Samia menyeruput teh hambarnya yang hampir dingin. Ia menghela napas panjang. Ia tak tahu harus bertahan berapa lama lagi. Ia mulai kehilangan kegairahan dalam pekerjaan ini.
Samia menatap langit-langit kantor majalah SWEET. Ia tak pernah membayangkan akan mengalami fase ini. Hampa. Semua artikel yang ia tulis selama tiga tahun ini terasa tak bernyawa, termasuk artikel yang ingin ia serahkan pada Samuel hari ini.
Pintu ruang kerja Samuel terbuka. Dua orang pria berpakaian rapi berjabat tangan dengan Samuel lalu pergi meninggalkan kantor majalah SWEET. Samia segera bangkit berdiri. Ia merapikan pakaiannya, lalu bergegas naik ke lantai dua menuju kantor Samuel.
Samia mengetuk beberapa kali lalu Samuel mempersilahkannya masuk. Samia berjalan cepat ke arah meja Samuel lalu menyerahkan amplop cokelat yang ia bawa sambil berkata, “Ini artikel artis Y yang kau minta kemaren.”
Samuel segera membuka amplop itu dan membaca artikel tersebut.
Samuel tersenyum. “Bagus seperti biasa. Tidak bertele-tele dan selalu mengikat perhatian untuk tidak berpindah ke artikel lain sebelum selesai membaca artikel ini.”
“Terima kasih dan apakah ini artinya aku bisa pindah ke rubrik news?”
“Tidak sekarang.”
Samia menarik napas panjang. Ia berusaha untuk tidak terlihat kecewa.
“Berapa lama lagi aku harus menunggu?”
Samuel melepas kacamata bacanya. “Aku tahu kau sangat tertarik dengan rubrik itu dan itu juga zona amanmu, tapi dengan kemampuanmu yang sekarang.”
Samuel menghela napas. “Kau belum siap.”
“Kau tidak capek ya ngulangin kalimat yang sama? Kau selalu memuji hasil kerjaku, tapi saat aku meminta ke rubrik news, kau pasti berkata begitu. Double standard,” ucap Samia. “Atau… kau masih belum move on dengan kejadian tiga tahun yang lalu?”
Samuel tidak menjawab.
Samia melipat kedua tangannya ke dada. “Itu sudah lama sekali, Sam. Orang-orang pasti sudah melupakannya.”
Samuel membuka laci mejanya. Ia mengambil amplop cokelat berukuran sedang, kemudian disodorkan kepada Samia.
“Ini tugas barumu.”
Wajah Samia mendadak berubah masam. Ia tak suka sikap Samuel yang seperti ini.
“Ada seorang wanita sekitar tiga puluh tahun ke atas memintaku mengekspos perilaku suaminya.”
Salah satu alis Samia naik.
“Beliau sudah mengirimkan materialnya. Kau tinggal menuliskan artikelnya dan kirimkan hasilnya sebelum jam dua siang.”
“Oke.” Samia mengambil amplop tersebut dan membukanya. Ia menganalisa isi amplop itu dengan cepat.
“Dari analisaku, sang istri ingin mengekspos suaminya yang diam-diam mengencani banyak wanita. Tapi … alasannya tidak sesederhana itu kan?”
Samuel tersenyum.
“Itu benar. Sang istri akhir-akhir ini merasakan ada kejanggalan pada suaminya. Jarang di rumah, selalu pulang dekat-dekat subuh dan pakaiannya selalu berbau parfum yang berbeda.”
“Terdengar seperti perselingkuhan,” pikir Samia.
“Sang istri sudah berulang kali meminta penjelasan dan sudah tiga kali ia meminta cerai, tapi suaminya bersikeras tidak ingin menceraikannya.”
“Karena apa?”
“Sang suami sangat mencintai istrinya.”
“Lalu apa motif sang suami mengencani banyak wanita?”
“Semua detektif yang disewa sang istri tak pernah berhasil mendapatkan jawaban atas pertanyaan tersebut.”
Samuel bersandar di sandaran kursi kerjanya yang empuk. “Memang sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang pria yang mengaku sangat mencintai istrinya bermain dibelakang istrinya?”
“Boleh aku tahu kenapa sang istri menyewa banyak detektif?”
“Ini kejanggalan kedua. Semua detektif yang disewanya mati karena kekurangan darah dan ada dua lubang bekas gigitan di leher mereka.”
“Kamu yakin? Penjelasanmu barusan terdengar seperti cerita fiktif.”
“Aku mengatakan sejujurnya. Kau bisa cari beritanya di internet.”
“Hmmm …. Oke, aku akan buat artikel untuk nyonya ini. Artikel yang bisa membuat ribuan bahkan ratusan ribu orang terguncang dan terus membicarakan hal ini. Itu yang diinginkan, ya kan?”
“Aku mengandalkanmu.” Samuel tersenyum. “Dan satu lagi.” Samuel membuka laci mejanya lagi.
“Lagi? Kupikir hanya satu.”
Samuel menyerahkan tiket VIP pada Samia.
“Apa maksudnya ini?”
“Dua hari lagi ada acara penghargaan. Aku ingin kau mendapatkan berita bagus di sana.”
Samia mengambil tiket tersebut.
“Apa ini sebuah kebetulan?” pikir Samia. "Itu tidak mungkin. Ini pasti hanya kebetulan."
Samia menatap tiket itu agak lama, kemudian ia masukkan ke dalam kantong blazer birunya.
“Aku mengerti. Aku akan melaksanakan tugasmu dengan baik.”
Samia keluar dari ruangan Samuel.