Sang Jurnalis

Molena Banana
Chapter #7

Jangan Ganggu Aku Lagi

Heboh. Setelah polisi memberitahukan kasus ini ke media, berbondong-bondong muncul artikel dan video tentang kasus ini. Para awak media pun memanfaatkan keadaan ini untuk mewawancarai Rain, tapi Rain hanya menerima tiga wartawan saja. Rain tak mau terlalu terlibat dalam permainan media meski ini berita yang perlu diberi perhatian khusus.

Rain menggoyang-goyangkan minuman bersodanya yang berwarna pink kemerahan didalam gelas kacanya yang berbentuk piala. Ia menyilangkan kedua kakinya lalu menegak sedikit minumannya. Kedua matanya dibuat sayu lalu tersenyum seperti orang sedang mabuk.

“Sempurna,” ucap Rain mengakhiri aktingnya yang menurutnya luar biasa itu.

“Kalau kau ingin mabuk, minum segalon wine sono,” ujar Kharisma yang sedari tadi memperhatikan yang dikerjakan Rain sambil bersandari di pintu.

“Minuman beralkohol itu tidak baik untuk kesehatan,” kata Rain sembari mengangkat gelasnya ke udara.

“Kau pikir minuman bersoda bagus untuk kesehatan?”

Wajah Rain langsung cemberut. Lantas ia menoleh ke belakang. “Kau mengganggu aktingku yang sangat keren.”

“Mau main bareng? Kamu tuh rese kalau lagi gabut begini. Ada-ada aja yang dikerjakan.” Kharisma berjalan ke arah TV 21 inci di hadapan Rain yang tertanam di dalam dinding. Di bawahnya ada game console lengkap dengan kasetnya.

“Kau ingin main apa?” tanya Kharisma sambil mengudak-udak susunan kaset itu.

“Zombie.” Rain menegak habis minumannya. “Yang kalah ngabisin minuman ini seliter.”

Kharisma yang sudah mengambil sebuah kaset lalu dikembalikan. “Aku masih waras, jadi kita batalkan saja main game-nya.”

Nooo.”

***

Ipda Ayudia duduk merenungi semua yang terjadi kemarin. Ia masih tak percaya dengan apa yang matanya saksikan. Seorang gadis berusia 16 tahun diserang oleh ‘vampir’. TKP yang terlalu banyak jejak dari pelaku. Alasan dibalik penyerangan ini yang kurang lemah dan korban yang tiba mempunyai kekuatan misterius.

Ipda Ayudia memijat keningnya. Kejadian kemaren benar-benar membuat kepala migran. Hal ini diperparah dengan wartawan yang ingin tahu kelanjutan kisah ini. Ya kasus “vampir” ini selalu mengundang banyak perhatian.

Ipda Ayudia menyandarkan badannya ke sandaran kursi. Sebenarnya kasus “vampir” yang ditangani oleh tim 7 belum dipastikan pelakunya siapa. Ada berapa banyak pelakunya dan motif mereka apa. Namun media dengan enteng membuatnya menjadi bahan obrolan yang menggiurkan.

“Benar-benar gila. Apa semua wartawan begitu?”

“Kau masih memikirkan berita yang muncul pagi ini?” tanya pak Angga yang duduk di kursi Bripka Bram.

“Tidak. Saya hanya memikirkan bagaimana media dengan mudahnya membuat para warga antusias dengan kasus ini.”

“Jurnalis itu seperti penyair. Mereka bisa mengolah sebuah informasi layaknya musik. Mereka menulis kalimat yang merdu dan mampu memikat orang-orang.”

“Tapi masalah kasus ini, sepertinya media terlalu berlebihan mengolahnya.”

“Mengatakan bahwa pelakunya adalah vampir?”

“Benar. Kita belum tahu pelaku sebenarnya dan mereka….”

“Aku mengerti,” ujar pak Angga. “Seperti yang kuucapkan tadi, informasi dari media itu bagaikan alunan melodi. Mereka membuat lirik yang menjadi anak panah yang siap mendarat di memori pembacanya. Mereka tahu, jika banyak manusia yang mengetahui tentang vampir dari novel-novel yang beredar di negeri ini dan media memanfaatkan itu agar informasi ini bisa diterima.”

Ipda Ayudia diam mencerna perkataan pak Angga.

Pak Angga bangkit dari duduknya. “Santai saja menanggapi media. Tugas mereka memang memberitakan sesuatu ke khalayak umum dan tugas kita menjaga keselamatan warga. Kita harus segera menemukan benang merah kasus ini sebelum semakin banyak yang jadi korban.”

“Baik, pak.”

Pak Angga berjalan sedikit pincang. Lutut kiri beliau bekas kecelakaan saat bertugas tak bisa sembuh dan membuat geraknya sedikit lambat. Banyak yang merasa kasihan dan ingin membantu beliau berjalan, tapi ditolak secara halus. Beliau merasa masih bisa berjalan meski lambat. Ipda Ayudia tersenyum mengingat betapa kuat pimpinannya ini.

“Benar. Aku hanya perlu fokus dengan pekerjaanku.”

Ipda Ayudia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ia menelpon Bripka Bram. Dia meminta Bripka Bram menemaninya mencari informasi tentang kasus penyerangan ini.

***

Samia menutup mulutnya yang menguap. Gara-gara begadang menonton drama setelah menyelesaikan menulis artikel-artikelnya, semangat Samia terus berkurang setiap menitnya. Ini saja entah sudah berapa ia menguap di tengah merevisi artikel-artikelnya yang sudah diperiksa Juli.

“Samia, kau bisa istirahat di lantai atas,” tegur Meita.

“Iya, setelah aku menyelesaikan revisianku,” ujar Samia yang diakhiri dengan menutup mulutnya yang menguap.

Lihat selengkapnya