Langit berganti cerah. Segumpulan gulali putih menampakkan diri di langit yang biru. Udara yang ingin perlahan menjadi hangat. Yang tertidur lelap mulai terbangun.
Seorang wanita mengenakan kebaya polos berwarna merah maroon, apron putih panjang, dipadukan rok panjang berwarna hitam motif daun kenari hitam berwarna emas dan sedikit merah, masuk ke sebuah ruangan yang cukup luas dan agak gelap.
Wanita itu mematikan AC lalu berjalan menuju jendela lantas menyingkap gordennya. Sinar mentari langsung menembus kaca menerangi ruangan itu. Rain yang tengah tertidur di kasur king size-nya perlahan menggeliat. Perlahan Rain membuka matanya memperlihatkan mata cokelatnya yang indah. Lalu Rain duduk mengumpulkan seluruh nyawanya.
“Selamat pagi, Tuan. Air panas untuk Anda mandi sudah saya siapkan dan pakaian yang ingin Anda kenakan hari ini sudah saya siapkan juga.”
“Um,” respon Rain setengah tidur.
“Sarapan sedang dibuat. Silahkan Tuan mandi dan berganti pakaian dulu. Saya akan menginformasikan jika makan pagi telah siap.”
“Um.”
“Kalau begitu, saya pamit.”
“Um.”
Wanita itu pergi meninggalkan kamar. Rain bangkit dari kasurnya, lalu berjalan agak sempoyongan menuju kamar mandi.
Di lain tempat, seorang pria sedang sibuk memotong, mengiris, dan memasak sarapan pagi untuk majikannya. Roti panggang dengan diberi selai avocado tumbuk dan roti panggang dengan topping telur orak-arik siap dihidangkan. Tak lupa ia menaruh empat tomat kecil dan beberapa buah beri yang masing-masing dibelah dua.
Rain keluar dari kamar mandi. Air masih menetes dari ujung-ujung rambutnya. Ia mengeringkan rambutnya dengan pengering rambut. Kemudian ia menyalakan musik kesukaannya yang ada dalam ponselnya. Ia mulai mengenakan pakian yang sudah disiapkan pelayannya tadi dan saat lagu kesukaannya―Precious Waiting muncul, ia ikut berdendang. Ia berjoget ala kadarnya yang penting asyik dan mulutnya komat-kamit mengikuti lagu itu.
Ketel bersiul menyeruak ke seluruh ruangan hingga keluar. Koki pria itu mematikan kompor lalu mengangkat ketel tersebut. Ia tuang air panas dari sana ke dalam teko keramik. Ia mengambil satu sendok bubuk teh kemudian ia masukkan ke saringan teh. Ia masukkan saringan ke dalam teko. Tak perlu menunggu lama, warna merah keluar dari saringan tersebut.
Lalu koki pria itu membunyikan belnya. Seorang pelayan perempuan masuk ke dapur. Pelayan itu meletakkan nampan berisi makan pagi di atas meja dorong makanan. Setelah itu pelayan tersebut membawa makanan itu ke meja makan.
Rain datang bersamaan dengan pelayan perempuan itu. Ia langsung duduk di kursi dan pelayan itu menaruh sarapannya. Kemudian pelayan itu pamit undur diri. Rain menikmati setiap gigitan makan paginya hingga habis.
“Maaf mengganggu, tuan,” ucap seorang butler laki-laki paruh baya.
“Ya?” ucap Rain mengelap mulutnya.
“Ada dua orang polisi mencari tuan. Mereka ingin meminta keterangan tentang penyerangan yang dialami salah satu murid tuan.”
Murid?” Rain mencoba mengingat-ingat. “Aku akan segera menemui mereka. Jamu mereka dengan baik.”
“Baik, tuan.”
Sang butler keluar dari dapur, sedangkan Rain masih mengingat-ingat murid mana yang dimaksud kedua polisi itu.
“Aku tak bisa mengingatnya.” Rain bangkit dari duduknya. Ia segera menemui kedua polisi itu.
