepiaan, tetapi tidak terlalu terobsesi.
Dia sangat manis. Tetapi tetap saja, di dalam tubuh Cak Rendra ada makhluk busuk yang menggerakkannya, seakan telah menjadikan dirinya wayang. Karena dia ingin mengeluarkan makhluk busuk itu, dia ingin mengungkapkan semua. Sehingga selama puluhan tahun ini, Cak Rendra sama sekali tidak tertarik membicarakan politik maupun agama. Karena untuk saat ini dia hanya akan menganggap serius pada topik-topik remeh dan akibatnya langsung disukai oleh seluruh keluarga besarnya. Kedua matanya kini melirik sebuah terpajang foto Sartika bersama Darla Putri dan Gumelar Fandi yang sedang melakukan acara liputan. Dalam beberapa detik Cak Rendra terdiam sambil menatap foto Sartika. Seketika saja, ada sebuah perasaan yang tidak bisa dijelaskan olehnya.
“Sartika,” serunya tanpa sadar.
Ya.. Seketika saja suara robot hadir di dalam kamarnya dan itu jelas bukan suara yang ia kenali beberapa puluh tahun. Dengan segera ia tersadar dari lamunannya.
“Bagaimana cuaca hari ini?” Tanyanya.
Suhu di kota Jakarta saat ini 29 derajat disertai hujan angin.
Hari ini akan hujan, pikirnya. Dalam sekejap pikirannya langsung menjadi riuh gemuruh. Walaupun ia sendiri tidak pernah peduli dengan hal tersebut. Karena ada saja hal yang membuatnya bisa berpikir apapun. Atau mungkin ini semua karena dia merasa sangat kesepian di usia tersebut. Meskipun atau bahkan terkadang dirinya telah menerima kenyataan usia ini. Entah mengapa dia sendiri masih juga merasa heran bahwa dia terkadang tidak pernah ingat dengan seluruh kalimat apa yang baru saja dikatakan pada siapapun.
Semua dimulai saat umurnya berada di usia 60 tahun kemarin, sejak Jokowi menjadi presiden. Sekarang sudah bertambah 20 tahun lagi umurnya. Semakin sering pula dia bertingkah dengan hal yang kadang tidak pernah terpikirkan olehnya. Karena terkadang ia bisa memikirkan apapun yang hadir di dalam pikirannya. Apa memang, semua orang yang seusia juga merasakan hal yang sama seperti dirinya? Apa semua pensiunan seperti itu? Kehidupanku gimana? Tenanglah, aku punya banyak cucu yang mungkin suatu saat nanti bisa membantuku, Pikirnya kembali. Sedetik kemudian mulutnya mengecap sambil mengelus perut. Kini pria tua itu merasakan lapar.
“Sartika, calling Bagas.”
Menelepon Bagaskara Tjakra.
Sambungan telepon langsung terhubung.
“Hallo, Cak?”
Suara Bagas langsung terdengar dari Sartika speaker.