"Mbaknya datang sama siapa?" tanya Pak Barja, seorang Perangkat Desa yang menyambut kedatangan Tim Arkeolog.
Rani terkejut. Dia tak bisa langsung menjawab. Tatapan matanya heran pada sosok lelaki tua kurus berkumis yang baru saja menyalaminya.
Wajah Pak Barja yang serius membuat Rani sedikit ketakutan. Sedetik kemudian wajah lelaki itu berubah ramah dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Pak Barja tertawa.
"Hahaha ... tentu saja datang bersama teman ya, Mbak," kelakar Pak Barja.
Rani baru sadar Pak Barja hanya bercanda. Dia pun ikut tertawa.
"Ah Bapak, bisa saja," ujar Rani.
Pak Barja tersenyum, lalu mempersilakan Tim Arkeolog menuju rumahnya.
"Mari Mas, Mbak, saya antar ke rumah. Kalian bisa menginap di sana," ajak Pak Barja.
Rani dan temannya mengikuti langkah Pak Barja. Tatapan tajam Pak Barja pada Sahl tertangkap netra Rani. Entah apa yang ada dalam pikiran sang Perangkat Desa itu. Tatapan tak suka? Atau penasaran?
Setelah melewati jalan utama yang beraspal, mobil yang dikemudikan pak Fadli masuk ke sebuah gang dengan jalanan yang masih berbatu. Dua kali tanjakan dan turunan barulah sampai di rumah Pak Barja. Hutan karet banyak mendominasi di kampung itu, menyela di antara rumah-rumah warga. Rani senang melihat pemandangan nan menghijau, apalagi saat melihat kebun sawit yang terhampar di bukit-bukit di sepanjang jalan. Benar-benar masih alami dibanding Surabaya yang sudah menjadi hutan beton.
Mobil silver itu pun berhenti di halaman sebuah rumah kayu yang besar, bercat putih hijau. Catnya sudah terkelupas di sana-sini. Di sebelah rumah kayu ada sebuah rumah bata bercat warna kuning. Rani dan teman-temannya digiring menuju rumah bata. Pak Fadli pamit pulang setelah mengantar para Arkeolog.
"Kalian bisa menginap di sini. Saya ada di rumah sebelah kalau kalian membutuhkan sesuatu," terang Pak Barja setelah semua tim arkeolog masuk rumah.
"Terima kasih, Pak," ucap Kenanga.