Rain segera meminta maaf telah membuat kedua tamunya harus menunggu cukup lama.
“Tak apa. Kami seharusnya yang meminta maaf telah datang mendadak,” ucap Ayudia.
Rain tersenyum tipis. “Jadi, apa maksud kedatangan ibu dan bapak polisi ke sini?”
“Sebelum itu, ijinkan kami memperkenalkan diri. Saya Ipda Ayudia dan ini partner saya―Bripka Bram. Kami ke sini untuk meminta keterangan Anda mengenai salah satu murid Anda.”
“Muridku? Yang mana ya, pak, bu?”
“Murid yang berdebat dengan Anda dua hari yang lalu.”
Rain ingat sekarang siapa murid yang dimaksud.
“Apa yang terjadi padanya?” tanya Rain.
“Tadi malam rumahnya diserang oleh seseorang. Menurut pengakuan korban, ia diserang oleh seorang vampir.”
“Aku turut berduka cita,” kata Rain menunjukkan rasa simpatiknya. “Bagaimana kondisi muridku itu?”
“Masih dalam keadaan syok, akan tetapi dia bisa dimintai keterangan sedikit demi sedikit.”
“Syukurlah. Semoga dia cepat pulih. Silahkan apa yang ingin ditanyakan bapak dan ibu polisi.”
“Pak Rain, bisakah Anda menceritakan apa yang terjadi saat Anda mengajar di kelas korban dan bagaimana perilaku korban selama Anda di sana?”
“Ini mungkin akan cukup panjang.”
“Tak apa.” Bripka Bram meletakkan sebuah alat perekam suara yang sudah menyala. “Kami sudah menyiapkan segalanya. Anda bisa menceritakan semuanya dengan jelas dan selengkap-lengkapnya.”
Rain menarik napas sejenak. Lalu ia mulai menceritakan semuanya.
Pada hari pertama masuk ke sekolah korban, kepala sekolah dan para guru menyambut Rain dengan sukacita, bahkan saat ia masuk ke kelas korban para murid histeris melihat kedatangannya. Semua murid sangat terkejut dan merasa tidak percaya Rain datang mengajar di kelas mereka. Keriuhan itu mengundang murid-murid dari kelas lain datang mengintip dari balik jendela.
Di antara keriuhan itu Rain melihat ada satu murid yang tidak merasa senang. Ia diam di kursi belakang dan lebih memilih memadangi langit nan biru.
Seriring berjalannya waktu, murid tersebut menunjukkan ketertarkannya dengan dunia model. Ia mulai aktif bertanya dan lebih antusias daripada murid-murid lain. Tentu saja itu memuat Rain senang, murid-muridnya menerima pelajarannya dengan baik.
Empat hari telah berlalu, Rain memperhatikan perubahan pada murid tersebut. Ia bisa berkomunikasi dengan murid lain dan teman-temannya menyambut perubahannya yang bagus ini. Murid itu lebih terasa hidup dibanding hari pertama mereka bertemu.
Pada hari kelima, suasana hati murid itu berubah drastis. Ia jadi mudah marah, tersinggung, dan menuntut kesempurnaan pada kelompoknya.
Rain mencoba menanyakan alasan murid tersebut bersikap demikian. Murid itu memberikan alasan yang cukup logis dan hampir membuat Rain percaya.
“Karena mereka tidak mengerjakan tugas dengan benar dan sungguh-sungguh.” Rain menirukan apa yang dikatakan muridnya di hari itu.
Rain akui, setiap kali ada latihan, kelasnya akan ramai. Para murid saling diskusi bertukar pikiran. Apalagi saat belajar berkelompok, keributan mereka jadi bertambah. Bukan hanya tangannya yang bekerja, mulut mereka pun bekerja. Dan setiap belajar berkelompok, beberapa dari mereka bekerja dengan santai, tapi serius dan hasil kerja mereka tak kalah bagus dengan yang rajin.